Oleh :
Misbahudin
*Keheningan Pagi Yang Terkoyak*
Komplek Pusdiklat Dewan Dakwah, sebuah tempat
yang asri yang dikelilingi oleh pepohanan nan hijau yang sesekali
hembusan angin nan sejuk, meraba-raba dan mengelus-ngelus wajah dengan
manja. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu, terlahirnya sebuah
pragment-pragment kenangan hidup, banyak
cerita berjuta asa dari setiap hati yang mengabdi disini, sendau gurau, tawa
dan mungkin air mata, menjadi sebuah variasi rasa hati dalam sebuah bingkai perjuangan di medan jihad
tarbiyyah ini.
Pagi ini, ku lihat Jam sudah menunjukan 06.00
WIB, tidak seperti biasanya, di pagi nan cerah ini, komplek pusdilat Dewan
Dakwah sudah ramai didatangi oleh para mujahid tarbiyah. Padahal pada jam-jam seperti ini, biasanya mereka masih sibuk dengan hirup
pikuk urusan rumahnya apalagi ema-ema tentunya. tetapi pada pagi ini, mereka
berduyun-duyun dengan penuh antusias dan gairah. _(walaupun mungkin ada yang bertanya-tanya
dalam hati, dikasih kosumsi gak ya? Karena ini masih pagi bangedd ya Allah.
hehe)_.
Kedantang para pendidik di pagi buta ini, bukan
karena tidak ada maksud dan tujuan.
Mereka datang untuk mengikuti
acara _*“ngaji Bareng”*_ yang diadakan oleh bidang Pendidikan Dewan
Dakwah Islam Indoneisa dengan sebuah tujuan untuk menyirami jiwa dan pikiran
yang gersang dan hampa para pendidik agar bisa fresh Kembali untuk mengemban misi
sucinya. Pada kesempatan perdana *“ngaji
bareng”* ini, pematerinya adalah tokoh nasional, sosok intelektual dan cendikiawan muda
Indonesia. Yaitu DR. Adian Husaini.
Pada kesempataan ini, beliau menyampaikan sebuah
tema _“Islamisasi Pendidikan”_, ada
sebuah harapan dengan tema ini, para pendidik mendapat sebuah pencerahan peradababan
dan dapat memetik spirit ruh keislaman yang lebih mendalam dan
lebih “menggerakan” jiwa. Sebuah spirit ilahiyah yang harus mereka diinternalisasikan dan
disisipkan kedalam aktivitas
pengajaran mereka.
Beliau mengatakan bahwa, “Islamisasi Pendidikan
tidak akan terlepas dari tujuan Pendidikan”, sebagai mana ungkapan M. Natsir. _“Tujuan manusia diciptakan adalah merupakan tujuan pendidikan Islam itu sendiri”. Hal ini
mengandung nilai filosofis yang dalam, karena Ketika tujuan pendidikan diarahkan
untuk memaksimalkan tujuan diciptakan manusia di alam semesta ini. Maka
pada hakikatnya, Pendidikan itu sudah
berjalan dalam rel yang benar “On The Track”.
_“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”_ (QS. Adz
Dzariyat: 56)
Maka, kurikulum keilmuan yang menjadikan
tujuan peciptaan manusia sebagai tujuan dari proses pendidikannya, maka akan
melahirkan ilmu yang mengandung nilai-nilai ilahi yang akan mengantarkannya lebih dekat kepada Allah
dan lebih menikmati keislamnnya, karena
pada hakikatnya semua ilmu adalah milik Allah, jika kita melihat alam semesta
dan segala isinya dengan hati yang jernih dan fikiran yang bersih, maka kita
akan mendapatkan sebuah kongklusi bahwa “segala sesuatu menunjukan bahwa Diam maha
kuasa”.
_”Katakanlah (wahai Muhammad), Sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah
lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”_ [al-Kahfi/18:109]
Maka produk Pendidikan yang lahir dari
kurikulum islami akan membentuk pribadi
pribadi yang berkualitas, terciptanya mindset seorang muslim dalam melihat
kehidupan, dan akan terwujudnya worlview islam dalam mempelajari ilmu apapun. Keilmuan yang didapat dan ditemukan bukan
hanya menjadi sebuah penemuan _“discovery”_ tetapi akan menjadi sebuah prinsip dan pegangan hidup.
_”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”_ (QS.
Al-Alaq : 1-5).
Ilmu yang didapat menjadikan para _tholabul
ilmi_ menjadi pribadi religius dan produktif, karena ilmu dalam konsep Islam
harus melahirkan sebuah amal yang nyata bukan hanya sebatas wawasan dan teori
saja. Ssebagaimana pepatah arab mengatakan, _“ilmu tanpa amal bagai pohon
tak berbuah"_.
Betapa tidak enak ketika menanam pohon yang
diharapkan, ternyata tidak berbuah. Pohon yang kita sayangi dan cintai itu,
sekadar memberi harapan yag palsu, sedangkan buah yang dinanti tidak ada.
Begitulah ilmu pada diri yang tidak diamalkan. Kemuliaan ilmu bukan dilihat
dari hanya dari kuantitas dan kualitas ilmu itu sendiri, tetapi Kemuliaan ilmu seseorang disisi Allah
adalah mereka yang konsisten mengamalkannya.
Hal ini tersirat juga dalam firman Allah,
bahwa Dia akan mengangkat derajat mereka yang beriman dan berilmu beberapa
derajat.
_“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“_ (Al Mujadilah : 11).
Maka subtasi dari kata iman bukanlah sebuah
kata benda yang diam, tetapi iman adalah kata kerja yang lahir dari sebuah keyakinan dan bergerak
menunjukan sebuah bukti keimanannya dengan melahirkan amal-amal yang shalih. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah mengatakan :
وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ
وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ
الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ
بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .
_”Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan
hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah
dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat”_.
*Sumber Islamisasi Pendidikan*
Adian Husaini mengatakan, bahwa sumber
islamisasi pendidikan adalah harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Karena
dua “pusaka” ini merupakan sebuah peninggalan Rasulullah yang akan menjadi acuan
dan pedoman dalam hidup dan
berkehidupan. Keduanya menjadi
timbangan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk menurut
Allah dan Rasul-Nya. Bukan benar dan baik menurut akal atau perasaan semata.
_*”Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya”*. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R.
Malik, Hakim, Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm).
Maka dalam islamisasi pendidikan ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi sebuah
nilai yang harus disisipkan dalam proses pengajaran ilmu apapun, karena pada hakikatnya dalam
islam. Iilmu itu tidak bebas nilai, ilmu itu mengandung nilai-nilai
ilahiyah yang harus menjadi oase dan pedoman kehidupan yang
terpatri di dalam sanubari yang paling dalam.
Jika Al-Qur’an dan As-sunnah dijauhkan dari
pengajaran dan Pendidikan, maka akan lahir lah pendidikan yang sekuler, sebuah Pendidikan yang
memisahkan anatara dunia dan agama, tentu hal ini adalah sebuah kesalahan fatal
dalam dunia Pendidikan. Karena agama dan kehidupan tidak akan terpisahkan
selamanya. Sebagaimana firman Allah
_“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam
sebagai agama bagimu”_ [Al-Maa-idah: 3]
Maka disini kita memahami Islam bukan hanya
sekedar kepercayaan dan keyakinan saja, tetapi lebih dari itu, Islam menjadi
sebuah pedoman hidup yang akan menyelamtkan manusia di dunia dan diakhirat. Karena Islam mengajarkan penanaman nilai ketauhidan
yang tinggi, menjadikan Allah yang pertama dan utama dalam kehidupannya.
_“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam”_(Q.S
al-An’ām : 162)
Ini menunjukan bahwa segala aktivitas kita, baik bekerja, mendidik, dan menuntu ilmu dan kegiatan yang lainnya, harus bermuara sebagai
bentuk peribadahan kepada Allah, memang
orang non muslim, seperti jepang sudah bisa membangun karakater manusia yang
luar biasa dalam kedisiplinan dan etos kerja. Tetapi ingat!, karater unggul mereka hanya untuk membabngu kehidupan dunia mereka saja.
Tidak berkaiatan dengan hal-hal yang agung yang berkaiatan dengan
ketuhanan dan peribadahan.
Sebaliknya, umat islam hanya kaya dengan konsep dan teori yang indah, karena Islam
itu sendiri merupakan ajaran yang Allah turunkan kepada umat manusia melaluli
lisan Rasulnya untuk menjadi pedoman hidup, tetapi umat Islam hanya berhenti
dalam tatanan teori dan wawasan saja, mereka masih jauh dari praktek yang menjadi habit, budaya dan peradaban. Maka
islamisasi pendidikan diharapkan bisa membumikan nilai-nilai ilahiyah dalam ilmu-ilmu
yang dipelajari menjadi sebuah amalan yang nyata dan menjadi “life Style” dalam kehidupan.
*Tujuan Pendidikan Islam*
Lebih lanjut, Adian Husaini menyapakan bahwa
islamisasi pendidikan itu terbentuk dari tujuan Pendidikan itu sendiri, jika
tujuan pendidikan itu agar peserta didik dapat mendapatkan kerja dimasa
depannya, memiliki bergaji besar yang besar untuk keperluan hidupnya atau bisa
mendapatkan jabatan yang membanggakan orang tuanya. Maka itu bukanlah tujuan pendidikan
islam. Kenpa?, karena hasil produk pendidikan seperti itu, lahir dari kenginan dan ambisi duniawi semata.
Maka untuk melihat tujuan pendidikan islam
itu sendiri, maka kita harus merujuk Kembali kepada pentunjuk-petunjuk tersurat
ataupun tersirat dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Diantara tujuan pendidikan yang
dapat simbulkan adalah :
1) Melahirkan
Pribadi Yang Bertaqwa
Ketaqwaan adalah sebuah hal yang berharga dalam kehidupan, tidak
terlihat tetapi lebih berharga dari barang-barang berharga yang terlihat. Ketaqwaan adalah sesuatu yang mahal di negeri ini, negeri
ini tidak kekuarangan orang-orang
inetelek dan cerdas. Tetapi kekuarang orang-orang yang betaqwa, tindakan korupsi yang mereja lela dan membudaya, akar permasalahannya
adalah tidak adanya tekaqwaan dari diri para koruptor. Maka solusi yang
benar-benar fundamental adalah islamisasi pendidikan yang dapat menguatkan dan
menyuburkan ketaqwaan dan ketauhidan dalam diri peserta didiknya.
_“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”_
(QS. Al-Baqarah: 197)
Sebagaimana wasiat pendidikan Luqmanul Hakim kepada anak-anaknya
agar menjaga dan menumbuh suburkan ketaqwaannya kepada Allah sebagai pegangan
hidup. Bukan wasiat mengenai harta dunia ataupun hal-hal yang bersangkut paut
dengan itu semua.
_“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”_(QS. Lukman: 13).
Maka ketaqwaan menjadi baromter untuk melihat kualitas diri kita
dihadapan Allah. Termasuk orang muliakah kita ataukah sebaliknya, oleh karena
itu kecerdasan, inteletualitas, kekayaan, penampian dan lainnya sebagainya
bukalah menjadi sebuah standar kemuliaan sisi Allah.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al
Hujurat: 13)
Ath Thobari rahimahullah berkata, _“Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi
takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi
maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau
berasal dari keturunan yang mulia.”_(Tafsir Ath Thobari, 21:386). Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kalian bisa
mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, 13: 169)
2) Mencetak
Pribadi Yang Berahlak Mulia
Rasulullah diutus adalah untuk menyempurnakan Ahlak manusia, ini
sebuah perlajaran yang tersirat, dimana Rasulullah sebagai pendidik sejati
mempunyai sebuah “goal” dari pendidikannya adalah untuk menbentuk para muridnya
(sahabat-sahabatnya) menjadi pribadi-pribadi yang berkepribadian luhur.
_“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu,
yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir
kepada Allah.”_ (Al-Ahzab: 21)
Para sahabat setelah mendapat pendidikan dari Rasulullah mereka
menjadi pribadi yang luar biasa dari segi ketaqwaan dan akhlaknya. Maka tidak heran
Rasulullah membanggakan negerasi ini, dengan julukan generasi terbaik.
_“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi
berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”_ (HR. Bukhari-Muslim).
3) *Membentuk
Pribadi Yang Produktif*
Keimanan berkaitan erat dengan amal shaleh, dari berbagi ayat
Al-Qur’an, Allah senantiasa
menyandingkan iman itu dengan amal shaleh. Diantaranya adalah :
_“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik,”_ (QS. An Nahl: 97).
Manusia yang beriman adalah manusia yang senantiasa beramal dengan
produktif, karena dalam setiap aktivitasnya hanya ridho Allah yang menjadi tujuannya,
orang yang beriman yang bekerja dalam berbagai propesi apapun pasti mereka akan
menjadi pribadi yang produktif yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Karena
atasan mereka adalah Allah. Karena hidup mereka adalah untuk ibadah. Itulah
prinsip dasarnya. Maka inilah salah satu “goal” dari tujuan pendidikan Islam,
yaitu membentuk pribadi yang penuh kemamfaatan.
Manusia yang imannya lemah, akan terjebak dengan sebuah konsep
kerja “asal bapak senang” dengan dibumbuhi kegiatan sikut kanan kiri yang sudah
menjadi tradisi dirinya untuk membagusnya image terbaik di hadapan atasannya.
Dan akan lahir pula trasiri dan budaya “menjilat” atasan dengan harapan ingin
medapatkan “sesuatu” atau timbalik balik dari loyalitasnya yang semu itu. Dia akan produktif Ketika atasan melihat dan
mengontrol kerjanya, tetapi akan berleha-leha Ketika atasan tidak melihatnya.
Ini sudah menjadi hukum kausalitas yang tidak bisa dipungkiri.
Maka Rasulullah mengajurkan umatnya agar senantiasa menjadi
pribadi-pribadi yang baik dan produktif di manapun dan kapanpun.
_“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia”_ (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
Maka hal ini, harus menjadi salah satu nilai dan doktrin yang
harus ditanamkan kedalam diri peserta didik.
4) *Berenampilan
Yang Indah Dan Menarik*
Berpenampilan indah dan menarik tentu kita tafsirkan secara
positif dengan perfektif Islam, naluri keindahan sudah terpatri dalam
sabunubari kita, hati kita cendrung untuk mengagumi dan menginginkan sesuatu
yang indah dan menarik. Kecendrungan itu, Allah Install dalam diri manusia
sebagai salah satu “isyarat” manusia itu harus indah dalam hati, ucapan, Tindakan dan tidak
terkecuali penampilannya.
_“Kebersihan itu adalah
bagian dari iman”_ (HR. Muslim).
Maka Pendidikan Islam harus melahirkan pribadi yang ta’at kepada
Allah dan Rasulnya, berpenampilan baik, sopan menurut auratnya. Karena
berpenampilan bagi seorang muslim adalah bentuk ibadah dan ketaatan kepada
Allah.
_”Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka”
_(QS. An-Nuur: 31)
Rasulullah adalah pribadi yang berpenampilan yang baik dan menarik
bagi sahabatmya, sebagaimana
diceriatakan dalam sebuah hadits
_”Keindahan penampilan. Nabi Saw selalu memakai pakaian terbaik
yang beliau miliki. Sebelum menemui para utusan, beliau akan mengenakan pakaian
yang sesuai dengan status dan tradisi masing-masing utusan. Rasulullah juga
suka parfum. Dari Aisyah," Aku selau memercikkan aroma (farfum) terbaik
kepada Nabi."_ (HR Muslim).
Nabi melarang setiap orang yang makan bawang merah atau bawang putih masuk ke
dalam masjid. Beliau mendukung keindahan secara umum sebagai salah satu hal
yang dicintai Allah SWT. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda :
_“Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang
dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya”_.(HR. Tirmidzi dan Hakim).
*Guru, Roda Peradaban Yang Harus Teruh
Berputar*
Ada sebuah ungkapan menarik yang patut untuk
direnungkan oleh para pendidik, _“at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa
al-mudarris ahammu mina-t-thariqah, wa ruhu-l-mudarris ahammu mina-l-mudarris
nafsihi”_. Metodologi pengajaran lebih
penting dari materi pelajaran itu sendiri. Dan guru lebih penting dari
metodologi. Dan “ruh” seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri.
Materi apapun yang disampaikan, jika
menggunakan metode yang benar, maka akan dapat diterima para siswa dengan baik.
Sebaliknya, materi yang telah dipersiapkan dengan matang, akan menjadi hampa,
tanpa metode yang baik. Dan metode yang baik tanpa wujud guru yang akan
mengajar maka akan sia-sia belaka. Karena metodogi harus ada manusia yang
mengaflikasikannya.
Terakhir, “ruh” guru, The Man, The soul, yang mempunyai sebuah spirit dan daya energi yang
menggerakan dan menyadarkan peserta didik itu lebih penting dari keberadaan
guru itu sendiri. Begitu banyak guru yang hanya menjadi mediator trasper ilmu dan
wawasan. Tetapi sedikit guru yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi lebih
dari itu, menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam jiwa peserta didik. Sehingga nilai-nilai
itu menjadi sebuah pemantik kesadaran untuk terus menerpa diri menjadi pribadi
yang berkualitas.
Maka sungguh betul, guru adalah pahlwan tanpa
tanda jasa, karena bagaimana masa depan
sebuah negeri puluhan tahun kedapan, ditentukan oleh kualitas-kualitas para
remaja dan pemudanya, karena merekalah yang akan memegang tonggak perubahan di
masa depan. Dan bagaimana kualitas remaja dan pemuda masa depan ditentukan oleh
kualitas pendidikannya.
*Guru Sang Lentera Peradaban*
Guru adalah sang lentera pedaban, bayangkan
bagaimana kehidupan, jika kita tidak
mendapatkan pengajaran, penanaman nilai, akhlak dan tidak mendapatkan keteladan
dari sosok guru kehidupan?. Guru adalalah lentera pedaban yang mengusir
kegelapan dalam jiwa kita dan menghilangkan kebodohan dan kesesatan pola fikri dalam
diri kita.
Berkaca kepada M. Natsir sang pendiri dewan
dakwah, sosok da’i, politikus dan negarwan. Lembaran hidupnya diisi dengan
perjuangan yang tiada henti untuk menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan untuk
pemeluknya “way of life”, menjadikan islam sebagai agama pembawa rahmat untuk semesta alam.
M. Natsir adalah sosok pribadi yang luar
biasa dimasanya dan senantiasa menjadi kenangan manis untuk orang-orang
setelahnya, ruh perjuangan tetap hidup dan membakar jiwa-jiwa pejuang muda saat ini dan di masa depan, walaupun dirinya
sudah tiada. Beliau menjadi sosok seperrti itu, tidak terlepas dari sosok
guru-guru yang membinanya.
A.Hasan, Syekh Surkati dan Agus Salim adalah
guru-guru utama dalam kehidupannya yang
memberikan sebuah warna “shibghah” keislaman, wawasan, karakter dan mindset
yang menjadikan beliau menjadi manusia yang luar biasa, menjadi tokoh bangsa,
bahkan menjadi tokoh islam Internasinal karena ketokohan dan kontribusinya.
Kualitas Natsir ini tidak hanya diakui oleh
tokoh-tokoh Islam, bahkan oleh orang non muslim sekalipun, mengakui ketokohan beliau, sampai-sampai ketika
menteri keuangan Jepang saat itu, Takeo
Fukuda Ketika mendengar meninggalnya M. Natsir, Dia menulis surat dan
menyatakan bahwa berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat daripada ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Berikut ini
isi surat :
_“Dengan sedih kami menerima berita
kehilangan besar dengan meninggal dunianya Dr. Mohammad Natsir. Ketika
menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di
Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia
Islam. Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkoordinasikan dunia
yang stabil_.
_Saya banyak belajar dari beliau ketika
beliau berkunjung ke Jepang di saat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah
yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde
Baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau
untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil, sejahtera dengan kerja sama
Jepang_.
_Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan
beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau
untuk beristirahat. Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan
beliau di Jepang menyampaikan kata belasungkawa atas kepergian teman kami,
pemimpin dunia yang disegani, Doktor Mohammad Natsir_.
_Kami yakin kepergian beliau dengan
ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan
meneruskan perjuangan suci beliau.”_ (Surat Takeo Fukuda dikutip dari buku Gagasan
dan Gerak Dakwah Natsir, karya H. Mas’oed Abidin (Yogyakarta: Gre
Publishing, 2012).
Bayangkan!, bagaimana bisa terlontar ungkapan
seperti itu dari tokoh negara lain yang
bukan muslim, tetapi dia begitu menghormati dan mengagumi kepada sosok M. Natsir.
Hal ini menunujukan bahwa M. Natsir bukanlah sosok orang biasa, beliau dalah
sosok pribadi luar biasa yang dididik
langsung oleh guru-guru yang luar biasa.
Guru-guru yang mempunyai sebuah energi
“Ruh” yang menggerakan, mencerahkan dan menggetarkan kehidupan dalam bentangan sejarah peradaban
manusia.