Oleh : Misbahudin
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ (2)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan
ayat-ayatNya kepada mereka, bertambah (kuat) keimanannya dan hanya kepada Tuhan
mereka bertawakkal”. (Qs. Al-Anfal).
*Merefleksi Hati dari Sebuah Definisi*
Getaran hati
yang dirasakan oleh para pencinta Ilahi, Allah ungkapan dengan
menggunakan kata _“ Wajila-Yujalu-Wajalan”_
yang berarti, bergetar, takut. Getaran hati
tersebut lahir dari sebuah rasa pengangungan dan pemujaan dan segala rasa yang
menggambarkan kondisi hati yang benar-benar “terhipnotis” dengan sesuatu yang
dikagumi.
Itulah salah satu tanda dari ciri para
pencinta sang ilahi yang sejati, hati yang benar-benar ada dalam ketaqwaan
sebenar-benarnya taqwa sebagaimana
perintah-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102)
Gambaran gemetarnya hati para pencinta sejati
adalah Ketika disebut nama Allah “gemetar” hati mereka, dan apabila dibacakan
ayat-ayat Al-Qur’an maka bertambahkan keimanan mereka dari keimanan yang sudah
ada, karena kejernihan hati mereka, sehingga fitrah keimanan yang ada dalam
relung-relung jiwa mereka menjadi bak koneksi internet yang sedang dalam
kondisi kuat untuk mengirim dan menerima apapun.
Begitu juga hati para Pecinta Ilahi, hati
mereka senantiasa terkoneksi kepada fitrah ketauihidan mereka, maka tidak heran
Ketika disebut nama Allah dan dibacakan ayat-ayat cinta dari-Nya. Maka hati orang yang beriman pun semakin kuat
keimananya, sehingga menghasilkan sebuah kepasrahan diri, ketawakalan diri dan sebuah harapan yang hanya digantungkan kepada
yang dicintainya. Hati mereka tidak
merasa gentar dan takut keculai kepada-Nya.
Tentunya, Gemetar hati orang yang beriman ini,
merupakan sebuah akumulasi dari sebuah gejolak rasa, sebuah rasa yang tidak cukup
dijelaskan dengan untaikan kata-kata, karena rasa adalah sebuah “sensasi” yang
harus dirasakan oleh idra yang terdalam dalam diri manusia yaitu hati, hati
harus bergerak kepada kondisi dimana hati ini bisa merasakan “getaran” Ketika mendengar nama Allah, maka barulah
paham dengan pemahan yang kaafah apa yang dimaksud dengan “getaran” hati tersebut. sama halnya dengan rasa manis, sekuat dan
secanggih apapun kita menyusn untaian kata-kata dalam sebuah diksi untuk
menjelaskan rasa manis, maka akan Nampak sia-sia begitu saja, kecuali, jika kita
langsung menjulurkan lidah kita ke gelas berisi teh manis sambil ditemani si
manis, barulah kita paham nikmatnya teh manis ditemani dengan si manis.
*Mencari Jalur “Getaran” Hati Para Pecinta
Sejati*
Dalam hadits kedua dalam hadits arbain Imam
An-Nawai, yang dikenal dengan hadits Jibril, disana Rasulullah secara tidak
langsung menjelaskan tentang Tingkatan-Tingkatan
hati manusia dalam kualitas ketaatan mereka kepada Allah.
*Tingkatan pertama, Islam,* Tingkatan kualitas manusia seperti ini, baru
hanya sebatas cangkangnya saja, baru sebatas
kemasan saja, tingkatan hamba Allah yang paling bawah, karena baru
sebatas melaksanakan hal-hal yang sifatnya jasadiah atau amalan-amalan dhahir,
sebagai mana Sabda Rasulullah Ketika ditanya oleh Jibril “Akhirni Ani Islam”.
Maka Rasulullah menjawab dengan lima hal, Syahadat, Shalat, puasa, zakat dan
menunaikan haji.
Definisi diatas baru sebatas amaliah
lahiriah, yang tatarannya baru “cangkang”nya saja (eksoteris) belum masuk ke ranah esoteris
manusia yang paling dalam yaitu yang berkaitang dengan keyakinan hati atau _af’alul
qulub_. Tingkatan yang lebih dalam
yaitu keimanan. Dimana Rasulullah
memberikan sebuah diksi keimanan lebih megakar kedalam sanubaru manusia yang
paling dalam. Sebuah relung-relung jiwa yang tak kasat mata.
*Tingkatan kedua, Iman*. Dalam hadits
Jibril, digambarkan, setelah Rasulullah menjawab hakikat Islam, Jibril bertanya
lagi tentang konsep Iman, “Akhibirni ‘anil Iman”. Rasulullah menjawab, “ Iman
Adalah engaku beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya,
Rasul-Rasulnya, hari akhir dan iman kepada Takdir yang baik dan buruk”.
Definis yang dilontarkan kepada Rasulullah ini
berkaitan erat dengan keyakinan hati sebuah _af’aul qulub_ yang sifatnya
lebih dalam dan lebih privasi tidak bisa manusia menilai kualitas keimanan
seseorang dalam ranah ini, manusia hanya bisa menilai dari ranah yang bisa
diekplorasi oleh indra mata saja.
Hal ini diperkuat dengan Firman Allah, yang
menceritakan datangnya arab badui kepada Rasulullah, dan mendeklrasikan dirinya
sudah beriman, tetapi Rasulullah meluruskan penyataanya, “ katakanlah aku sudah
berislam”.
_Orang-orang Arab Badui itu berkata:
"Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi
katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang"_. (QS. Al-Hujurat : 14).
Dari hadits Jibril dan firman Allah
diatas, dapat disimpulkan bahwa keimanan adalah sebuah taraf tertinggi dari pada keislaman.
*Tingkatan Ketiga, Ihsan*
Ihsan dalam hadits Jibril merupakan sebuah “tingkatan”
tertinggi dalam kualitas dirinya di mata Allah, Rasulullah menggambarkan konsep Ihsan dalam
sebuah diksi, _“Sembahlah
Allah seolah-olah kamu melihatnya, jika kamu tidak mampu melihatnya, maka
yakinlah bahwa dia melihatmu”_
Sebuah penjelasan yang begitu singkat tetapi begitu padat, bagaimana point pertama
ditekankan tentang “beribadahlah seolah-olah engkau melihatnya”, kata-kata berikutnya memberikan sebuah
alternatif pilihan, seperti memberikan peluang kepada hamba-hambanya yang
beriman ingin masuk pada golongan para pencinta sejati, tetapi mereka tidak
sanggup masuk ke “tingkatan” itu dengan ungkapan kata-kata, _*“jika kamu tidak dapat melihatnya,
Maka yakinilah bahwa diri melihatmu”*_.
Tingkatan ihsan
adalah kondisi dimana seorang hamba Allah begitu dekat dan merapat “disisinya”.
Apa yang dicintai Allah akan secara otomatis menjadi
kecintannya, dan begitu juga sebaliknya, apa yang dibenci oleh Allah akan menjadi sesuatu yang dia benci. , sebagaimana yang digambarkan dalam sabda
Rasululah
_“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
‘Barangsiapa yang menyakiti waliku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai
selain apa yang Aku wajibkan baginya. Hamba-Ku senantiasa mendekat diri
kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila aku telah
mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk
berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku,
pasti aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti aku lindungi.”_
(HR. Bukhari)
Maka mereka
yang sudah masuk “tingkatan” Ihsan mereka pasti adalah orang-orang yang
beriman, dan orang-orang yang beriman, mereka pasti adalah orang yang Islam,
dan sebaliknya setiap yang Islam belum tentu mereka beriman, dan orang yang
beriman belum tentu mereka mencapai “timgkatan” Ihsan.
“Tingkatan” Ihsan ini adalah tingkatan
yang tertinggi yang bisa dicapai manusia dalam proses mujahadah
“Rod To God”. Maka tidaklah heran bagaimana kualitas keimanan itu menghasilkan
pribadi-pribadi yang luar biasa, bagaimana para sahabat Rasulullah digambarkan
sebagai orag-orang yang Ketika malam tiba mereka seperti halnya rahib-rahib
yang beribadah dengan penuh kekhusuan dan keikhlasan, jiwa mereka “berektase” dalam dalam lautan
dzkir sehingga menjadikan jiwa-jiwa mereka bergetar dan tercucurlah air mata
tanpa mereka sadari sebuah jiwa yang benar-benar ingin menjadi kekasih Allah,
senantiasa beristigfar karena kelalaian atau ibadah yang mereka anggap belum maksimal.
Tetapi, Ketika siang datang menyapa, mereka
berubah menjadi pribadi-pribadi yang menggetarkan musuh-musuh Allah, hati yang
lembut di malam hati itu berubah menjadi hati-hati yang kuat dan kokoh, siap
melawan apapun yang menjadi musuh-musuh Allah, sebuah getaran hati dari sebuah
cinta yang sejati yang siap mengorbankan apapun yang mereka miliki termasuk
jiwa mereka.
Wallahu ‘alam
==============================
🌐 Blog : http://bit.ly/literasi-islam
🇫 FB : http://bit.ly/misbahudin123
📹 Youtube : http://bit.ly/misbahchannel
📷 IG : http://bit.ly/misbahudinofficial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar