۞
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS.An-Nisa : 58)
Maka sesungguhnya hukum diantara manusia adalah hudud dan huquq (hak dan kewajiban) ,
dan keduanya terbagi menjadi dua macam :
Pertama, hudud dan huquq yang tidak berkaiatn dengan individu
tertentu, tetapi terkait dengan manfaat
kaum muslimin secara umum, atau
sekelompok kaum muslimin, artinya semua
orang membutuhnya, inilah yang disebut hudud dan huquq.
Misalnya seperti had terhadap para perampok, pencuri,
penzina, dan lain sebagainya, dan seperti hukum terhadap masalah-masalah
yang berkaiatan dengan kekuasaan, seperti harta waqaf, wasiat yang tidak
berkaiatan dengan personal tertentu.
Maka hal ini merupakan sebuah
tugas pemiminpin yang paling
penting,
Oleh karena itu, urgensi mengangkat seorang
pemimpin tergambar dalam hadits dari Ali Bin abi thalib, radhiyaLLahu ‘anhu, “ manusia sangat perlu
untuk memiliki pemimpin yang baik atau bahkan pemimpin yang fajir (pendosa), maka ada yang bertanya, wahai amirul
mu’minin, pemimpin yang baik tentu kami
mengetahui kemaslahatannya, tetapi bagaimana dengan pemimpin yang
pendosa?, maka Ali bin abi thalib
berkata, pemimpin yang fadjir berguna
untuk terlaksananya hukum hudud dan
huquq, mengamankan situasi masyarakat,
melawan musuh-musuh Islam, dan membagikan fai. (HR. Baihaqi).
Pemerintah wajib menyelidiki dan dan menegakan hukum-hukum diatas yang
merupakan urgensi dari sebuah kewajiban pemimpin walaupun tanpa tuntutan dari siapapun, dan demikian juga terlaksanya persaksian
tentangnya walaupun tanpa tuntutan siapapun.
Hukum para pencuri
Para ulama berbeda pendapat mengenai memotong tangan pencuri, apakah hal tersebut
membutuhkan dihadirkannya harta yang dicuri atau tidak?, mengenai hal ini ada dua pendapat dalam madhab Imam ahmad dan
yang lainnya, tetapi mereka
sepakat bahwa potong tangan dilakukan
tanpa harus menghadirkan barang curiannya,
menghadirkan barang curian hanya sebatas untuk meyakinkan tanpa ragu
bahwa dialah pencurinya.
Maka hukum potong tangan ini harus ditegakan
tanpa memandang bulu, hukum harus
ditegakan walaupun pelakunya adalah orang yang punya kedudukan ataupun rakya
jelata, orang yang kuat ataupun orang
yang lemah.
Hukum hudud ini tidak boleh dianulir atau
dibatalkan karena faktor adanya pembelaan, adanya hadiah sogokan ataupun yang lainnya,
dan barang siapa yang membatal hukum hudud ini, padahal dia mampu
melaksanakannya maka baginya laknat Allah, malaikat, dan manusia semuanya.
Allah tidak akan menerima tebusan untuk hal
ini, pelakunya termasuk orang yang
menjual belikan ayat Allah dengan harga yang murah.
Dari Abdillah Ibnu Umar RadhiyaLLahu ‘ahnu,
dia berkata, telah bersabda RasuluLLah
shalaLLahu ‘alahi wasalam, “
Barang siapa yang memberi pertolongan untuk menghalangi hukum hudud Allah, maka sungguh
Ia telah melawan perintah Allah, dan
barang siapa yang bertikai dalam
kebatilan dan dia mengetahui bahwa
kemurkaan Allah tidak akan sirna sampai mereka berhenti, dan barang siapa yang
menuduh kepada seorang muslim, maka dia harus ditahan di “radghatul khobal”
sehingga dia mencabut perkataanya, lalu
ada yang bertanya, Ya RasuluLLah apakah radghatul khobal itu?, lalau RasuluLLah menjawab, itu adalah
perasaan nanah penghuni api neraka. (HR. Abu Daud dalam sunannya).
RasuluLLah menjelaskan tentang hakim, para
saksi, dan orang yang bersengketa, karena mereka adalah bagaian-bagian
pokok dalam dunia hukum.
Dari Asiyah RadhiyaLLahu ‘anha berkata,
“ sesungguhnya penduduk kaum qurasiy
pernah resah dengan pencurian yang
dilakukan oleh wanita kaum makhzum,
mereka berkata, “ siapakah yang
berani melaporkan hal ini kepada RasuluLLah?,
maka sebagian mereka menjawab, “ usamah lah yang pasti berani
mengutarakan hal kepada RasuluLLah”, dia
berkata, “ Hai usamah apakah kamu hendak memberikan pertolongan
pada orang yangdikenai hudud Allah,
sesungguhnya kebinasaan bani Israil adalah karena mereka tebang plih dalam menegakan hukum hudud, jika
yang memcuri adalah orang yang punya pengaruh dan kekuasaan mereka meninggalkan
hukum hudud, tetapi apabila yang menjadi
pelaku adalah rakyat biasa yang lemah maka hukum hudud itu dilaksanakan,
dan demi jiwaku berada ditangannya, jikalah Fatimah Binti Muhammad mencuri, maka sungguh aku yang akan
memotongnya.
Dalam kisah ini ada sebuah pelajaran yang
berharga, bagaimana sebuah hukum dibisa dipermainkan, hukum menjadi bak pisah
yang tumbul diatas dan tajam ke bawah, hukum tidak memban untuk orang-orang
yang punya kekuasaan dan tajam kepada masyakarat jelata yang tidak punya
apa-apa.
Bani makhzum
merupakan salah satu suku yang terkemuka di suku bani Quraisy selain
bani abdul manaf, maka ketika wanita
dari bani makhzum itu mencuri dan
ternyata pencuriannya itu bukan hanya terjadi sekali saja, tapi kata ulama
terjadi berkali-kali sebelum dia terciduk,
dan Usamah selaku sahabat kesayangan RasuLuLLah dalam peritiwa ini hendak memberian
pertolongan kepada wanita tersebut, Maka
RasuluLLahpun marah dan mengecam Usamah
agar jangan sampai dia tergelincir kepada hal-hal yang Allah haramkan, yaitu memberikan pertolongan kepada orang yang
kena sanksi had.
Nabipun memberikan sebuah afirmasi untuk
menguatkan prinsip hidupnya, agar melakukan segala hal karena perintah dan
larangan Allah, bukan karena pertimbangan perasaan, “ Jikalau anaknya sendiri,
Fatimah mencuri maka sungguh, RasuluLLah sendiri yang akan menghukumnya dengan
memotong tanganya.
Dalam sebuah riwayat, wanita bani makhzum ini
bertaubat setelah tangannya di potong, dan
setelah itu datang ke rumah Nabi dan
Nabipun memberikan kebutuhan hajat kehidupannya.
“ apabila pencuri, bertaubat, maka tangan yang dipotongnya
akan mendahului masuk surge, dan jika tidak bertaubat, maka
potongan tangannya mendahuluinya masuk ke dama neraka “. (HR. Ibnu Adie).
HUKUMAN TIDAK AKAN DIBATALKAN JIKA SUDAH
SAMPAI KE PEMIMPIN MUSLIM
Imam Malik RahimahuLLah menceritakan dalam
kitabnya Al-muwatha, bahwanya sekolompok
orang menangkap seorang pencuri, untuk
diseret agar dihukum oleh Utsman
radhiyaLLahu ‘anhu, maka Zubair menemui mereka dan berkata, “ jika dia dibawa kepada
Utsman untuk diadili, maka dia minta
ampunan kepadanya, maka Utsmanpun
berkata, “ Jika hukuman hudud telah
sampai kepada pemimpin, maka Allah akan melaknat orang yang memberi syafaat dan yang meminta syafaat.
Shafwan Ibnu Umayah pernah tidur diatas Kain selendangnya di Masjid Nabi shalaLLahu “alahi wasalam, maka datanglah pencuri yang diam-diam mengambi
selendangnya, Maka shafwan pun
menangkapnya dan membawanya kepada Nabi Muhammad, Maka Nabi memerintahkannya
untuk memotong tanganya, Maka shofwan
berkata, “ ya RasuluLLah apakah karena selendang ini, tanganya di potong?, jika seperti itu, aka berikan saja kepadanya.
Maka RasuluLLah menjawab, “ mengapa
engkau tidak lakukan sebelum mendatangiku,dan akhirnya tangan si pencuripun
dipotong. (HR. Ahmad).
Maksud RasuluLLah adalah jika shofwan memaafkan sebelum kasus itu
diangkat kepada RasuluLLah maka hukum hudud bisa di batalkan, tetapi jika kasus
itu sudah dilaporkan kepada penguasa maka tidak boleh untuk membatalkan hukum
had dengan pertolongan, meaafkan, dengan hadiah
atau yang lainnya yang memiliki tujuan yang sama untuk menganulir.
Oleh karena itu ulama bersepakat, bahwa jika
perampok, pencuri atau kejatahan lainnya
dilaporkan kepada ulil amri kemudian dia bertaubat setelah itu, maka tidak
dapat membatalkan had itu atas pelaku kejahatan, bahkan wajib melaksankana had walaupun dia sudah bertaubat.
Jika dia bertaubat, maka sesungguhnya had itu
merupakan penghapus dosanya, dan
kesiapannya untuk menerima hukuman had merupakan sebuah tanda dari kesungguhnya
untuk bertaubat. Sama seperti mengembalikan hak yang sudah direngggut
kepada keluarganya, dan kesiapan untuk
diqishas pada hak-hak manusia yang diambil.
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ
فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ
خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.
إِلَّا
الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ ۖ فَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Kecuali orang-orang yang taubat (di antara
mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 33-34)