(Oleh : Misbahudin)
Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menegaskan dalam
karyanya “siasah syariyyah” bahwa dalam kepemimpinan untuk menggapai sebuah
target, pasti akan banyak halangan dan rintangan yang memerlukan jalan keluar (problem
solving), oleh karena itu syuro atau musyarah sangat dibutuhkan untuk
mencari solusi-solusi dalam setiap permasalahan yang ada.
Muasyawarah atau syura merupakan sebuah
budaya produktif yang dibangun dalam kepemimpian RasuluLLah dan para khulafa
ar-rasyidin, syuro merupakan sebuah system dalam kepemimpinan yang efektif dan
solutif.
Seorang pemimpin tidak akan bisa terlepas
dari yang namanya musyawarah (syura), musyawah sudah menjadi atmosfir kehidupan umat
Islam, Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan syura kepada Nabinya dalam
firman-Nya.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (Ali-Imran: 159)
Telah diriwatkan dari Abu Hurairah, ia
bekata, “ tidak ada orang yang lebh sering bermusyawarah dengan sahabatnya melebihi RasuluLLah. (HR. Ahmad, IV/328)
Sebagian ulama mengatakan,”Allah memerintahkan
Nabinya bermusyawarah dalam rangka menyatukan hati para sahabatnya,
agar diteladani manusia sepeninggalnya, dan untuk mencari pendapat yang benar
mengenai masalah yang tidak dijelaskan
oleh wahyu, seperti urusan peperangan, teknis, dan semisalnya.
Jika Nabi saja bermusyawarah, tentu selain
beliau lebih membutuhkan musyawarah.
Bahkan Allah memuji orang-orang yang
beriman karena musyawarah ini, dalam Firman-Nya.
!$yJsù LäêÏ?ré& `ÏiB &äóÓx« ßì»tFyJsù Ío4quptø:$# $u÷R9$# (
$tBur yZÏã «!$# ×öyz 4s+ö/r&ur tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä 4n?tãur öNÍkÍh5u tbqè=©.uqtGt ÇÌÏÈ tûïÏ%©!$#ur tbqç7Ï^tGøgs uȵ¯»t6x. ÄNøOM}$# |·Ïmºuqxÿø9$#ur #sÎ)ur $tB (#qç6ÅÒxî öNèd tbrãÏÿøót ÇÌÐÈ tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
“ Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakkal. dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-syura
: 36-38)
Ketika memimpin bermusyawarah dengan para
pengikutnya, jika ada salah satu dari mereka menyampaikan sesutau yang wajib
diikuti berdasarkan kitabuLLah, sunnah rasuluLLah, atau ijma kaum muslimin, ia
wajib mengikutinya dan tidak boleh mengikuti orang lain yang menyelisihinya
walaupun secara din dan adunia terasa sangat berat.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “.
(QS. An-Nisa : 59)
Tindakan Pemimpin Menghadapi Perbedaan
Pendapat
Adapun perkara yang masih diperselisihkan
kaum muslimin, seyogyanya seorang pemimpin meminta masing-masing mereka mengeluarkan pendapat atau argumentasinya,
mana saja pendapat yang lebih dekat kepada kitabuLLah dan sunnah Rasulnya, maka hendaknya diambil sebagai sebuah keputusan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika
kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa:
59).
Kolaborasi Antara Ulama Dan Umara
Ada sebuah ungkapan yang menarik yang patut
direnungkan, “ jikalau Allah menginginkan sebuahk kebaikan dalam sebuah negeri,
Maka Allah jadikan peradaban ilmu ada di tengah-tengah negeri tersebut (dengan
kebijakan umara). Dan dijadikannya kekuatan umara ada dalam restu para ulama.
Maka Ibnu Taimiyyah mengklasifikasikan Ulil
amri itu sendiri, menjadi dua golongan, ada para umara
(penguasa) dan ulama. Mereka adalah orang-orang yang jika mereka baik,
niscaya orang lain ikut baik. Oleh karena itu kedua golongan ini harus berusaha semaksimal mungkin bahwa apa mereka
ucapakan dan lakukan itu mematuhi aturan
Allah dan rasul-Nya, sesuai dengan
ajaran Al-Qur’an.
Jika dalam urusan-urusan yang rumit hukum
masih bisa diketahui sesuai dengan asar Al-Qur’an dan a-sunnah, itulah yang
wajib diambil. Tapi jika tidak memungkinkan
karena sempitnya waktu, atau tidak sanggup mencarinya, atau dalil-dalil yang ada baginya sama-sama
kuat, atau faktor-faktor lain, ia boleh bertaklid kepada orang yang dia anggap mumpuni keilmuannya dan kemampaun agamanya.
Inilah pendapat yang paling kuat.
Ada juga ulama yang berpendapat, tidak boleh
berpendapat dalam kondisi apapun. Ada yang berpendapat , ia boleh bertaklid
dalam kondisi apapun. Ketiga pendapat ini dari kalangan madzhab Ahmad dan
lainnya.
Mengemban Amamah Dengan Kemampuan Total
Begitupun dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada diri para qadhi dan
pemimpin. Syarat-syarat ini dipenuhi
sesuai dengan kemampuannya. Bahkan semua syarat ibada, mulai dari shalat, jihad dan lainnya,
semua hanya wajib jika ada kemapuan. Adapun dalam kondisi lemah, maka Allah
tidak membebani suatu jiwa diluar batas
kesanggupannya. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan orang hendak melaksanakan
shalat untuk bersuci dengan air, jika tidak ada air atau ketika memakainya
takut membahayakan dirinya karena cuaca yang sangat dingin, luka, atau lainnya, ia cukup bertayamum, dengan mengusap wajah dan kedua tangannya dnegan debu.
صَلِّ قائماً، فإِن لم تستطع فقاعداً،
فإِن لم تستطع فعلى جَنب
“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak
mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari 1117).
Allah telah mewajibkan pelaksanaan shalat tepat pada waktunya dalam kondisi apapun yang memungkinkan. Allah berfirman
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_Ìsù ÷rr& $ZR$t7ø.â (
!#sÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2ø$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? cqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ
“
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[152]. Berdirilah
untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. jika
kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui. Shalat wusthaa
ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat,
bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut
kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan
dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-baqarah : 238-239)
Allah mewajibkan shalat, baik atas orang yang
berada dalam kondisi aman, takut, sehat, sakit,
kaya, miskin, mukim, maupun musafir. Hanya Allah saja yang
meringankannya bagi musafir, orang yang dalam kondisi takut, orang sakit, sebagaimana yang dijelaskann dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.
Dalam shalat pun Allah mewajbkan berbagai
kewajiban mulai dari bersuci, menutup aurat,
dan menghadap kiblat. Allah menggugurkan
kewajiban ini bagi yang tidak sanggup melaksanakannya.
Apabila kapal yang mengangkut suatu rombongan
pecah terguling atau mereka dicegat perampok yang merampas baju-baju mereka ,
mereka boleh shalat dengan telanjang
sesuai kondisi mereka. Caranya, orang
yang menjadi Imam berdiri di bagian
tengah agar makmum tidak melihat auratnya.
Jika mereka bingung mengenai arah kiblat,
hendaknya mereka berjihad sesuai denga petunjuk-petunjuk yang ada. Jika petunjuk-petunjuk yang ada juga
tidak mengarah kepada titik
terang, mereka boleh shalat semampu
mereka sebagaimana disbeutkan dalam
riwayat bahwa para sahabat pernah
mengalaminya di zaman RasuluLLah. (HR.
Tirmidzi).
Begitu juga dalam jihad, kepemimpinan, dan semua
urusan agama, semua berlaku atas
kemampuan persenoal dan ummat.
Bertaqwalah kepada Allah dengan semampumu,
Sebagaimana firman Allah.
(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó$# (#qãèyJó$#ur (#qãèÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #Zöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3
`tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ
“ Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah
dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan Barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang
beruntung”. (QS. At-Thaghabun : 16)
Juka berlaku padanya sabda Nabi shalaLLahu
‘alahi wasalam
“ Apabila aku
memerintahkan suatu perkara kepada kalian, maka lakukanlah perintah itu
semampu kalian”. (HR. Bukhari : 7288)
Allah tidak mewajibkan sesuatu yang tidak disanggupi manusia. Allah juga
tidak mengharamkan sesuatu yang
terpaksa harus diambil dalam kondisi darurat jika keterpaksaan itu
muncul bukan dari perbuatan maksiat.
# Disarikan
Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS & Direktur An-Nahala Research Forum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar