Jumat, 09 Agustus 2019

HUKUM HUDUD




۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا


Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS.An-Nisa : 58)


Maka sesungguhnya hukum diantara manusia  adalah hudud dan huquq (hak dan kewajiban) , dan keduanya terbagi menjadi dua macam :

Pertama, hudud dan huquq  yang tidak berkaiatn dengan individu tertentu,  tetapi terkait dengan manfaat kaum muslimin secara umum,  atau sekelompok kaum muslimin,  artinya semua orang membutuhnya, inilah yang disebut hudud dan huquq.


Misalnya seperti had  terhadap para perampok, pencuri, penzina,  dan lain sebagainya,  dan seperti hukum terhadap masalah-masalah yang berkaiatan dengan kekuasaan, seperti harta waqaf, wasiat yang tidak berkaiatan dengan personal tertentu.  Maka hal ini merupakan sebuah  tugas pemiminpin  yang paling penting,


Oleh karena itu, urgensi mengangkat seorang pemimpin tergambar dalam hadits dari Ali Bin abi thalib,  radhiyaLLahu ‘anhu, “ manusia sangat perlu untuk memiliki pemimpin yang baik atau bahkan pemimpin yang fajir (pendosa),  maka ada yang bertanya, wahai amirul mu’minin, pemimpin yang baik tentu kami  mengetahui kemaslahatannya, tetapi bagaimana dengan pemimpin yang pendosa?,  maka Ali bin abi thalib berkata,  pemimpin yang fadjir berguna untuk terlaksananya  hukum hudud dan huquq,  mengamankan situasi masyarakat, melawan musuh-musuh Islam, dan membagikan fai. (HR. Baihaqi).

Pemerintah wajib  menyelidiki dan  dan menegakan hukum-hukum diatas yang merupakan urgensi dari sebuah kewajiban pemimpin  walaupun tanpa tuntutan  dari siapapun,  dan demikian juga terlaksanya persaksian tentangnya walaupun tanpa tuntutan siapapun.


Hukum para pencuri

Para ulama berbeda pendapat mengenai  memotong tangan pencuri, apakah hal tersebut membutuhkan dihadirkannya harta yang dicuri atau tidak?,  mengenai hal ini  ada dua pendapat dalam madhab Imam ahmad dan yang lainnya,   tetapi mereka sepakat  bahwa potong tangan dilakukan tanpa harus menghadirkan barang curiannya,  menghadirkan barang curian hanya sebatas untuk meyakinkan tanpa ragu bahwa dialah pencurinya.


Maka hukum potong tangan ini harus ditegakan tanpa memandang bulu,  hukum harus ditegakan walaupun pelakunya adalah orang yang punya kedudukan ataupun rakya jelata,  orang yang kuat ataupun orang yang lemah.


Hukum hudud ini tidak boleh dianulir atau dibatalkan karena faktor  adanya pembelaan,  adanya hadiah sogokan ataupun yang lainnya, dan barang siapa yang membatal hukum hudud ini, padahal dia mampu melaksanakannya maka baginya laknat Allah, malaikat,  dan manusia semuanya.


Allah tidak akan menerima tebusan untuk hal ini, pelakunya termasuk  orang yang menjual belikan ayat Allah dengan harga yang murah.


Dari Abdillah Ibnu Umar RadhiyaLLahu ‘ahnu, dia berkata, telah bersabda RasuluLLah  shalaLLahu ‘alahi wasalam, “  Barang siapa yang memberi pertolongan untuk  menghalangi hukum hudud Allah, maka sungguh Ia telah  melawan perintah Allah, dan barang siapa yang bertikai  dalam kebatilan dan dia mengetahui  bahwa kemurkaan Allah tidak akan sirna sampai mereka berhenti, dan barang siapa yang menuduh kepada seorang muslim, maka dia harus ditahan di “radghatul khobal” sehingga dia mencabut perkataanya,  lalu ada yang bertanya, Ya RasuluLLah apakah radghatul khobal itu?,  lalau RasuluLLah menjawab, itu adalah perasaan nanah penghuni api neraka. (HR. Abu Daud dalam sunannya).


RasuluLLah menjelaskan tentang hakim, para saksi, dan orang yang bersengketa, karena mereka adalah bagaian-bagian pokok  dalam dunia hukum.


Dari Asiyah RadhiyaLLahu ‘anha berkata, “  sesungguhnya penduduk kaum qurasiy pernah resah dengan  pencurian yang dilakukan oleh wanita kaum makhzum,  mereka berkata, “  siapakah yang berani melaporkan hal ini kepada RasuluLLah?,  maka sebagian mereka menjawab, “ usamah lah yang pasti berani mengutarakan hal kepada RasuluLLah”,  dia berkata, “ Hai usamah apakah kamu hendak memberikan  pertolongan  pada orang yangdikenai hudud Allah,  sesungguhnya kebinasaan bani Israil adalah karena mereka  tebang plih dalam menegakan hukum hudud, jika yang memcuri adalah orang yang punya pengaruh dan kekuasaan mereka meninggalkan hukum hudud,  tetapi apabila yang menjadi pelaku adalah  rakyat biasa  yang lemah maka hukum hudud itu dilaksanakan, dan demi jiwaku berada ditangannya, jikalah Fatimah Binti Muhammad  mencuri, maka sungguh aku yang akan memotongnya.

Dalam kisah ini ada sebuah pelajaran yang berharga, bagaimana sebuah hukum dibisa dipermainkan, hukum menjadi bak pisah yang tumbul diatas dan tajam ke bawah, hukum tidak memban untuk orang-orang yang punya kekuasaan  dan tajam  kepada masyakarat jelata yang tidak punya apa-apa.


Bani makhzum  merupakan salah satu suku yang terkemuka di suku bani Quraisy selain bani abdul manaf,  maka ketika wanita dari bani makhzum itu mencuri  dan ternyata pencuriannya itu bukan hanya terjadi sekali saja, tapi kata ulama terjadi berkali-kali sebelum dia terciduk,   dan Usamah selaku sahabat kesayangan RasuLuLLah  dalam peritiwa ini hendak memberian pertolongan kepada wanita tersebut,  Maka RasuluLLahpun marah  dan mengecam Usamah agar jangan sampai dia tergelincir kepada hal-hal yang Allah haramkan,  yaitu memberikan pertolongan kepada orang yang kena sanksi had.


Nabipun memberikan sebuah afirmasi untuk menguatkan prinsip hidupnya, agar melakukan segala hal karena perintah dan larangan Allah, bukan karena pertimbangan perasaan, “ Jikalau anaknya sendiri, Fatimah mencuri maka sungguh, RasuluLLah sendiri yang akan menghukumnya dengan memotong tanganya.


Dalam sebuah riwayat, wanita bani makhzum ini bertaubat setelah tangannya di potong,  dan setelah itu datang ke rumah Nabi  dan Nabipun memberikan kebutuhan hajat kehidupannya.


“ apabila pencuri,  bertaubat, maka tangan yang dipotongnya akan  mendahului  masuk surge, dan jika tidak bertaubat, maka potongan tangannya mendahuluinya masuk ke dama neraka “. (HR. Ibnu Adie).


HUKUMAN TIDAK AKAN DIBATALKAN JIKA SUDAH SAMPAI KE PEMIMPIN MUSLIM


Imam Malik RahimahuLLah menceritakan dalam kitabnya Al-muwatha, bahwanya  sekolompok orang menangkap seorang pencuri,  untuk diseret  agar dihukum oleh Utsman radhiyaLLahu ‘anhu, maka Zubair menemui mereka  dan berkata, “ jika dia dibawa kepada Utsman  untuk diadili, maka dia minta ampunan kepadanya,  maka Utsmanpun berkata, “  Jika hukuman hudud telah sampai kepada pemimpin, maka Allah akan melaknat  orang yang memberi syafaat  dan yang meminta syafaat.


Shafwan Ibnu Umayah pernah tidur diatas  Kain selendangnya di Masjid Nabi  shalaLLahu “alahi wasalam,  maka datanglah pencuri yang diam-diam mengambi selendangnya,  Maka shafwan pun menangkapnya dan membawanya kepada Nabi Muhammad, Maka Nabi memerintahkannya untuk memotong tanganya,  Maka shofwan berkata, “ ya RasuluLLah apakah karena selendang ini, tanganya di potong?,  jika seperti itu, aka berikan saja kepadanya. Maka RasuluLLah menjawab, “  mengapa engkau tidak lakukan sebelum mendatangiku,dan akhirnya tangan si pencuripun dipotong. (HR. Ahmad).


Maksud RasuluLLah adalah  jika shofwan memaafkan sebelum kasus itu diangkat kepada RasuluLLah maka hukum hudud bisa di batalkan, tetapi jika kasus itu sudah dilaporkan kepada penguasa maka tidak boleh untuk membatalkan hukum had dengan pertolongan, meaafkan, dengan hadiah  atau yang lainnya yang memiliki tujuan yang sama untuk menganulir.

Oleh karena itu ulama bersepakat, bahwa jika perampok, pencuri  atau kejatahan lainnya dilaporkan kepada ulil amri kemudian dia bertaubat setelah itu, maka tidak dapat membatalkan  had itu  atas pelaku kejahatan,  bahkan wajib melaksankana had  walaupun dia sudah bertaubat.


Jika dia bertaubat, maka sesungguhnya had itu merupakan penghapus dosanya,  dan kesiapannya untuk menerima hukuman had merupakan sebuah tanda dari kesungguhnya untuk bertaubat.  Sama seperti  mengembalikan hak yang sudah direngggut kepada keluarganya,  dan kesiapan untuk diqishas pada hak-hak manusia yang diambil.


إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.


إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ ۖ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ


Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah : 33-34)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar