Jumat, 23 Oktober 2020

*AL-QUR’AN DAN TANTANG ZAMAN*

 

Oleh : Misbahudin

 

 *Konsep Islam Yang Syamil Dan Mutakamil*

 

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk pedoman hidup manusia, sebagai tanda kasih sayangnya, tidak membiarkan manusia berjalan hidup begitu saja, hanya mengandalkan fitrah keimanan kepadanya saja. Tetapi Allah menurunkan wahyu  untuk menyambut dan membimbing fitrah itu agar berjalan dalam tracknya yang benar, sesuai dengan kehdendak Allah. Maka Islam sebagai Agama yang sempurna dijadikan sebagai jalan kehidupan “way of life” di muka bumi. Allah memberikan penegasan kepada umat manusia, bahwa barang siapa yang mencari agama selain Islam, Maka amal-amalannya tidak akan diterima.

 

_“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi..”_  (QS: Ali Imraan: 85).


_“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”_ [Ali ‘Imran: 19].

 

Agama Islam  berbeda dengan agama bumi (ardhi), yang mengandalkan penjelasahan akal dan perenungan bathin akan hakikat kehidupan, tetapi Islam mempunyai sebuah ajaran yang jelas bersumber dari wahyu ilahi yang menjadi sumber dan pondasi dalam Bergama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.

 

_”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”_ (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

Allah pun menjamin Akan mengjaga dan memelihara  Al-Qur’an dari perubahan dan kerusakan, karena jika sumber suatu agama sudah mengalami perubahan, apalgi dalam hal-hal pundamental, maka bisa dipastikan agama tersebut akan mengalami sebuah penyimpangan dan akan menjauh dari apa yang sebenarnya Allah perintahkan.

 

_”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya”_ [al-Hijr/15:9]

 


Oleh karena Islam adalah agama langit yang Allah wahyukan ajaran-ajaranya secara bertahadap kepada manusia pilihanya, yaitu nabi Muhammad, maka pasti memiliki sebuah konsep ajaran yang senantiasa uptodate dalam setiap jaman, karena tidak mungkin Islam sebagai agama ilahi mempunyai lingkup tempat dan waktu yang terbatas.

 

Maka Islam adalah sebuah ajaran yang _syamil mutakamil_ (sempurna dan menyeluruh).  Kesempurnaan Islam akan senantiasa meliputi semua zaman, tempat, dan  eksistensi umat manusia di bumi ini. Ia mengatur mulai urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga urusan negara. Islam juga mengatur masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pendidikan, bahkan masalah lingkungan. Sehingga menjadikan Islam menjadi sebuah agama yang paripurna, tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi keluhuran dan ketinggian ajarannya.

 

_”Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”_ (HR. Ad-Daruquthni)

 

Syumuliyatul Islam mencakup tiga hal. Pertama,  _Syumuliyatul zaman_ (kesempurnaan waktu), _syumuliyatul minhaj_ (kesempurnaan pedoman hidup), dan _syumuliyatul makan_(kesempurnaan tempat/ruang).

 

*Pertama*, syumuliyatul zaman.  Islam agama yang akan tetap relevan dengan berbagai situasi dan kondisi. Dari berbagai lapirasan kultur, budaya dan priode generas. Jika para nabi sebelum Islam hanya bersifat lokal dan waktu yang terbatas. Tetapi Islam akan berlaku sampai akhir zaman.

 

_”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku"_. (QS. Al-Anbiya:25).



_”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama-lamanya berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”_ (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

*Kedua*, syumuliyatul minhaj.  Islam sebagai pedoman hidup dalam dimensi aqidah sebagai asas kehidupan, alam semesta, manusia dan hal-hal yang bersifat metafisik, tidak terkecuali  hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan  setelah kematian datang, hal itu tidak akan bisa dicerna oleh akal yang terbatas, kecuali dengan bimbingan wahyu.

 

_“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.”_ (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16].

 

_“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian.”_ (al-Maidah: 3)

 

*Ketiga*, syumuliyatul makan. Islam menjadi sebuah “way Of life” untuk semua umat  meliputi ras suku, Bahasa dan bangsa manapun  tanpa batas-batas geografis tertentu.

 

_”Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk"_. (QS. Al-Araf : 158).

 

 *Menghadapi tantangan, Menaklukan Zaman*

 

Islam adalah agama dengan ajaran yang sempurna yang memberikan sebuah landasan-landasan pokok di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah yang bisa menjadi petuntuk dan inspirasi untuk menundukan tantangan dan kemajuan zaman.  Beberapa contoh yang menggmabrkan kepada kita bahwa Rasulullah memberikan ruang gerak yang bebas dalam Batasan-batasan tertentu untuk berijtihad, mencurrahkan segala kemampuan akal untuk mencari sebuah solusi (problem solving) dari setiap permasalahan yang ada.  Diantara petuntuk itu adalah

 

*Pertama*, kisah Mu’adz bin Jabal yang akan memutuskan suatu hukum berdasarka ijtihadnya, jika tidak didapati secara spesifik masalah tersebut di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.

 

Dari orang-orang Himsh murid, dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, _“Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?”_ Mu’adz menjawab, _“Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “_. _”Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?”_,  Mu’adz berkata, _“Aku akan menghukumi berdasarkan sunnah Rasulullah saw.”_ Rasul berkata, _“Jika kau tidak menemukan dalam sunnah Rasul?”_,  Mu’adz menjawab, _“Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku”_,  Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Al-Baihaqi No. 3250)

 

*Kedua*, Sabda Rasulullah yang mengapresiasi dengan dua pahala kebaikan bagi siapa yang berijtihad dengan benar, dan satu pahala bagi yang berijtihad dengan salah.

 

Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, _“Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala._” (HR. Muslim)

 

Dari keterangan-keterangan diatas, maka dapat kita mengambil hikmah bahwa Al-Qur’an dan as-sunnah sudah menancapkan landasan-landasan pokok yang bisa digali dengan ketajaman analisas akal dan pemahana dalil-dalil Islam secara mendalam untuk mencari berbagai pemahaman, produk hukum yang baru yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. 

 

*Reformulasi Tafsir Al-Qur’an Untuk Menaklukan Zaman*

 

Jika kita membuka lembaran sejarah, maka kita akan dapati dalam setiap generasi jaman senantiasa lahir kitab-kitab tafsir dengan keunikan masing-masing. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang menarik, apakah  dengan senantiasa hadir produk-produk tafsir “kontemporer” menandakan kekuarangan-kekurangan produk-produk tafsir zaman klasik?. Karena jika toh sama tafsir untuk menafsirkan Al-Qur’an kenapa harus ada yang tafsir baru?.

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini cenderung  mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal lagi perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka ragam, mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun bermacam-macam, ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan masih banyak macam lainnya. Semuanya mengalami pembiasan sesuai dengan pemikiran dan keilmuan masing-masing mufassir yang hidup pada zaman itu.

 

Marilah kita memami “phenoma” tersebut dari perfektif fari dari dalam, tidak menilai hal itu dari penampakan dari luar saja, Islam adalah agama yang _syamil_ dan _mutakamil_ maka disana kita akan mendapat sebuah konsep  perkara-perkara –“tsawabit”_ dalam Islam  dan  perkara-perkara yang _ “mutaghoyyirot”_.

 

Tsawabit (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) adalah masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam, dan Mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin dan bisa dan berpotensi berubah-ubah) adalah masalah-masalah furu’ (non prinsip) dari ajaran Islam.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut (kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun qath’iyyud-dilalah (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil dzanni (tidak mutlak dan pasti, serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah (kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah ijma’ yang telah menjadi konsensus yang disepakati di antara para imam berbagai madzhab Ahlussunnah Waljama’ah, dan Mutaghayyirat adalah masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah yang merupakan wilayah ijtihad para ulama, dan yang telah diperselisihkan atau berpotensi untuk diperselisihkan di antara para imam mujtahidin dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah.

 

Tafsir adalah sesuatu yang karya intelektual bersifat uptodate,  karena tafsir lahir stimulasi permasalahan, tantangan dan kemajuan zaman.  Otomatis penafsiran-penafsiran ulama tafsir akan mengalami perubahan untuk hal-hal yang sifatnya tidak bersifat prinsip aqidah, karena aqidah adalah sebuah perkara yang “take for granted”. Tetapi reformulasi tafsir ini  berkaitan dengan kontektualisasi Al-Qur’an terhdapap kemajuan zaman.

 

Karena Sebuah penafsiran tidak lahir dari ruang yang kosong begitu saja, tapi selalu tridialektik antara teks, konteks dan pengarang, Sekaligus masuk dalam dimensi sejarah, secara sinkronik  (bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas)  atau diakronik (berkaitan kronologis atau urutan).

 

Masalah-masalah  komtemporer tentu baik fiqhul ayat maupun fiqhul hadis harus sesuai zamannya, situasi dan kondisi. Bahkan barbagai-bagai hukum bisa berubah disebabkan perubahan zaman atau situasi dan kondisi  yang berbeda.

 

Kita ambil beberapa contoh kasus Al-Qur’an yang melahirkan pemahaman tafsir yang berbeda,  contoh dalam surat  Ar-rum ayat 41.  “*Telah nampak kerusakan* di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

 

Dalam  Tafsir Klasik kerusakan di laut diinterpretasikan dengan  pembajak laut. Berbeda dengan tafsir kontemporer,  susunan Dr. Z. Najar Tafsir Ayat al-Kauniyah,  ia memasukan  kerusakan dibumi itu adalah limbah industri, pencemaran nuklir, sampah pabrik, dan lain sebagainya. Penafsiran Al-Qur’an akan senantiasa uptodate karena Al-Qur’an menggunkan sebuah Bahasa yang umum yang bisa menyesuaikan dengan kemajuan-kemajuan zaman.

 

 

Contoh lainya, dalam sebuah hadits  dari Abu Ali Tsumamah bin Syufayi bahwa dia mendengar 'Uqbah bin 'Amir berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah menyampaikan ketika beliau di atas mimbar: '(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi) ' (QS. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah."

 

 

Maka kata “kekuatan”  adalah “rimayah”, kata rimayah secara Bahasa adalah melempar, maka  “rimayah”  dalam kontek zaman itu adalah memanah, tetapi jika dikontekstualisasikan untuk zaman modern ini, dimana kemajuan teknologi sudah canggih, tidak terkecuali dalam masalah persenjataan, maka yang lebih relevan untuk saat in, kata “rimayah”  ditafsikan menjadi senjata-senjata canggih seperti layak pistol, drone yang bisa menembaki musuh tanpa resiko korban pasukan atau persenjataan lainnya yang muktakhir.  Intinya yang menjadi ilatnya (Ratio Logic) “rimayah” disini adalah sesuatu senjata yang dapat menggetarkan musuh dan senjata itu efektif dan efesien dalam kontek tantangan dan kemajuan zaman.

 

*Gerak Tafsir yang lincah Asalkan tetap On the Track*

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini cenderung memuai, dalam artian selalu mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal lagi perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka ragam, mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun bermacam-macam, ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan masih banyak macam lainnya.  Semuanya mengalami pembiasan sesuai dengan pemikiran dan keilmuan masingmasing mufassir yang hidup pada zaman itu. Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai tafsir dengan corak yang berbeda-beda di antara para mufassir. Mulai tafsir alfiqhy, tafsir al-shufiy, tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir alfalsafiy, tafsir madzhabi, dan tafsir  ilmy.

 

Menyadari bahwa isyarat ilmiah dalam al-Qur‘an masih bersifat umum dan universal.  Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Allah yang ilmunya mencakup segala sesuatu. Jika terjadi kesesuaian, maka nash merupakan pedoman dan kebenaran teori tersebut. Dan jika nash-nya tidak pasti, sedangkan hakikat alam pasti, maka nash tersebut harus ditakwilkan . Mufassir tafsir ‘ilmy tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya sebagai ajaran aqidah qur’aniyah (teologi) dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan.

 

Dalam memahami kata bahasa Arab hanya  mengenal  dua pendekatan. Yaitu _mantuq_ dan  _mafhum_, mantuq diperoleh dari dzahir  ayat atau haditt,  sementara _mafhum_ diperoleh dari tawil ayat atau hadits. Dalam kaidah pokok,  sebelum kita masuk ke tawil atau mafhum, maka ada mantuq atau dzahirnya kita dahulukan.

 

Ketika dzahir tidak diperoleh makna yg sesuai atau tak difahami, maka baru bergeser kepada opsi selanjutnya, yaitu  mafhum,  dengan jalan mena'wil ayat atau hadits yg ingin diketahui maksudnya. dan cara menakwil ayat itu tidak sembarangan, harus pake kaidah-kaidah  yg berlaku, misal memakai kaidah, bahasa, logika, sejarah, syariah, fiqh atau  ushul fiqh, kaidah fiqih dan lain sebagainya.

 

Khusus dalam masalah metafisik (ghoib), spesifiknya sesuatu yang berkaitan dengan  Allah, maka ulama Ahlu Sunnah  cenderung untuk menposisikan  hal tersebut apa adanya (tafwidh), menghindari takwil, karena dengan meyikini lapadz atau keterangan  yang berbau metafisik dan teologis   lebih aman dan lebih maslahat, karena ijtihad manusia untuk mencoba menerobos dimenasi ghaib tersebut terbatas dan hanya bersifat spekulasi akal yang tidak ada jaminan kebenarnnya.  

 

==============================

🌐 Blog : http://bit.ly/literasi-islam

🇫 FB : http://bit.ly/misbahudin123

📹 Youtube : http://bit.ly/misbahchannel

📷 IG : http://bit.ly/misbahudinofficial

 

Rabu, 21 Oktober 2020

ILMU-ILMU AL-QUR’AN

 

Oleh : Misbahudin

 

*Proses Lahirnya Ilmu-Ilmu Al-Qur’an*

 

Ketika para sahabat hidup bersama Rasulullah, maka hal-hal apapun dapat dengan mudah ditanyakan langsung kepada beliau, Ketika ada hal-hal yang mengganjal dalam hati mereka tentang suatu hal, tidak terkecuali mengenai ayat Al-Qur’an yang masih samar-samar bagi mereka. Seperti halnya Ketika turun surat Al-An’am ayat 82. “ Sesungguhnya  orang-orang yang beriman  mereka tidak mencampur adukan keimanan mereka dengan kedzaliman” (QS. Al-An’am: 82).

 

Maka ayat tersebut membuat sesak dada para sahabat karena begitu berat terasa tuntutan dari Ayat tersebut, Maka Sahabatpun memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah, _“Wahai Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak pernah mendzalimi diri mereka sendiri?”_,  Rasul pun menjawab, _“ kedzaliman disini bukanlah kedzaliman yang kalian maksud”_, tidakkah kau pernah mendengar ucapan seorang hamba yang shaleh, “ “Sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang besar”. (QS. Luqman :13). Sesugguhnya yang dimaksud kedzaliman itu adalah kesyirikan.

 

Di lain waktu, terkadang Rasulullah langsung menjelaskan maksud dari sebuah ayat untuk memberikan pemahaman secara spesifik kepada para sahabatnya. Sebagaimana  hadits yang riwayatkan dari  imam muslim dan yang lainnya, bersumber dari ‘Uqbah Bin Amir.  Beliau menceritakan, bahwa pernah mendengar Rasulullah  berkata diatas mimbar, _“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi”_ (Al-Anfal:60), kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa yang dimaksud  kekuatan disini adalah memanah.

 

Tetapi seiring berjalannya waktu, akses umat Islam untuk memahami Islam dan Al-Qur’an menjadi terbatas, sepeninggalan para mufasir dari kalangan sahabat, sehingga di zaman tabi’ib dari kalangan ahli hadits ada sebuah ikhitar  untuk penyusunan tafsir Al-Qur’an, dimana mereka masukannya dalam dalam sala satu bab kitab haditsnya, sebagai upaya agar umat Islam di jamannya mendapat pencerahan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir.

 

Ketika qurun ketiga hijriah, lahirlah kitab tafsir secara tersendiri dan lengkap yang dipelopori oleh *Ibnu Jarir Ath-Thabari* (wafat tathun310 H).  Maka dalam penafsiran Al-Qur’an dikebutuhan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an untuk mengkontektualisasikan Al-Qur’an secara sempurna, utuh dan mendalam dalam kehidupan.

 

Ilmu-ilmu Al-Qur’an atau yang sering disebut ‘ulumul Qur’an sangat dibutuhkan oleh para mufasir, diantara ilmu-ilmu Al-Qur’an itu adalah ilmu tentang _asbabu nuzul_, ilmu tentang pengumpulan dan kodifikasi Al-Qur’an, ilmu tentang ayat-ayat _makiah_ dan _madaniah_, ilmu tentang _nasihk wal mansukh_, ilmu tentang ayat-ayat _muhkam_ dan ayat-ayat _mutasabih_, dan ilmu yang lainnya yang berkaitan dengan Al-Qur’an.

 

*Menggeliatnya Ilmu-Ilmu Al-Qur’an*

 

Kebutuhan para ulama  dan thalabul ‘ilmi berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Mendorong  Sebagian ‘ulama  untuk membuat sebuah karya tulis berkaitan dengan ilmu-ilmu tersebut. Maka sekitar qurun ke tiga, empat hijrah  sampai era modern lahirkan karya-kara _phenomenal_  yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an, diantaranya adalah : 

 

*Karya Ulama Pada Abad Ketiga Hijrah*

 

1.      ‘Ali Ibnu Al-Madani, gurunya imam Bukhari  (wafat 234 H) mengarang tentang _”asbabu nuzul Al-Qur’an”_.

2.      Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam (wafat 224 H) mengarakan kitan tentang _”ilmu nasikh wal Mansukh”_ dan _” ilmu qiraat”_.

3.      Ibnu Qutaibah (wafat :276 H) Mengarang  kitab _musykil Al-Qur’an_.

 

 *Karya Ulama Pada Abad Ke Empat Hijrah*

 

1.      Muhammad Ibnu Khalaf Ibnu Marzaban (wafat 309 hijriyah) Mengarang  kitab _”Al-Jawi fi ‘ulumil Qur’an”_.

2.      Abu Bakar Muhammad Ibnu Qasim Al-Anbari (wafat 328 H) Menyusun kitab _”’ulumul Qur’an”_

3.      Abu Bakar As-Sijistani (wafat 330 H) Menyusun kitab _”Gharibil Qur’an”_.

4.      Muhammad Ibnu ‘Ali Al-Adfawi (wafat 388 H) Menyusun kitab _”Al-Istighna fi ‘ulum Al-Qur’an”_.

 

*Karya Ulama Pada Abad Ke Lima Sampai Ke Tujuh Hijriah*

 

1.      Abu Bakar Al-Baqilani (wafat 403 H) menulis kitab _”I’jazul Qur’an”_

2.      ‘Ali Ibnu Ibrahim ibnu Sa’id  Al-Hufi  (wafat 430 H) menulis kitab _”I’rabul Qur’an”_

3.      Al-Mawardi (wafat 450 H) menulis kitab _”Amtsalul Qur’an”_

4.      Al-‘Izzu Ibnu Abdu Salam  (wafat 660 H) menulis kitab _”majazil Qur’an”_

5.      ‘Alamudien Sakhawi (wafat 643 H) menulis kitab _”’ilmu qiraat”_

6.      Ibnu Qayyim (wafat 751 H) menulis kitab _”Aqsamul Qur’an”_.

 

*Ibrahim Ibnu Sa’id Penulis Kitab ‘Ulum Qur’an Terlengkap*

 

Syekh Muhammad ‘Abdul ‘Adhim Azarqani dalam kitabnya _”Manahi Al-‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an”_  menceritakan bahwanya dia menemukan di perpustkan Darul Kutub Mesir  karya tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an secara lengkap, terdiri dari 30 jilid, dari 30 jilid didapati 15 jilid  yang tidak tersusun secara sistemastis dan berurutan.  Ditulis oleh  Ibrahim Ibnu Sa’id atau yang lebih popeler dengan sebutan “Al-Hufi”.

 

 Al-Hufi membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an secara sistematis sesuai dengan judul secara sendiri-sendiri dalam setiap jilid.  Tentang tema umum dalam sebuah ayat. Beliau menuliskan _“ Pendapat mengenai Firman Allah ‘Aza wajala”_, kemudian disusul dengan penjesan dalam perfektif Nahwiyyah dan Bahasa, selanjutnya diungkapkan pendapat tentang makna dan tafsir, kemudian menguatkan pejelasannya dengan Riwayat hadits dan mengkontektualisasikannya dengan Ijtihad penalaran beliau.

 

Kemudian _“Qaul fi waqaf  wa tamam” _ didalamnya dijelaskan tentang tempat-tempat berhenti (waqaf) dan dimana tidak boleh berhenti. Dan untuk ilmu qira’ah, beliau membuat judul tersendiri _”Al-Qaul Fil Qiraat”_, dan terkadang beliau membicarakan tentang hukum yang diambil  dari ayat  ketika sebuah ayat dibahas.

 

 

Oleh karena itu, Al-Hufi  dengan metodologi penulis  karangan ilmiah seperti diatas, dinobatkan menjadi  pionir ulama yang menyusun ‘ulumul qur’an secara utuh dan menyeluruh, tidak parsial mengenai salah satu ilmu saja.  Metodologi penyusunan ilmu-imu Al-Qur’an  Al-Hufi ini, mendorong  Ibnu Jauzi (wafat 597) untuk melakukan hal yang sama untuk membuat sebuah karya tulis dan memberikan judul _”Funun Al-Afnan Fi ‘Azaibil ‘Ulumul Qur’an”_.

 

Kemudian tampil dari generasi selanjutnya, Badrudien Az-Zarkasyi (wafat 794 H) Menyusun karya yang lengkap  dan sempurna yang diberi nama _“ Al-Burhan Fi ‘Ulumul Qur’an”_.  Kemudian,  Jalaludien As-Suyuti  (wafat 911 H) memberikan tambahan untuk kitab tersebut , kemudian  karyanya diberi nama _”Al-Itqan fi ‘ulumul Qur’an”_.

 

Sabtu, 17 Oktober 2020

*PARA PENGGAWA AL-QUR’AN DALAM PUTARAN ZAMAN*

 

Oleh : Misbahudin

 

 

*Janji Kebahagiaan Bagi Mereka Para Penggawa Al-Qur’an*

 

Bayangkan jika terpilih menjadi salah satu penggawa Al-Qur’an, atau kita diberikan pasangan dan keturunan yang menjadi penggawa Al-Qur’an, pasti ada sebuah rasa kebahagiaan dan kepuasaan hati tiada tara, sebuah kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan hitungan materi.

 

Sebuah “sensasi” kebahagiaan yang menerobos dimensi dunia yang fana ini menuju sebuah janji yang hakiki di akhirat kelak.  bagi mereka yang senantia mengistiqomahkan diri bercengkraman dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an pun  tidak akan membiarkannya begitu saja di akhirat kelak, Al-Qur’an akan menjadi penolongnya disaat istri, anak-anak dan saudara tidak bisa memberikan pertolongan sedikitpun.

 

“Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya.” [HR. Muslim 804].

 

Para Penggawa Al-Qur’an bukan saja mereka para hafidz Qur’an, tetapi juga mereka yang senanttiasa membaca, mempelajari dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena tujuan akhir dari Al-Qur’an diturunkan, bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk digali Mutiara yang terpendam didalamnya, sehingga dapat menyinari relung-relung jiwanya dan memberikan petunjuk untuk  hidup dan kehidupan dirinya dan orang lain.  Allah pun memberikan janji kebahagiaan bagi mereka  dan bagi orang tua yang memiki anak yang shaleh yang tidak bisa hatinya lepas dari Al-Qur’an.

 

_“Barangsiapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya dan mengamalkannya kelak di hari kiamat dikenakan mahkota dari cahaya yang sinar kemilaunya seperti cahaya matahari. Dan bagi kedua orang tuanya masing-masing dikenakan untuknya dua pakaian kebesaran yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Maka Kedua orang tuanya bertanya: ’Mengapa kami diberi pakian kemuliaan seperti ini?’ Dijawab: ’Karena anak kalian berdua belajar dan menghafal Al Qur’an.”. ’ (Mustadrak Al Hakim 1/568. Dihasankan Al Albani dlm As Shahihah no.2914).

 

*Para Penggawa Mufasir  Al-Qur’an Di Kalangan Para Sahabat*

 

Para penggawa Al-Qur’an akan senantiasa ada akan senantiasa  hadir dalam setiap episode putaran zaman,  dari semenjak Al-Qur’an diturunkan,  para penggawa itu  senantiasa hadir, berlomba-lomba  untuk berusaha menjadi manusia pilihan Allah yang berusaha menyinari  hatinya dengan cahaya firman-Nya dan berusaha agar cahaya itu dapat  menyinari dan mewarnai kehidupan.

 

Adapun Para penggawa mufasir  Al-Qur’an yang masyhur  dari kalangan para sahabat  adalah *khulafah Ar-rasyidin : Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan dan Ali bin abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin kaab, Zaid bin tsabit, Abu Musa Al- Asyari, Abdullah bnu Zubair*.

 

Abdullah Ibnu Abbas adalah sosok sahabat Rasulullah yang paling banyak riwayat yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an, dilanjutkan Abdullah ibnu mas’ud dan Ubay bin ka’ab. Apa yang diriwayatkan dari mereka tidaklah mencakup tafsir Al-Qur’an secara menyeluruh dan utuh, melainkan hanya Sebagian makna-makna Al-Qur’an yang berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur’an yang masih samar,  dan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global).

 

*Para Penggawa Mufasir  Al-Qur’an dari Kalangan Tabi’in*

 

Generasi setelah sahabat, yaitu generasi Tab’in mereka tidak mau kalah dalam berlomba-lomba menjadi hamba pilihan Allah untuk menjadi para penggawa Al-Qur’an agar Al-Qur’an bisa dipahami dan ditafsirkan dalam kontektualisasi jaman yang dihadapi  dengan bimbingan tafsiran dari para pendahulnya.  Tabi’in  menimba dan mempelajari tafsir Al-Qur’an itu   dari generasi sahabat dan merekapun melakukan sebuah  ijtihad untuk memahami Sebagian ayat Al-Qur’an sesuai dengan  kontek jaman mereka.  

 

Para penggawa Al-Qur’an dari kalangan tabi’in mereka adalah murid-murid emas dari para mufasir dari kalangan sahabat. Kita dalam membuat gambaran genologi ilmu tafsir sebagai berikut.  

 

*Pertama*, Murid-murid Ibnu Abbas di Mekah seperti : *Sa’id Ibnu Zubair, Mujahid, ‘Ikrimah Mantan Budak Ibnu Abbas, Thawus Ibnu Kiisan Al Yamani, ‘Atha Ibnu Abi Robah*.

 

*Kedua*, Murid-murid Ubay bin ka’ab di Madinah  adalah *Zaid Bin Aslam, Abu ‘Aliyah, Muhammad ibnu Ka’ab Al-Quradhi*.

 

*Ketiga*, Murid-murid dari Abdullah Ibnu Mas’ud di irak adalah *‘alqomah ibnu Qais, Maruq, Aswad Ibnu Yajid, ‘Amir Asy-sya’bi,  Hasan Al-Basri, dan Qatadah ibnu di’amah as-sadusi*.

 

Ibnu Taimiyyah mengomentari genologi para penggawa Al-Qur’an dengan sebuah diksi dalam kitabnya _Muqodimmah Ibnu Taimiyyah fi ushuli tafsir_, *“Dalam bidang keilmuan yang berkaitan dengan ilmu tafsir, mereka yang paling tahu tentang ilmu tersebut adalah ahli makah, karena mereka adalah murid-murid Ibnu Abbas, seperti Mujahid, ‘Atha Ibnu Abi Rabah, ‘iqrimah maula ibnu abbas, dan murid  ibnu abbas yang lainnya seperti thawus, Abi Sya’tsa, sa’id ibnu Zubair.  Demikian juga  penduduk kufah  dari murid ibnu mas’ud, mereka mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari pada yang lainnya, dan ulama tafsir dari penduduk Madinah adalah Zaid bin aslam, dan malik dan anaknya Abdurrahman  yang mereka belajar darinya dan Abdullah ibnu wahhab. Muqoadimmah ibnu Taimiyyah  fi ushul at tafsir”*.

 

Adapun luang lingkup  dari apa yang diriwayatkan dari mereka mencakup ilmu fafsir, ilmu gharibul Qur’an, ilmu asbabu nuzul, ilmu maki wal madani, ilmu nasikh wal Mansukh,  semua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an itu tetap bersandar kepada Riwayat secara talaqi (face to face).

 

*Perkembangan dan Munculnya Literasi Keilmuan Al-Qur’an*

 

Embrio kemunculan dan perkembangan literasi yang berkaitan dengan keilmuan Al-Qur’an dimulai  pada abad ke dua  hijriyah. Dalam perkembangn keilamuan Al-Qur’an ini dapat kita  bagi menjadi dua periode, yaitu

 

Periode pertama, diawali dengan  pembukuan hadits dengan bab yang bermacam-macam dan itu diantaranya ada bab berkaitan  dengan  tafsir Al-Qur’an  yang bersumber dari Rasulullah sendiri , penjelasan Para sahabat, dan Tabiin.

 

Diantara mereka yang terkenal adalah Yazid Ibnu Harun As-sulami (wafat 117 H), Syu’bah Ibnu Hajaj ( wafat 160 H),  Waki’ Ibnu Jarrah (wafat 197 H),  Sufyan Ibnu Uyainah ( wafat 198 H), ‘Abdu Razaq Ibnu Hammam  (wafat 211 H), mereka semua adalah para ahli hadits,   mereka mentafsirkan Al-Qur’an dengan  memasukannya  menjadi salah satu bab dari kitab hadits mereka. Dan  tafsir mereka tidak ada yang sampai kepada kita kecuali tulisan tafsir  Abdu Rozaq Ibnu Hamam.

 

Periode kedua, pada periode ini  Sebagian ulama memainkan peran  penyambung estafeta keilmuan atau genologi keilmuan al-Qur’an dengan sebuah terobosan Menyusun kitab  tafsir secara sempurna, sistematis, dan pembahsan yang tertib ayat demi ayat.  Hal ini  diprakarsai oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat 310 H).

 

Demikianlah perkembangan awal  tafsir Al-Qur’an  bermula dengan metode  talaqi, kemudian masuk ke periode Tadwin atau pembukuan kitab tafsir yang dimulai oleh para ahli hadits yang memasukan tafsir dalam salah satu bab kita hadits, kemudian perkembangan selanjutnya tafsir Al-Qur’an dibukuan secara tersendiri dan mandiri, maka  lahirlah tafsir bin ma’tsur (tafsir  berdasarkan Riwayat) dan kemudian lahirlah tafsir biro’yi.

==============================

🌐 Blog : http://bit.ly/literasi-islam

🇫 FB : http://bit.ly/misbahudin123

📹 Youtube : http://bit.ly/misbahchannel

📷 IG : http://bit.ly/misbahudinofficial