Sabtu, 17 Oktober 2020

. *GETARAN HATI SANG PENCINTA ILAHI*

 

Oleh : Misbahudin

 

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambah (kuat) keimanannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal”. (Qs. Al-Anfal).

 

*Merefleksi Hati  dari Sebuah Definisi*

 

Getaran hati  yang dirasakan oleh para pencinta Ilahi, Allah ungkapan dengan menggunakan kata _“ Wajila-Yujalu-Wajalan”_ yang berarti,  bergetar, takut. Getaran hati tersebut lahir dari sebuah rasa pengangungan dan pemujaan dan segala rasa yang menggambarkan kondisi hati yang benar-benar “terhipnotis” dengan sesuatu yang dikagumi.

 

Itulah salah satu tanda dari ciri para pencinta sang ilahi yang sejati, hati yang benar-benar ada dalam ketaqwaan sebenar-benarnya taqwa  sebagaimana perintah-Nya.

 

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102)

 

Gambaran gemetarnya hati para pencinta sejati adalah Ketika disebut nama Allah “gemetar” hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an maka bertambahkan keimanan mereka dari keimanan yang sudah ada, karena kejernihan hati mereka, sehingga fitrah keimanan yang ada dalam relung-relung jiwa mereka menjadi bak koneksi internet yang sedang dalam kondisi kuat untuk mengirim dan menerima apapun.

 

Begitu juga hati para Pecinta Ilahi, hati mereka senantiasa terkoneksi kepada fitrah ketauihidan mereka, maka tidak heran Ketika disebut nama Allah dan dibacakan ayat-ayat cinta dari-Nya. Maka  hati orang yang beriman pun semakin kuat keimananya, sehingga menghasilkan sebuah kepasrahan diri, ketawakalan diri dan  sebuah harapan yang hanya digantungkan kepada yang dicintainya. Hati mereka  tidak merasa gentar dan takut keculai kepada-Nya.


Tentunya, Gemetar hati orang yang beriman ini, merupakan sebuah akumulasi dari sebuah  gejolak rasa, sebuah rasa yang tidak cukup dijelaskan dengan untaikan kata-kata, karena rasa adalah sebuah “sensasi” yang harus dirasakan oleh idra yang terdalam dalam diri manusia yaitu hati, hati harus bergerak kepada kondisi dimana hati ini bisa merasakan “getaran”  Ketika mendengar nama Allah, maka barulah paham dengan pemahan yang kaafah apa yang dimaksud dengan “getaran”  hati tersebut.   sama halnya dengan rasa manis, sekuat dan secanggih apapun kita menyusn untaian kata-kata dalam sebuah diksi untuk menjelaskan rasa manis, maka akan Nampak sia-sia begitu saja, kecuali, jika kita langsung menjulurkan lidah kita ke gelas berisi teh manis sambil ditemani si manis, barulah kita paham nikmatnya teh manis ditemani dengan si manis.

 

*Mencari Jalur “Getaran” Hati Para Pecinta Sejati*

 

Dalam hadits kedua dalam hadits arbain Imam An-Nawai, yang dikenal dengan hadits Jibril, disana Rasulullah secara tidak langsung  menjelaskan tentang Tingkatan-Tingkatan  hati manusia dalam kualitas  ketaatan mereka kepada Allah.

 

*Tingkatan pertama,  Islam,* Tingkatan kualitas manusia seperti ini, baru hanya sebatas cangkangnya saja, baru sebatas  kemasan saja,  tingkatan  hamba Allah yang paling bawah, karena baru sebatas melaksanakan hal-hal yang sifatnya jasadiah atau amalan-amalan dhahir, sebagai mana Sabda Rasulullah Ketika ditanya oleh Jibril “Akhirni Ani Islam”. Maka Rasulullah menjawab dengan lima hal, Syahadat, Shalat, puasa, zakat dan menunaikan haji.

 

Definisi diatas baru sebatas amaliah lahiriah, yang tatarannya baru “cangkang”nya saja  (eksoteris) belum masuk ke ranah esoteris manusia yang paling dalam yaitu yang berkaitang dengan keyakinan hati atau _af’alul qulub_.  Tingkatan yang lebih dalam yaitu keimanan.  Dimana Rasulullah memberikan sebuah diksi keimanan lebih megakar kedalam sanubaru manusia yang paling dalam. Sebuah relung-relung jiwa yang tak kasat mata.

 

*Tingkatan kedua, Iman*. Dalam hadits Jibril, digambarkan, setelah Rasulullah menjawab hakikat Islam, Jibril bertanya lagi tentang konsep Iman, “Akhibirni ‘anil Iman”. Rasulullah menjawab, “ Iman Adalah engaku beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, Rasul-Rasulnya, hari akhir dan iman kepada Takdir yang baik dan buruk”.

 

 Definis yang dilontarkan kepada Rasulullah ini berkaitan erat dengan keyakinan hati sebuah _af’aul qulub_ yang sifatnya lebih dalam dan lebih privasi tidak bisa manusia menilai kualitas keimanan seseorang dalam ranah ini, manusia hanya bisa menilai dari ranah yang bisa diekplorasi oleh indra mata saja.

 

Hal ini diperkuat dengan Firman Allah, yang menceritakan datangnya arab badui kepada Rasulullah, dan mendeklrasikan dirinya sudah beriman, tetapi Rasulullah meluruskan penyataanya, “ katakanlah aku sudah berislam”.

 

_Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"_. (QS. Al-Hujurat : 14).

 

Dari hadits Jibril dan firman Allah diatas,  dapat disimpulkan bahwa  keimanan adalah sebuah taraf tertinggi  dari pada keislaman. 

 

*Tingkatan Ketiga,  Ihsan*

 

Ihsan dalam hadits Jibril merupakan sebuah “tingkatan” tertinggi dalam kualitas dirinya di mata Allah,  Rasulullah menggambarkan konsep Ihsan dalam sebuah diksi, _“Sembahlah Allah seolah-olah kamu melihatnya, jika kamu tidak mampu melihatnya, maka yakinlah bahwa dia melihatmu”_

 

Sebuah penjelasan yang begitu singkat  tetapi begitu padat, bagaimana point pertama ditekankan tentang “beribadahlah seolah-olah engkau melihatnya”,  kata-kata berikutnya memberikan sebuah alternatif pilihan, seperti memberikan peluang kepada hamba-hambanya yang beriman ingin masuk pada golongan para pencinta sejati, tetapi mereka tidak sanggup masuk ke “tingkatan” itu dengan ungkapan kata-kata,  _*“jika kamu tidak dapat melihatnya, Maka yakinilah bahwa diri melihatmu”*_.  

 

Tingkatan ihsan adalah kondisi dimana seorang hamba Allah begitu dekat dan merapat “disisinya”. Apa yang dicintai Allah akan secara otomatis menjadi kecintannya,  dan begitu juga sebaliknya, apa yang dibenci oleh Allah akan menjadi sesuatu yang dia benci. ,  sebagaimana yang digambarkan dalam sabda Rasululah

 

_“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku, pasti aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.”_ (HR. Bukhari)



Maka mereka yang sudah masuk “tingkatan” Ihsan mereka pasti adalah orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang beriman, mereka pasti adalah orang yang Islam, dan sebaliknya setiap yang Islam belum tentu mereka beriman, dan orang yang beriman belum tentu mereka mencapai “timgkatan” Ihsan.

 

“Tingkatan” Ihsan ini adalah tingkatan yang tertinggi yang bisa dicapai manusia dalam proses mujahadah “Rod To God”. Maka tidaklah heran bagaimana kualitas keimanan itu menghasilkan pribadi-pribadi yang luar biasa, bagaimana para sahabat Rasulullah digambarkan sebagai orag-orang yang Ketika malam tiba mereka seperti halnya rahib-rahib yang beribadah dengan penuh kekhusuan dan keikhlasan,  jiwa mereka “berektase” dalam dalam lautan dzkir sehingga menjadikan jiwa-jiwa mereka bergetar dan tercucurlah air mata tanpa mereka sadari sebuah jiwa yang benar-benar ingin menjadi kekasih Allah, senantiasa beristigfar karena kelalaian atau ibadah yang mereka anggap belum maksimal.

 

Tetapi, Ketika siang datang menyapa, mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang menggetarkan musuh-musuh Allah, hati yang lembut di malam hati itu berubah menjadi hati-hati yang kuat dan kokoh, siap melawan apapun yang menjadi musuh-musuh Allah, sebuah getaran hati dari sebuah cinta yang sejati yang siap mengorbankan apapun yang mereka miliki termasuk jiwa mereka.

 

Wallahu ‘alam  

 


==============================

🌐 Blog : http://bit.ly/literasi-islam

🇫 FB : http://bit.ly/misbahudin123

📹 Youtube : http://bit.ly/misbahchannel

📷 IG : http://bit.ly/misbahudinofficial


Tidak ada komentar:

Posting Komentar