_(Sebuah Permentasi Diskusi di WAG Forum Mubahatsah)_
Oleh : Misbahudin
*Relativisme
Ekpresi Cintah*
Rasa cinta
adalah sebuah rasa yang agung, sebuah naluri kehidupan. Cinta merupakan bumbu
kehidupan nan indah. Apalagi jika cinta itu dikristalisasikan hanya kepada Allah dan Rasulnya, maka sungguh mereka telah menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai yang pertama dan utama dalam
kehidupannya. Allah pun akan membalas cinta suci mereka dengan sebuah
kenikmatan tiada tara, sebuah kenikmatan iman. Sebuah nikmat yang menjadikan
generasi terdahulu menjadi pribadi yang luar biasa dengan energi cinta.
_“Ada tiga
perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan
mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih
ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya
mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah
Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”_
(HR. Bukhari).
Maka mereka
yang mengaku cinta kepada Rasulullah sebagai sebuah bentuk ibadah dan bentuk
kekaguman kepada teladan kehidupan yang abadi. Kita dapati sebuah phenomena dari sebuah ekpresi cinta dalam bentuk yang berbeda
satu kelompok dengan yang lainnya. Satu golongan
mengekpresikan cintanya kepada Rasulullah dengan memperingati hari kelahirannya (maulid Nabi),
dan golongan yang lain mengekpresikan bentuk cintannya, justu dengan tidak
merayakan maulid. Sebuah ekpresi cinta yang sungguh bertolak belakang. Tetapi ekpresi
cinta kedua golongan tersebut, memiliki sebuah subtansi rasa yang sama, yaitu sebuah
kecendrungan jiwa, ketertarikan dan keterikatan hati yang begitu kuat dalam dalam terhadap Rasulullah.
Maka timbulah
sebuah pertanyaan yang mengelayut dan menggelitik hati dan pikiran kita, apa
sieh, landasan idiologis dan argumentasi
dari dua golongan tersebut?, sama-sama mengaku cinta kepada Rasulullah
tetapi mereka merekpresikan cinta dengan cara yang berbeda, bahkan bertolak belakang satu dengan yang
lainnya?.
*Embrio Lahirnya Maulid Nabi Ke Muka Bumi*
Jika kita menilai dengan objektivitas, memang
maulid Nabi itu tidak lahir di jaman nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in,
tetapi Menurut keterangan dari
al-Maqrizy dalam kitabnya yang berjudul al Khathat, perayaan Maulid dimulai
ketika zaman Daulah Fatimiyah syiah di Mesir.
Mereka membuat banyak acara perayaan Maulid,
seperti Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maulid 'Ali bin Abi Thalib,
maulid Fatimah binti 'Ali, hingga maulid Hasan bin 'Ali dan Husain bin 'Ali.
Bani Fatimiyah ini berkuasa sekitar abad 4 H. Hal inilah yang
menyebabkan kalangan Ulama seperti Tajuddin al Fakihani dan as Sakhawi, murid
Imam Nawawi, berfatwa bahwa perayaan Maulid adalah bid'ah tercela.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah
mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun.
Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain,
maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang
berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam
pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban,
perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam
pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan,
perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha,
perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim
panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al
Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah),
dan hari Rukubaat.”
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri
Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam
perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al
Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu
Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H.
Maka kajian sejarah, menjelaskan kepada kita
asal-muasal lahirnya acara maulid nabi, dan seiring berjalan waktu, maulid dijadikan
momentum untuk mengkaji kehidupan Rasulullah, akhlaknya yang luhur dan budi
pekertinya yang tinggi, sehingga dapat mematri diri agar lebih dengan dengan
inti ajaran islam dan bersenyewa dengan islam. Sebuah keislaman yang selaras
antara hati, ucapan dan Tindakan, bukan hanya keislaman sebagai identitas
belaka.
*Argumet Suporter Anti Maulid Nabi*
1. *Dalam
Urusan Agama Itu Harus Berdasarkan Dalil bukan Perasaan*
Golongan ini mempunyai sebuah landasan yang jelas secara dalil dan
logika, mereka yang anti maulid Nabi mempunyai sebuah landasan idiologis yang
ilmiah, mereka senantiasa bermuara agar berpegang kepada Al-Qur’an dan
as-sunnah, karena keduanya merupakan sebuah
acuan kebenaran dalam beragama, bukan baik dan buruk menurut perasaan, bukan
baik dan buruk menurut adat.
_”Aku telah tinggalkan
pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”_. (H.R. Malik)
Maka selama tidak ada perintah dalam urusan agama maka bukti
ketaatan dan kecintaan kita adalah dengan tidak membuat dan berinovasi apapun
dalam masalah agama, karena agama sifatnya _tauqifi_ berbeda dalam urusan agama yang sifatnya,
selama tidak ada larangan, maka berinvasilah dan berkreativitaslah.
Apa yang tidak
diperintahkan dan tidak dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya berarti itu
tidak ada syariat terntang hal itu, jika berbicara masalah cinta, maka pasti kualitas
cinta para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in lebih besar dari pada cinta kita
kepada Rasulullah, jika acara maulid nabi itu baik, maka pasti mereka akan
melakukan hal tersebut terlebih dahulu.
Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi
berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533).
2. *Menyerupai
Orang Yahudi Dan Nasrani*
Allah memberikan sebuah penegasan dalam firmannya, bahwa
orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan ridha kepada kaum muslimin, sehingga
mereka mengikuti milah mereka.
_”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu”_. (QS. Al-Baqarah : 120).
Orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah bisa rela, sampai kamu
wahai Nabi mau mengikuti keyakinan mereka. Sampai engkau mau meninggalkan
agamamu dan pindah ke agama mereka dan mengikuti perilaku mereka. Katakanlah
wahai rasul bahwa petunjuk Alquran adalah agama yang benar dan pentunjuk yang
hakiki, terkecuali hukum-hukum yang telah diganti/dihapus. Namun, wahai rasul
jika engkau mengikuti perilaku Yahudi dan Nasrani juga mengikuti kitab yang
telah mereka palsukan, padahal telah diwahyukan Alquran kepadamu, maka tidak
akan ada lagi yang mengurusi urusanmu dan juga menjagamu. Begitu juga tidak
akan ada yang bisa menyelamatkanmu dan menolongmu dari azab dan murka Allah.
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum Yahudi meminta peperangan mereka dengan
Nabi dan kaum muslim dihentikan. Dengan begitu mereka berjanji akan mengikuti dan
menerima dakwah Nabi. Maka turunlah ayat ini. (Tafsir Al-Wajiz / Syaikh Prof.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah)
Maka acara maulid Nabi adalah salah satu gerbang mengikuti milah
mereka karena mengadopsi kultur dan budata mereka, imam ibnu taimiyah mengatkan
bahwa maulid Nabi ini adalah sebuah budata menyerupai kebiasaan agama nashrani
yg maulid Nabi untuk kelahiran Isa. Padahal Rasulullah menegaskan agar kaum muslimin tidak menyerupai
mereka. Ini adalah sebuah komitmen cinta dan ketaatan yang sesunggunya. Sebagaimana
sabdanya.
_“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian
dari mereka”_(HR Abu Dawud).
Maka kita dilarang mengekor
dalam kultur budaya mereka, ucapan-ucapan mereka, pakaian mereka, dan adat
kebiasaan mereka. Maka hal ini mengakibatkan mereka termasuk kepada golongan
mereka.
3. *Rekaman
Literasi Tidak Dapat Dipungkiri*
Bukti literasi yang tidak dapat dipungkiri, bahwa acara maulid
nabi tidak ada sama sekali akar sejarahnya dalam literasi dan peradaban Islam, terbukti
dalam Kitab Fathul Bari karya al Hafidz
Ibnu Hajar al Asqalani yang dijuluki sebagai pensyarah shahih Bukhari paling
phenomenal dan refresentatif. Sebuah karya
ilmiah yang mengagumkan sejak zamannya sampai zaman sekarang.
Sebagai kitab syarah shahih Bukhari. Kitab ini dalam versi cetakan
Darul Ma’rifah, Beirut 1379 terdiri dari 13 jilid plus muqaddimah dan dicetak
dalam sebanyak 8004 halaman. Dari sekian ratus ribu kalimat yang termuat
didalamnya, kata maulid hanya disebutkan 5 kali saja, dan semua tidak berkaitan
dengan peringatan, pengagungan atau perayaan. Rincian yang 5 kali tersebut sbb:
1). Dua kali pada halaman 41 dari juz
muqaddimah, berkaitan penolakan secara syarí penentuan waktu kellahiran Nabi
berdasar asumsi ahli falaq.
2). Satu kali pada halaman 583 dari juz 6,
berkaitan dengan jumlah mukjizat Nabi yang dihitung imam Hakim dalam al Iklil, imam Baihaqi dan
Abu Nuaem dalam kitab dalaíl nubuwwat, Abu Saíd dalam kitab syaraf al
mushthafa. Penghitungan tersebut dari sebelum diutus Nabi bahkan sebelum beliau
dilahirkan.
3). Satu kali pada halaman 149 dari juz 7,
berkaitan dengan yang dimaksud zaman jahiliyah itu adalah antara kelahiran Nabi
dan sebelum diangkat Nabi.
4). Satu kali pada halaman 268 dari juz 7,
berkenaan penetapan awal kalender hijriyah apakah dari kelahiran, kebangkitan
sbg nabi, hijrah atau wafat Nabi.
Maka argument
ini begitu kuat dan kokoh, kejelasannya, sejelas seterang benderangnya sang mentari di siang
hari. Bahwa Ibnu Hajar tidak sedikitpun
memberi perhatian terhadap maulid Nabi, seharusnya jikalah maulid Nabi adalah sebuah
phenomena yang sacral, harus beliau memberikan sebuah pembahasan khusus di kitabnya.
*Argument Maulid Nabi Lovers*
1. Apakah
mereka akan masuk neraka dengan maulid Nabi?
Bagi kelompok yang beranggapan bahwa acara maulid Nabi adalah bid’ah, paka sungguh mengerekian konsekekusi
dari kebid’ahan tersebut, mereka yang melakuan kebid’ahan akan diseret dengan
perbuatan bid’ah tersebut ke dalam neraka. Dalilnya begitu jelas.
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi
petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. *Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang
diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah,
setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka*” (HR.
An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih
wa Dha’if Sunan An Nasa’i).
Sebuah ungkapan yang begitu mengerikan, “*Sejelek-jelek
perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka*” . apakah dengan prinsip baku
ini, saudara kita yang sesama muslim,
rukun imannya masih enam, dan rukun islamnya masih lima, akankah mereka masuk neraka karena mengekpresikan cinta
kepada Rasulullah dengan acara maulid Nabi.
Jikalau maulid Nabi itu lahir dari kelompok syi’ah apakah “aqidah”
(keyakinan hati) mereka tentang maulid
Nabi itu sama dengan aqidah (keyakinan hati) saudara kita yang muludun hari
ini, apakah antara subtansi dan essensi (motif)
acara maulid Nabi mereka dan rituall-ritual mereka sama dengan yang maulid
Nabi dari kaum ahlu sunnah wal jama’ah?.
2. Maulid
Nabi Sebuah ikhiar menyuburkan Cinta
Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di
masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat. Secara subtansi,
peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad. Bukan ya ini hanya moment untuk mengingat bahwa 1400 tahun yg lalu
ada sosok manusia yang harus dijadikan sebagai contoh dalam hidup kita.
Hal ini, bisa menjadi sebuah wasilah untuk orang awam dan generasi
milenial agar lebih dekat dengan islam dan lebih mengenal dengan sosok yang seharusnya
mereka idolakan jauh melebihi artis-artis korea. Kaum milial terjebak dan
sebuah gaya hidup yang jauh dari tradisi islam. Maka acara tersebut bisa dijadikan sebagai momentum untuk
memberikan sebuah “stimulus” agar keimanan mereka tumbuh dan menggeliat Kembali.
Karena secara factual, memang
ada maulidan yg munkaroh, mufasiqoh maksiat bahkan mengandung kesyirikan. jelas
ini haram. tapi tak sedikit pula maulid
Nabi yang membangkitkan semangat ibadah,
lebih taat dan lebih taqorrub pada Allah. Apakah itu salah?, daripada membiarkan
momen itu berlalu begitu saja. Selama itu diniatkan menjadi washilah saja,
tidak menggapnya sebagai kewajiban maulid Nabi yang _“like or dis like”_ harus
diadakan sebagaimana shalat.
3. Renungankan
Point inti dari pemikir Islam A. Hasan tentang maulid Nabi
A Hasan sebagai
tokoh klasik yang sering menyeru umat untun Kembali kepada kemurnian islam dan
menanggalkan segala tahayul, bid’ah dan khurafat yang tumbuh subuh di kalangan
masyarakat. Beliau berkomentar mengenai maulid
Nabi.
Pertama, _”Kebiasaan
maulid dengan membaca kitab (berbahasa
arab dan dinyanyikan) bukanlah sunnah, Islam mencerdaskan bukan untuk membodohi,
sedangkan membaca kitab tanpa dipelajari maknanya adalah sebuah pemdohoan”_.
Kedua, _”keyakinan
bahwa membaca maulid diatas dan menyanyikan akan mendapatkan pahala adalah
kebid’ahan karena tidak ada keterangan dalilnya”_.
Ketiga, _”Meyakini
kehadiran ruh nabi dalam perayaan
maulid, dan berdiri saat membaca maulid dengan maksud menyambut kehadiran ruh Rasulullah adalah sebuah keyakinan yang bid’ah, semasa
hidup pun Nabi melarang kaum muslimin berdiri dan menghormatinya, janganlah kamu
berdiri menghormati aku sebagaimana orant-orang ajam, Sebagian dari mereka
berdiri menghormati sebgaian yang lain (Abu Daud).”.
Maka dari pemaparan
A Hasan diatas, kita mendapat sebuah isyarat tersembunyi, bahwa maulid Nabi
yang dilarang adalah maulid Nabi yang mengandung unsur-unsur diatas karena
menyimpang dari jaran Rasulullah sendiri, tetapi jiak tidak ada unsur-unsur
yang menjadi catatan A Hasan, maka maulid Nabi boleh-boleh saja sebagai sebuah tradisi
dengan tidak meyakini bahwa maulid Nabi itu sebuah kewajiban yang akan berakibat
berdosa bagi yang tidak melaksanaknnya.
4. *Maulid
Nabi Bukan Iftiraq Tapi Ikhtilaf*
Maulid Nabi bukanlah masalah aqidah yang hitam
putih, tetapi maulid Nabi adalah ranah _ijtihadi_ dalam beragama, karena tumbuh
sumburnya tradisi itu di Indonesia tidak dapat dipungkiri. dasarnya sudah jelas. Maulud adalah masalah mahabbah dan ekpresi gembira atas kelahiran nabi secara naluri dan
fitrah kepada sosok yang kita kagumi.
Dan mengekpersikan rasa cinta, menerut para ulama boleh bahkan harus. Dan titik
perbedaannya adalah mengekpesikan rasa cinta yang berbeda, ini jelas masalah furuiyah ijtihadiyah.
*M. Tatsir, “Hei!, Anak dan Keturunanku,
Bersatulah!*
M. Natsir adalah sosok politikus Islam yang
memvisualisasikan nilai-nilai Islam dalam berpolitik, sehingga beliau membuat sebuah
jargon Ketika partai umat Islam kala itu dibubarkan oleh pemerintah karena
hasutan PKI, “ Dulu kita berdakwah lewat politik dan sekarang kita berpolitik
lewat dakwah”.
M. Natsir adalah sosok filosuf yang aktivis,
pemikiran cerdas dan tajam, sehingga dengan ketajaman akal dan batinnya mampu
menangkap “sinyal-sinyal” masa depan, buktinya mosi intergral natsir lahir dari
sebuah ketajaman, dimana Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS) maka sangat memungkinkan Indonesia akan mudah dijajah Kembali dan di adu
domba oleh pihak penjajah ataupun bisa ada hasutan agar negara federal Indonesia
memerdekakan diri. Hal ini tidak mustahil terjadi.
Berbicara masalah islam dan masa depannya
dengan pemikiran “Out Of The Box” tentu disana ada sebuah tolerasi yang tinggi
antar umat islam yang memiliki pandangan ijitihad yang berbeda selama umat islam memiki konsep keimana dan keislaman
yang sama. Karena tanpa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan maka persatuan
Islam yang sesunggunya mustahil terwujud di bumi pertiwi.
M. Natsir seolah memberikan nasihat kepada
kita, umat Islam secara umum agar tetap Bersatu dan harus terus bersatu untuk
menyatukan sebuah kekuatan Islam agar nilai-nilai Islam tegak di Indonesia
secara intitusi formal. Karena mustahil Islam
akan kuat jika antar sesama muslim tidak mau bersatu demi sebuah tujuan yang
besar. Yaitu _”izatul Islam walmuslimin”_.
_“Islam beribadah akan dibiarkan,
Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan
dicabut seakar-akarnya”_ (Mohammad Natsir)
Maka jika M. Natsir berpaham "eksklusif", hitam-putih mengenai
perbedaan "ijtihad" keagamaan antar ormas, Maka M. Natsir pasti tidak akan mampu menyatukan
ormas-ormas yang ada dan tidak akan mampu menggalang kekuatan umat yang heterogeny menjadi sebuah arus dakwah lewat politik yang
bertempur diparlement memperjuangkan Islam.
Mampukah N. Natsir seperti itu, jika
berpikiran dan sudut pandangnya hanya lingkup satu golongan saja, tidak mau berfikiran jauh kedepan dan tidak mau tasamur (toleransi) dalam perbedaan yang bukan ushuli
dalam menggalang kekuatan dakwah dalam
politik?.
Wallahu a’lam bishowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar