Kamis, 19 November 2020

ADIAN HUSAINI DAN ISLAMISASI PENDIDIKAN

 

Oleh : Misbahudin

 

 

*Keheningan Pagi Yang Terkoyak*

 

Komplek Pusdiklat Dewan Dakwah, sebuah tempat yang asri yang dikelilingi oleh pepohanan nan hijau yang  sesekali  hembusan angin nan sejuk, meraba-raba dan mengelus-ngelus wajah dengan manja. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu, terlahirnya sebuah pragment-pragment kenangan hidup,  banyak cerita berjuta asa dari setiap hati yang mengabdi disini, sendau gurau, tawa dan mungkin air mata, menjadi sebuah variasi rasa hati dalam  sebuah bingkai perjuangan di medan jihad tarbiyyah ini.

 

Pagi ini, ku lihat Jam sudah menunjukan 06.00 WIB, tidak seperti biasanya, di pagi nan cerah ini, komplek pusdilat Dewan Dakwah sudah ramai didatangi oleh para  mujahid tarbiyah.  Padahal pada jam-jam seperti ini,  biasanya mereka masih sibuk dengan hirup pikuk urusan rumahnya apalagi ema-ema tentunya.  tetapi pada pagi ini,  mereka  berduyun-duyun dengan penuh antusias dan gairah.  _(walaupun mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, dikasih kosumsi gak ya? Karena ini masih pagi bangedd ya Allah. hehe)_.

 

Kedantang para pendidik di pagi buta ini, bukan karena tidak ada maksud dan tujuan.  Mereka datang  untuk mengikuti acara _*“ngaji Bareng”*_ yang diadakan oleh bidang Pendidikan Dewan Dakwah Islam Indoneisa dengan sebuah tujuan untuk menyirami jiwa dan pikiran yang gersang dan hampa para pendidik agar bisa fresh Kembali untuk mengemban misi sucinya. Pada  kesempatan perdana *“ngaji bareng”* ini, pematerinya adalah tokoh nasional,  sosok intelektual dan cendikiawan muda Indonesia. Yaitu DR. Adian Husaini.

 

Pada kesempataan ini, beliau menyampaikan sebuah tema _“Islamisasi Pendidikan”_,  ada sebuah harapan dengan tema ini, para pendidik mendapat sebuah pencerahan peradababan dan  dapat memetik  spirit ruh keislaman yang lebih mendalam dan lebih “menggerakan” jiwa. Sebuah spirit ilahiyah  yang harus mereka diinternalisasikan dan disisipkan kedalam  aktivitas pengajaran  mereka.

 

Beliau mengatakan bahwa, “Islamisasi Pendidikan tidak akan terlepas dari tujuan Pendidikan”, sebagai mana ungkapan M. Natsir. _“Tujuan  manusia diciptakan adalah merupakan  tujuan pendidikan Islam itu sendiri”. Hal ini mengandung nilai filosofis yang dalam, karena Ketika tujuan pendidikan diarahkan untuk memaksimalkan tujuan diciptakan manusia di alam semesta ini. Maka pada  hakikatnya, Pendidikan itu sudah berjalan dalam rel yang benar “On The Track”.

 

_“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”_ (QS. Adz Dzariyat: 56)

 

Maka, kurikulum keilmuan yang menjadikan tujuan peciptaan manusia sebagai tujuan dari proses pendidikannya, maka akan melahirkan ilmu yang mengandung nilai-nilai ilahi yang  akan mengantarkannya lebih dekat kepada Allah dan lebih menikmati keislamnnya,  karena pada hakikatnya semua ilmu adalah milik Allah, jika kita melihat alam semesta dan segala isinya dengan hati yang jernih dan fikiran yang bersih, maka kita akan mendapatkan sebuah kongklusi bahwa “segala sesuatu menunjukan bahwa Diam maha kuasa”.

 

_”Katakanlah (wahai Muhammad), Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”_ [al-Kahfi/18:109]

 

Maka produk Pendidikan yang lahir dari kurikulum islami akan membentuk  pribadi pribadi yang berkualitas, terciptanya mindset seorang muslim dalam melihat kehidupan, dan akan terwujudnya worlview islam dalam   mempelajari ilmu apapun.  Keilmuan yang didapat dan ditemukan bukan hanya menjadi sebuah penemuan _“discovery”_ tetapi akan  menjadi sebuah prinsip dan pegangan hidup.

 

_”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”_ (QS. Al-Alaq : 1-5).

 

Ilmu yang didapat menjadikan para _tholabul ilmi_ menjadi pribadi religius dan produktif, karena ilmu dalam konsep Islam harus melahirkan sebuah amal yang nyata bukan hanya sebatas wawasan dan teori saja. Ssebagaimana pepatah arab mengatakan, _“ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah"_.

 

Betapa tidak enak ketika menanam pohon yang diharapkan, ternyata tidak berbuah. Pohon yang kita sayangi dan cintai itu, sekadar memberi harapan yag palsu, sedangkan buah yang dinanti tidak ada. Begitulah ilmu pada diri yang tidak diamalkan. Kemuliaan ilmu bukan dilihat dari hanya dari kuantitas dan kualitas ilmu itu sendiri,  tetapi Kemuliaan ilmu seseorang disisi Allah adalah mereka yang konsisten mengamalkannya.

 

Hal ini tersirat juga dalam firman Allah, bahwa Dia akan mengangkat derajat mereka yang beriman dan berilmu beberapa derajat.

 

_“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“_  (Al Mujadilah : 11).



Maka subtasi dari kata iman bukanlah sebuah kata benda yang diam, tetapi iman adalah kata kerja  yang lahir dari sebuah keyakinan dan bergerak menunjukan sebuah bukti keimanannya dengan melahirkan amal-amal yang shalih.  Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah mengatakan :

 

وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .

 

_”Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat”_.



*Sumber Islamisasi Pendidikan*

 

Adian Husaini mengatakan, bahwa sumber islamisasi pendidikan adalah harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Karena dua “pusaka” ini merupakan sebuah peninggalan Rasulullah yang akan menjadi acuan dan pedoman  dalam hidup dan berkehidupan.  Keduanya  menjadi  timbangan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk menurut Allah dan Rasul-Nya. Bukan benar dan baik menurut akal atau perasaan semata.

 

_*”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”*. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik, Hakim,  Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).



Maka dalam islamisasi pendidikan ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi sebuah nilai yang harus disisipkan dalam proses pengajaran  ilmu apapun, karena pada hakikatnya dalam islam. Iilmu itu tidak bebas nilai, ilmu itu mengandung nilai-nilai ilahiyah  yang harus  menjadi oase dan pedoman kehidupan yang terpatri di dalam sanubari yang paling dalam.

 

Jika Al-Qur’an dan As-sunnah dijauhkan dari pengajaran dan Pendidikan, maka akan lahir lah pendidikan  yang sekuler, sebuah Pendidikan yang memisahkan anatara dunia dan agama, tentu hal ini adalah sebuah kesalahan fatal dalam dunia Pendidikan. Karena agama dan kehidupan tidak akan terpisahkan selamanya.  Sebagaimana  firman Allah

 

_“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu”_ [Al-Maa-idah: 3]

Maka disini kita memahami Islam bukan hanya sekedar kepercayaan dan keyakinan saja, tetapi lebih dari itu, Islam menjadi sebuah pedoman hidup yang akan menyelamtkan manusia di dunia dan diakhirat.  Karena Islam mengajarkan penanaman nilai ketauhidan yang tinggi, menjadikan Allah yang pertama dan utama dalam kehidupannya.

 

_“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam”_(Q.S al-An’ām : 162)

 

Ini menunjukan bahwa  segala aktivitas kita, baik  bekerja, mendidik, dan menuntu ilmu  dan kegiatan yang lainnya, harus bermuara sebagai bentuk peribadahan kepada Allah,  memang orang non muslim, seperti jepang sudah bisa membangun karakater manusia yang luar biasa dalam kedisiplinan dan etos kerja. Tetapi ingat!,  karater unggul mereka  hanya untuk membabngu kehidupan dunia  mereka saja.  Tidak berkaiatan dengan hal-hal yang agung yang berkaiatan dengan ketuhanan dan peribadahan.  

 


Sebaliknya, umat islam hanya kaya dengan konsep dan teori yang indah, karena Islam itu sendiri merupakan ajaran yang Allah turunkan kepada umat manusia melaluli lisan Rasulnya untuk menjadi pedoman hidup, tetapi umat Islam hanya berhenti dalam tatanan teori dan wawasan saja, mereka masih jauh dari praktek  yang menjadi habit, budaya dan peradaban. Maka islamisasi pendidikan diharapkan bisa membumikan nilai-nilai ilahiyah dalam ilmu-ilmu yang dipelajari menjadi sebuah amalan yang nyata  dan menjadi “life Style” dalam kehidupan.

 

*Tujuan Pendidikan Islam*

 

Lebih lanjut, Adian Husaini menyapakan bahwa islamisasi pendidikan itu terbentuk dari tujuan Pendidikan itu sendiri, jika tujuan pendidikan itu agar peserta didik dapat mendapatkan kerja dimasa depannya, memiliki bergaji besar yang besar untuk keperluan hidupnya atau bisa mendapatkan jabatan yang membanggakan orang tuanya. Maka itu bukanlah tujuan pendidikan islam. Kenpa?, karena hasil produk pendidikan seperti itu, lahir dari kenginan  dan ambisi  duniawi semata.

 

Maka untuk melihat tujuan pendidikan islam itu sendiri, maka kita harus merujuk Kembali kepada pentunjuk-petunjuk tersurat ataupun tersirat dari Al-Qur’an dan As-sunnah. Diantara tujuan pendidikan yang dapat simbulkan adalah :

 

1)    Melahirkan Pribadi Yang Bertaqwa

 

Ketaqwaan adalah sebuah hal yang berharga dalam kehidupan, tidak terlihat tetapi lebih berharga dari barang-barang berharga yang terlihat.  Ketaqwaan adalah  sesuatu yang mahal di negeri ini, negeri ini  tidak kekuarangan orang-orang inetelek dan cerdas. Tetapi kekuarang orang-orang yang betaqwa, tindakan korupsi  yang mereja lela dan membudaya, akar permasalahannya adalah tidak adanya tekaqwaan dari diri para koruptor. Maka solusi yang benar-benar fundamental adalah islamisasi pendidikan yang dapat menguatkan dan menyuburkan ketaqwaan dan ketauhidan dalam diri peserta didiknya.

 

 

_“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”_ (QS. Al-Baqarah: 197)

 

 

Sebagaimana wasiat pendidikan Luqmanul Hakim kepada anak-anaknya agar menjaga dan menumbuh suburkan ketaqwaannya kepada Allah sebagai pegangan hidup. Bukan wasiat mengenai harta dunia ataupun hal-hal yang bersangkut paut dengan  itu semua.

 

 

_“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”_(QS. Lukman: 13).



Maka ketaqwaan menjadi baromter untuk melihat kualitas diri kita dihadapan Allah. Termasuk orang muliakah kita ataukah sebaliknya, oleh karena itu kecerdasan, inteletualitas, kekayaan, penampian dan lainnya sebagainya bukalah menjadi sebuah standar kemuliaan sisi Allah.

 

 

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

 

 

Ath Thobari rahimahullah berkata, _“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.”_(Tafsir Ath Thobari, 21:386). Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)




2)     Mencetak Pribadi Yang Berahlak Mulia

 

 

Rasulullah diutus adalah untuk menyempurnakan Ahlak manusia, ini sebuah perlajaran  yang tersirat,  dimana Rasulullah sebagai pendidik sejati mempunyai sebuah “goal” dari pendidikannya adalah untuk menbentuk para muridnya  (sahabat-sahabatnya) menjadi  pribadi-pribadi yang berkepribadian luhur.

 

 

_“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.”_  (Al-Ahzab: 21)

 

 

Para sahabat setelah mendapat pendidikan dari Rasulullah mereka menjadi pribadi yang luar biasa dari segi ketaqwaan dan akhlaknya. Maka tidak heran Rasulullah membanggakan negerasi ini, dengan julukan generasi terbaik.

 

 

_“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”_ (HR. Bukhari-Muslim).



3)    *Membentuk Pribadi Yang Produktif*

 

 

Keimanan berkaitan erat dengan amal shaleh, dari berbagi ayat Al-Qur’an,  Allah senantiasa menyandingkan iman itu dengan amal shaleh. Diantaranya adalah :

 

 

_“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,”_ (QS. An Nahl: 97).

 

 

Manusia yang beriman adalah manusia yang senantiasa beramal dengan produktif, karena dalam setiap aktivitasnya hanya ridho Allah yang menjadi tujuannya, orang yang beriman yang bekerja dalam berbagai propesi apapun pasti mereka akan menjadi pribadi yang produktif yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Karena atasan mereka adalah Allah. Karena hidup mereka adalah untuk ibadah. Itulah prinsip dasarnya. Maka inilah salah satu “goal” dari tujuan pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang penuh kemamfaatan.

 

 

Manusia yang imannya lemah, akan terjebak dengan sebuah konsep kerja “asal bapak senang” dengan dibumbuhi kegiatan sikut kanan kiri yang sudah menjadi tradisi dirinya untuk membagusnya image terbaik di hadapan atasannya. Dan akan lahir pula trasiri dan budaya  “menjilat” atasan dengan harapan ingin medapatkan “sesuatu” atau timbalik balik dari loyalitasnya yang semu itu.  Dia akan produktif Ketika atasan melihat dan mengontrol kerjanya, tetapi akan berleha-leha Ketika atasan tidak melihatnya. Ini sudah menjadi hukum kausalitas yang tidak bisa dipungkiri.

 

 

Maka Rasulullah mengajurkan umatnya agar senantiasa menjadi pribadi-pribadi yang baik dan produktif di manapun dan kapanpun.

 

 

_“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”_ (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).



Maka hal ini, harus menjadi salah satu nilai dan doktrin yang harus ditanamkan kedalam diri peserta didik. 



4)    *Berenampilan Yang Indah Dan Menarik*

 

 

Berpenampilan indah dan menarik tentu kita tafsirkan secara positif dengan perfektif Islam, naluri keindahan sudah terpatri dalam sabunubari kita, hati kita cendrung untuk mengagumi dan menginginkan sesuatu yang indah dan menarik. Kecendrungan itu, Allah Install dalam diri manusia sebagai salah satu “isyarat” manusia itu harus indah  dalam hati, ucapan, Tindakan dan tidak terkecuali penampilannya.

 

 

_“Kebersihan itu  adalah bagian dari iman”_ (HR. Muslim).

 

 

Maka Pendidikan Islam harus melahirkan pribadi yang ta’at kepada Allah dan Rasulnya, berpenampilan baik, sopan menurut auratnya. Karena berpenampilan bagi seorang muslim adalah bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah.

 

 

_”Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka” _(QS. An-Nuur: 31)



Rasulullah adalah pribadi yang berpenampilan yang baik dan menarik bagi sahabatmya,  sebagaimana diceriatakan dalam sebuah hadits

 

 

_”Keindahan penampilan. Nabi Saw selalu memakai pakaian terbaik yang beliau miliki. Sebelum menemui para utusan, beliau akan mengenakan pakaian yang sesuai dengan status dan tradisi masing-masing utusan. Rasulullah juga suka parfum. Dari Aisyah," Aku selau memercikkan aroma (farfum) terbaik kepada Nabi."_ (HR Muslim).

 



Nabi melarang setiap orang yang makan bawang merah atau bawang putih masuk ke dalam masjid. Beliau mendukung keindahan secara umum sebagai salah satu hal yang dicintai Allah SWT. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda :

 

 

_“Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya”_.(HR. Tirmidzi dan Hakim).




*Guru, Roda Peradaban Yang Harus Teruh Berputar*

 

Ada sebuah ungkapan menarik yang patut untuk direnungkan oleh para pendidik, _“at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa al-mudarris ahammu mina-t-thariqah, wa ruhu-l-mudarris ahammu mina-l-mudarris nafsihi”_.  Metodologi pengajaran lebih penting dari materi pelajaran itu sendiri. Dan guru lebih penting dari metodologi. Dan “ruh” seorang guru lebih penting dari guru itu sendiri.

 

Materi apapun yang disampaikan, jika menggunakan metode yang benar, maka akan dapat diterima para siswa dengan baik. Sebaliknya, materi yang telah dipersiapkan dengan matang, akan menjadi hampa, tanpa metode yang baik. Dan metode yang baik tanpa wujud guru yang akan mengajar maka akan sia-sia belaka. Karena metodogi harus ada manusia yang mengaflikasikannya.

 

Terakhir, “ruh” guru, The Man, The soul,  yang mempunyai sebuah spirit dan daya energi yang menggerakan dan menyadarkan peserta didik itu lebih penting dari keberadaan guru itu sendiri. Begitu banyak guru yang hanya menjadi mediator trasper ilmu dan wawasan. Tetapi sedikit guru yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi lebih dari itu, menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam jiwa peserta didik. Sehingga nilai-nilai itu menjadi sebuah pemantik kesadaran untuk terus menerpa diri menjadi pribadi yang berkualitas.

 

Maka sungguh betul, guru adalah pahlwan tanpa tanda jasa, karena  bagaimana masa depan sebuah negeri puluhan tahun kedapan, ditentukan oleh kualitas-kualitas para remaja dan pemudanya, karena merekalah yang akan memegang tonggak perubahan di masa depan. Dan bagaimana kualitas remaja dan pemuda masa depan ditentukan oleh kualitas pendidikannya.

 

 

*Guru Sang Lentera Peradaban*

 

Guru adalah sang lentera pedaban, bayangkan bagaimana kehidupan,  jika kita tidak mendapatkan pengajaran, penanaman nilai, akhlak dan tidak mendapatkan keteladan dari sosok guru kehidupan?.  Guru  adalalah lentera pedaban yang mengusir kegelapan dalam jiwa kita dan menghilangkan kebodohan dan kesesatan pola fikri dalam diri kita.

 

Berkaca kepada M. Natsir sang pendiri dewan dakwah, sosok da’i, politikus dan negarwan. Lembaran hidupnya diisi dengan perjuangan yang tiada henti untuk menjadikan Islam sebagai jalan kehidupan untuk pemeluknya “way of life”, menjadikan islam sebagai agama pembawa rahmat  untuk semesta alam.

 

M. Natsir adalah sosok pribadi yang luar biasa dimasanya dan senantiasa menjadi kenangan manis untuk orang-orang setelahnya, ruh perjuangan tetap hidup dan membakar jiwa-jiwa pejuang muda  saat ini dan di masa depan, walaupun dirinya sudah tiada. Beliau menjadi sosok seperrti itu, tidak terlepas dari sosok guru-guru yang membinanya.

 

A.Hasan, Syekh Surkati dan Agus Salim adalah guru-guru utama dalam kehidupannya yang  memberikan sebuah warna “shibghah” keislaman, wawasan, karakter dan mindset yang menjadikan beliau menjadi manusia yang luar biasa, menjadi tokoh bangsa, bahkan menjadi tokoh islam Internasinal karena ketokohan dan kontribusinya.

 

 

Kualitas Natsir ini tidak hanya diakui oleh tokoh-tokoh Islam, bahkan oleh orang non muslim sekalipun,  mengakui ketokohan beliau, sampai-sampai ketika menteri keuangan Jepang saat itu,  Takeo Fukuda Ketika mendengar meninggalnya M. Natsir, Dia menulis surat dan menyatakan bahwa berita wafatnya M.  Natsir  terasa lebih dahsyat daripada ledakan  bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Berikut ini isi surat  :

 

_“Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya Dr. Mohammad Natsir. Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam. Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkoordinasikan dunia yang stabil_. 

  

_Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau berkunjung ke Jepang di saat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil, sejahtera dengan kerja sama Jepang_.

 

_Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau untuk beristirahat. Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan kata belasungkawa atas kepergian teman kami, pemimpin dunia yang disegani, Doktor Mohammad Natsir_.

 

_Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan meneruskan perjuangan suci beliau.”_ (Surat Takeo Fukuda dikutip dari buku Gagasan dan Gerak Dakwah Natsir, karya H. Mas’oed Abidin (Yogyakarta: Gre Publishing, 2012).

 

Bayangkan!, bagaimana bisa terlontar ungkapan  seperti itu dari tokoh negara lain yang bukan muslim, tetapi dia begitu menghormati dan mengagumi kepada sosok M. Natsir. Hal ini menunujukan bahwa M. Natsir bukanlah sosok orang biasa, beliau dalah sosok pribadi  luar biasa yang dididik langsung oleh  guru-guru yang luar biasa. Guru-guru yang mempunyai sebuah energi  “Ruh” yang menggerakan,  mencerahkan dan menggetarkan  kehidupan dalam bentangan sejarah peradaban manusia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar