Senin, 02 November 2020

QUO VADIS?, MAULID SANG NABI

 


_(Sebuah Permentasi Diskusi di WAG Forum Mubahatsah)_

Oleh  : Misbahudin

 

 

*Relativisme Ekpresi Cintah*

 

Rasa cinta adalah sebuah rasa yang agung, sebuah naluri kehidupan. Cinta merupakan bumbu kehidupan nan indah.  Apalagi jika  cinta itu dikristalisasikan  hanya kepada Allah dan Rasulnya, maka sungguh  mereka telah  menjadikan Allah dan Rasul-Nya  sebagai yang pertama dan utama dalam kehidupannya. Allah pun akan membalas cinta suci mereka dengan sebuah kenikmatan tiada tara, sebuah kenikmatan iman. Sebuah nikmat yang menjadikan generasi terdahulu menjadi pribadi yang luar biasa dengan energi cinta.  

 

_“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”_ (HR. Bukhari).

 

Maka mereka yang mengaku cinta kepada Rasulullah sebagai sebuah bentuk ibadah dan bentuk kekaguman kepada teladan kehidupan yang abadi.  Kita dapati sebuah phenomena dari  sebuah ekpresi cinta dalam bentuk yang berbeda satu kelompok dengan yang lainnya.  Satu golongan mengekpresikan cintanya kepada Rasulullah  dengan memperingati hari kelahirannya (maulid Nabi), dan golongan yang lain mengekpresikan bentuk cintannya, justu dengan tidak merayakan maulid. Sebuah ekpresi cinta yang sungguh bertolak belakang.   Tetapi ekpresi cinta kedua golongan tersebut, memiliki sebuah subtansi rasa yang sama, yaitu sebuah kecendrungan  jiwa, ketertarikan dan  keterikatan hati yang begitu kuat  dalam dalam terhadap Rasulullah.

 

Maka timbulah sebuah pertanyaan yang mengelayut dan menggelitik hati dan pikiran kita, apa sieh,  landasan idiologis dan argumentasi  dari dua golongan tersebut?,  sama-sama mengaku cinta kepada Rasulullah tetapi mereka merekpresikan cinta dengan cara yang berbeda,  bahkan bertolak belakang satu dengan yang lainnya?.

 

*Embrio Lahirnya Maulid Nabi Ke Muka Bumi*

 

Jika kita menilai dengan objektivitas, memang maulid Nabi itu tidak lahir di jaman nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, tetapi  Menurut keterangan dari al-Maqrizy dalam kitabnya yang berjudul al Khathat, perayaan Maulid dimulai ketika zaman Daulah Fatimiyah syiah di Mesir.

 

Mereka membuat banyak acara perayaan Maulid, seperti Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maulid 'Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah binti 'Ali, hingga maulid Hasan bin 'Ali dan Husain bin 'Ali. Bani Fatimiyah ini berkuasa sekitar abad 4 H.  Hal inilah yang menyebabkan kalangan Ulama seperti Tajuddin al Fakihani dan as Sakhawi, murid Imam Nawawi, berfatwa bahwa perayaan Maulid adalah bid'ah tercela.

 

 

Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”

 

Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.

 

 

Maka kajian sejarah, menjelaskan kepada kita asal-muasal lahirnya acara maulid nabi, dan seiring berjalan waktu, maulid dijadikan momentum untuk mengkaji kehidupan Rasulullah, akhlaknya yang luhur dan budi pekertinya yang tinggi, sehingga dapat mematri diri agar lebih dengan dengan inti ajaran islam dan bersenyewa dengan islam. Sebuah keislaman yang selaras antara hati, ucapan dan Tindakan, bukan hanya keislaman sebagai identitas belaka.

 

*Argumet Suporter Anti Maulid Nabi*

 

1.      *Dalam Urusan Agama Itu Harus Berdasarkan Dalil bukan Perasaan*

 

 

Golongan ini mempunyai sebuah landasan yang jelas secara dalil dan logika, mereka yang anti maulid Nabi mempunyai sebuah landasan idiologis yang ilmiah, mereka senantiasa bermuara agar berpegang kepada Al-Qur’an dan as-sunnah,  karena keduanya merupakan sebuah acuan kebenaran dalam beragama, bukan baik dan buruk menurut perasaan, bukan baik dan buruk menurut adat.

 

 

 _”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”_. (H.R. Malik)



Maka selama tidak ada perintah dalam urusan agama maka bukti ketaatan dan kecintaan kita adalah dengan tidak membuat dan berinovasi apapun dalam masalah agama, karena agama sifatnya _tauqifi_   berbeda dalam urusan agama yang sifatnya, selama tidak ada larangan, maka berinvasilah dan berkreativitaslah.

 

 

Apa yang  tidak diperintahkan dan tidak dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya berarti itu tidak ada syariat terntang hal itu, jika berbicara masalah cinta, maka pasti kualitas cinta para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in lebih besar dari pada cinta kita kepada Rasulullah, jika acara maulid nabi itu baik, maka pasti mereka akan melakukan hal tersebut  terlebih dahulu.

 

 

Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533).

 

2.      *Menyerupai Orang Yahudi Dan Nasrani*

 

 

Allah memberikan sebuah penegasan dalam firmannya, bahwa orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan ridha kepada kaum muslimin, sehingga mereka mengikuti milah mereka.

 

 

_”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”_. (QS. Al-Baqarah : 120).

 

 

 

Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah bisa rela, sampai kamu wahai Nabi mau mengikuti keyakinan mereka. Sampai engkau mau meninggalkan agamamu dan pindah ke agama mereka dan mengikuti perilaku mereka. Katakanlah wahai rasul bahwa petunjuk Alquran adalah agama yang benar dan pentunjuk yang hakiki, terkecuali hukum-hukum yang telah diganti/dihapus. Namun, wahai rasul jika engkau mengikuti perilaku Yahudi dan Nasrani juga mengikuti kitab yang telah mereka palsukan, padahal telah diwahyukan Alquran kepadamu, maka tidak akan ada lagi yang mengurusi urusanmu dan juga menjagamu. Begitu juga tidak akan ada yang bisa menyelamatkanmu dan menolongmu dari azab dan murka Allah. Sebab turunnya ayat ini adalah kaum Yahudi meminta peperangan mereka dengan Nabi dan kaum muslim dihentikan. Dengan begitu mereka berjanji akan mengikuti dan menerima dakwah Nabi. Maka turunlah ayat ini. (Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah)

 

 

 

Maka acara maulid Nabi adalah salah satu gerbang mengikuti milah mereka karena mengadopsi kultur dan budata mereka, imam ibnu taimiyah mengatkan bahwa maulid Nabi ini adalah sebuah budata menyerupai kebiasaan agama nashrani yg maulid Nabi untuk kelahiran Isa. Padahal Rasulullah  menegaskan agar kaum muslimin tidak menyerupai mereka. Ini adalah sebuah komitmen cinta dan ketaatan yang sesunggunya. Sebagaimana sabdanya.

 

 

_“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”_(HR Abu Dawud).

 

 

Maka  kita dilarang mengekor dalam kultur budaya mereka, ucapan-ucapan mereka, pakaian mereka, dan adat kebiasaan mereka. Maka hal ini mengakibatkan mereka termasuk kepada golongan mereka.

 

 

3.      *Rekaman Literasi Tidak Dapat Dipungkiri*

 

 

Bukti literasi yang tidak dapat dipungkiri, bahwa acara maulid nabi tidak ada sama sekali akar sejarahnya dalam literasi dan peradaban Islam, terbukti dalam  Kitab Fathul Bari karya al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani yang dijuluki sebagai pensyarah shahih Bukhari paling phenomenal dan refresentatif.  Sebuah karya ilmiah yang mengagumkan sejak zamannya sampai zaman sekarang.

 

 

Sebagai kitab syarah shahih Bukhari. Kitab ini dalam versi cetakan Darul Ma’rifah, Beirut 1379 terdiri dari 13 jilid plus muqaddimah dan dicetak dalam sebanyak 8004 halaman. Dari sekian ratus ribu kalimat yang termuat didalamnya, kata maulid hanya disebutkan 5 kali saja, dan semua tidak berkaitan dengan peringatan, pengagungan atau perayaan. Rincian yang 5 kali tersebut sbb:

 

1). Dua kali pada halaman 41 dari juz muqaddimah, berkaitan penolakan secara syarí penentuan waktu kellahiran Nabi berdasar asumsi ahli falaq.

 

2). Satu kali pada halaman 583 dari juz 6, berkaitan dengan jumlah mukjizat Nabi yang dihitung  imam Hakim dalam al Iklil, imam Baihaqi dan Abu Nuaem dalam kitab dalaíl nubuwwat, Abu Saíd dalam kitab syaraf al mushthafa. Penghitungan tersebut dari sebelum diutus Nabi bahkan sebelum beliau dilahirkan.

 

3). Satu kali pada halaman 149 dari juz 7, berkaitan dengan yang dimaksud zaman jahiliyah itu adalah antara kelahiran Nabi dan sebelum diangkat Nabi.

 

4). Satu kali pada halaman 268 dari juz 7, berkenaan penetapan awal kalender hijriyah apakah dari kelahiran, kebangkitan sbg nabi, hijrah atau wafat Nabi.

 

Maka argument ini begitu kuat dan kokoh, kejelasannya, sejelas  seterang benderangnya sang mentari di siang hari.  Bahwa Ibnu Hajar tidak sedikitpun memberi perhatian terhadap maulid Nabi, seharusnya jikalah maulid Nabi adalah sebuah phenomena yang sacral, harus beliau memberikan sebuah pembahasan khusus di kitabnya. 

 

*Argument Maulid Nabi Lovers*

 

1.      Apakah mereka akan masuk neraka dengan maulid Nabi?

 

 

Bagi kelompok yang beranggapan bahwa acara maulid Nabi  adalah bid’ah, paka sungguh mengerekian konsekekusi dari kebid’ahan tersebut, mereka yang melakuan kebid’ahan akan diseret dengan perbuatan bid’ah tersebut ke dalam neraka. Dalilnya begitu jelas.

 

 

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. *Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka* (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i).

 

 

Sebuah ungkapan yang begitu mengerikan, *Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka*” . apakah dengan prinsip baku ini,  saudara kita yang sesama muslim, rukun imannya masih enam, dan rukun islamnya masih lima, akankah mereka  masuk neraka karena mengekpresikan cinta kepada Rasulullah dengan acara maulid Nabi.

 

 

Jikalau maulid Nabi itu lahir dari kelompok syi’ah apakah “aqidah” (keyakinan hati)  mereka tentang maulid Nabi itu sama dengan aqidah (keyakinan hati) saudara kita yang muludun hari ini, apakah antara subtansi dan essensi (motif)  acara maulid Nabi mereka dan rituall-ritual mereka sama dengan yang maulid Nabi dari kaum ahlu sunnah wal jama’ah?.

 

 

 

2.      Maulid Nabi Sebuah ikhiar menyuburkan Cinta

 

 

Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad  wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Bukan ya ini hanya moment untuk mengingat bahwa 1400 tahun yg lalu ada sosok manusia yang harus dijadikan sebagai contoh dalam hidup kita.

 

 

Hal ini, bisa menjadi sebuah wasilah untuk orang awam dan generasi milenial agar lebih dekat dengan islam dan lebih mengenal dengan sosok yang seharusnya mereka idolakan jauh melebihi artis-artis korea. Kaum milial terjebak dan sebuah gaya hidup yang jauh dari tradisi islam. Maka acara tersebut  bisa dijadikan sebagai momentum untuk memberikan sebuah “stimulus” agar keimanan mereka  tumbuh dan menggeliat Kembali.

 

 

Karena secara factual,  memang ada maulidan yg munkaroh, mufasiqoh maksiat bahkan mengandung kesyirikan. jelas ini haram.  tapi tak sedikit pula maulid Nabi yang  membangkitkan semangat ibadah, lebih taat dan lebih taqorrub pada Allah. Apakah itu salah?, daripada membiarkan momen itu berlalu begitu saja. Selama itu diniatkan menjadi washilah saja, tidak menggapnya sebagai kewajiban maulid Nabi yang _“like or dis like”_ harus diadakan sebagaimana shalat.

 

 

 

3.      Renungankan Point inti dari pemikir Islam A. Hasan tentang maulid Nabi

 

A Hasan sebagai tokoh klasik yang sering menyeru umat untun Kembali kepada kemurnian islam dan menanggalkan segala tahayul, bid’ah dan khurafat yang tumbuh subuh di kalangan masyarakat.  Beliau berkomentar mengenai maulid Nabi.

 

Pertama, _”Kebiasaan maulid  dengan membaca kitab (berbahasa arab dan dinyanyikan) bukanlah sunnah, Islam mencerdaskan bukan untuk membodohi, sedangkan membaca kitab tanpa dipelajari maknanya adalah sebuah pemdohoan”_.

 

Kedua, _”keyakinan bahwa membaca maulid diatas dan menyanyikan akan mendapatkan pahala adalah kebid’ahan karena tidak ada keterangan dalilnya”_.

 

Ketiga, _”Meyakini kehadiran ruh nabi  dalam perayaan maulid, dan berdiri saat membaca maulid dengan maksud menyambut  kehadiran ruh Rasulullah  adalah sebuah keyakinan yang bid’ah, semasa hidup pun Nabi melarang  kaum muslimin  berdiri dan menghormatinya, janganlah kamu berdiri menghormati aku sebagaimana orant-orang ajam, Sebagian dari mereka berdiri menghormati sebgaian yang lain (Abu Daud).”.

 

Maka dari pemaparan A Hasan diatas, kita mendapat sebuah isyarat tersembunyi, bahwa maulid Nabi yang dilarang adalah maulid Nabi yang mengandung unsur-unsur diatas karena menyimpang dari jaran Rasulullah sendiri, tetapi jiak tidak ada unsur-unsur yang menjadi catatan A Hasan, maka maulid Nabi boleh-boleh saja sebagai sebuah tradisi dengan tidak meyakini bahwa maulid Nabi itu sebuah kewajiban yang akan berakibat berdosa bagi yang tidak melaksanaknnya.  

 

 

4.      *Maulid Nabi Bukan Iftiraq Tapi Ikhtilaf*

 

 

Maulid Nabi bukanlah masalah aqidah  yang  hitam putih, tetapi maulid Nabi adalah ranah _ijtihadi_ dalam beragama, karena tumbuh sumburnya tradisi itu di Indonesia tidak dapat dipungkiri.  dasarnya sudah jelas. Maulud adalah  masalah mahabbah dan ekpresi  gembira atas kelahiran nabi secara naluri dan fitrah kepada sosok yang kita kagumi.

 

 

Dan mengekpersikan rasa cinta, menerut  para ulama boleh bahkan harus. Dan titik perbedaannya adalah mengekpesikan rasa cinta  yang berbeda,  ini jelas masalah furuiyah ijtihadiyah.

 

 

*M. Tatsir, “Hei!, Anak dan Keturunanku, Bersatulah!*

 

M. Natsir adalah sosok politikus Islam yang memvisualisasikan nilai-nilai Islam dalam berpolitik, sehingga beliau membuat sebuah jargon Ketika partai umat Islam kala itu dibubarkan oleh pemerintah karena hasutan PKI, “ Dulu kita berdakwah lewat politik dan sekarang kita berpolitik lewat dakwah”.

 

M. Natsir adalah sosok filosuf yang aktivis, pemikiran cerdas dan tajam, sehingga dengan ketajaman akal dan batinnya mampu menangkap “sinyal-sinyal” masa depan, buktinya mosi intergral natsir lahir dari sebuah ketajaman, dimana Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) maka sangat memungkinkan Indonesia akan mudah dijajah Kembali dan di adu domba oleh pihak penjajah ataupun bisa ada hasutan agar negara federal Indonesia memerdekakan diri. Hal ini tidak mustahil terjadi.

 

Berbicara masalah islam dan masa depannya dengan pemikiran “Out Of The Box” tentu disana ada sebuah tolerasi yang tinggi antar umat islam yang memiliki pandangan ijitihad yang berbeda selama  umat islam memiki konsep keimana dan keislaman yang sama. Karena tanpa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan maka persatuan Islam yang sesunggunya mustahil terwujud di bumi pertiwi.

 

M. Natsir seolah memberikan nasihat kepada kita, umat Islam secara umum agar tetap Bersatu dan harus terus bersatu untuk menyatukan sebuah kekuatan Islam agar nilai-nilai Islam tegak di Indonesia secara intitusi formal.  Karena mustahil Islam akan kuat jika antar sesama muslim tidak mau bersatu demi sebuah tujuan yang besar.  Yaitu _”izatul Islam walmuslimin”_.

 

_“Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya”_ (Mohammad Natsir)

 

Maka jika M. Natsir berpaham  "eksklusif", hitam-putih mengenai perbedaan "ijtihad" keagamaan antar ormas, Maka M.  Natsir pasti tidak akan mampu menyatukan ormas-ormas yang ada dan tidak akan mampu  menggalang kekuatan umat yang heterogeny  menjadi sebuah arus dakwah lewat politik yang bertempur diparlement memperjuangkan Islam.

 

Mampukah N. Natsir seperti itu, jika berpikiran dan sudut pandangnya hanya lingkup satu golongan saja, tidak  mau berfikiran jauh kedepan dan tidak mau  tasamur  (toleransi) dalam perbedaan yang bukan ushuli dalam menggalang kekuatan dakwah  dalam politik?.

 

Wallahu a’lam bishowwab.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar