Rabu, 16 Oktober 2019

SYURA SEBUAH METODOLOGI UNTUK MENYATUKAN HATI, PIKIRAN DAN LANGKAH


(Oleh : Misbahudin)

Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menegaskan dalam karyanya “siasah syariyyah” bahwa dalam kepemimpinan untuk menggapai sebuah target, pasti akan banyak halangan dan rintangan yang memerlukan jalan keluar (problem solving), oleh karena itu syuro atau musyarah sangat dibutuhkan untuk mencari solusi-solusi dalam setiap permasalahan yang ada.

Muasyawarah atau syura merupakan sebuah budaya produktif yang dibangun dalam kepemimpian RasuluLLah dan para khulafa ar-rasyidin, syuro merupakan sebuah system dalam kepemimpinan yang efektif dan solutif.

Seorang pemimpin tidak akan bisa terlepas dari yang namanya musyawarah  (syura),  musyawah sudah menjadi atmosfir kehidupan umat Islam, Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan syura kepada Nabinya dalam firman-Nya.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali-Imran: 159)

Telah diriwatkan dari Abu Hurairah, ia bekata, “ tidak ada orang yang lebh sering bermusyawarah  dengan sahabatnya  melebihi RasuluLLah. (HR. Ahmad, IV/328)

Sebagian ulama mengatakan,”Allah memerintahkan Nabinya  bermusyawarah  dalam rangka menyatukan hati para sahabatnya, agar diteladani  manusia sepeninggalnya,  dan untuk mencari pendapat yang benar mengenai masalah yang tidak dijelaskan  oleh wahyu, seperti urusan peperangan, teknis, dan semisalnya.

Jika Nabi saja bermusyawarah, tentu selain beliau lebih membutuhkan  musyawarah. Bahkan Allah memuji orang-orang  yang beriman karena musyawarah ini, dalam Firman-Nya.

!$yJsù LäêŠÏ?ré& `ÏiB &äóÓx« ßì»tFyJsù Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# ( $tBur yZÏã «!$# ׎öyz 4s+ö/r&ur tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä 4n?tãur öNÍkÍh5u tbqè=©.uqtGtƒ ÇÌÏÈ   tûïÏ%©!$#ur tbqç7Ï^tGøgs uŽÈµ¯»t6x. ÄNøOM}$# |·Ïmºuqxÿø9$#ur #sŒÎ)ur $tB (#qç6ÅÒxî öNèd tbrãÏÿøótƒ ÇÌÐÈ   tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
“ Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-syura : 36-38)

Ketika memimpin bermusyawarah dengan para pengikutnya, jika   ada salah satu  dari mereka menyampaikan sesutau yang wajib diikuti berdasarkan kitabuLLah, sunnah rasuluLLah, atau ijma kaum muslimin, ia wajib mengikutinya dan tidak boleh mengikuti orang lain yang menyelisihinya walaupun secara din dan adunia terasa sangat berat.

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya “. (QS. An-Nisa : 59)

Tindakan Pemimpin Menghadapi Perbedaan Pendapat

Adapun perkara yang masih diperselisihkan kaum muslimin, seyogyanya seorang pemimpin meminta masing-masing mereka  mengeluarkan pendapat atau argumentasinya, mana saja pendapat yang lebih dekat kepada kitabuLLah  dan sunnah Rasulnya, maka  hendaknya diambil sebagai sebuah keputusan.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).

Kolaborasi Antara Ulama Dan Umara

Ada sebuah ungkapan yang menarik yang patut direnungkan, “ jikalau Allah menginginkan sebuahk kebaikan dalam sebuah negeri, Maka Allah jadikan peradaban ilmu ada di tengah-tengah negeri tersebut (dengan kebijakan umara). Dan dijadikannya kekuatan umara ada dalam restu para ulama.
Maka Ibnu Taimiyyah mengklasifikasikan Ulil amri itu sendiri, menjadi dua golongan, ada  para umara  (penguasa) dan ulama. Mereka adalah orang-orang yang jika mereka baik, niscaya orang lain ikut baik. Oleh karena itu kedua golongan ini harus  berusaha semaksimal mungkin bahwa apa mereka ucapakan  dan lakukan itu mematuhi aturan  Allah dan rasul-Nya, sesuai dengan ajaran  Al-Qur’an.

Jika dalam urusan-urusan yang rumit hukum masih bisa diketahui sesuai dengan asar Al-Qur’an dan a-sunnah, itulah yang wajib diambil. Tapi jika tidak memungkinkan  karena sempitnya waktu, atau tidak sanggup mencarinya,  atau dalil-dalil yang ada baginya sama-sama kuat, atau faktor-faktor lain, ia boleh bertaklid  kepada orang yang dia anggap  mumpuni keilmuannya dan kemampaun agamanya. Inilah pendapat yang paling kuat.

Ada juga ulama yang berpendapat, tidak boleh berpendapat dalam kondisi apapun. Ada yang berpendapat , ia boleh bertaklid dalam kondisi apapun. Ketiga pendapat ini dari kalangan madzhab Ahmad dan lainnya.

Mengemban Amamah Dengan Kemampuan Total

Begitupun dengan syarat-syarat  yang harus dipenuhi pada diri para qadhi dan pemimpin. Syarat-syarat ini dipenuhi  sesuai dengan kemampuannya. Bahkan semua syarat  ibada, mulai dari shalat, jihad dan lainnya, semua hanya wajib jika ada kemapuan. Adapun dalam kondisi lemah, maka Allah tidak membebani  suatu jiwa diluar batas kesanggupannya.  Oleh karena itu, Allah memerintahkan  orang hendak melaksanakan shalat untuk bersuci dengan air, jika tidak ada air atau ketika memakainya takut membahayakan dirinya karena cuaca yang sangat dingin, luka,  atau lainnya, ia cukup bertayamum,  dengan mengusap wajah  dan kedua tangannya dnegan debu.

صَلِّ قائماً، فإِن لم تستطع فقاعداً، فإِن لم تستطع فعلى جَنب

“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu sambil duduk, dan jika kamu tidak mampu, sambil berbaring miring.” (HR. Bukhari 1117).

Allah telah mewajibkan pelaksanaan shalat  tepat pada waktunya dalam kondisi apapun yang memungkinkan. Allah berfirman

(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ   ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
“ Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-baqarah : 238-239)

Allah mewajibkan shalat, baik atas orang yang berada dalam kondisi aman, takut, sehat, sakit,  kaya, miskin, mukim, maupun musafir. Hanya Allah saja yang meringankannya bagi musafir, orang yang dalam kondisi takut, orang sakit,  sebagaimana yang dijelaskann  dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.

Dalam shalat pun Allah mewajbkan berbagai kewajiban mulai dari bersuci, menutup aurat,  dan menghadap kiblat. Allah menggugurkan  kewajiban ini bagi yang tidak sanggup melaksanakannya.

Apabila kapal yang mengangkut suatu rombongan pecah terguling atau mereka dicegat perampok yang merampas baju-baju mereka , mereka boleh shalat  dengan telanjang sesuai  kondisi mereka. Caranya, orang yang menjadi Imam  berdiri di bagian tengah agar makmum tidak melihat auratnya.

Jika mereka bingung mengenai arah kiblat, hendaknya mereka  berjihad  sesuai denga petunjuk-petunjuk  yang ada. Jika petunjuk-petunjuk  yang ada juga  tidak mengarah kepada  titik terang, mereka boleh shalat  semampu mereka sebagaimana disbeutkan  dalam riwayat bahwa para sahabat  pernah mengalaminya di zaman RasuluLLah.  (HR. Tirmidzi).

Begitu juga dalam jihad, kepemimpinan, dan semua urusan  agama, semua berlaku atas kemampuan persenoal dan ummat.

Bertaqwalah kepada Allah dengan semampumu, Sebagaimana   firman Allah.

(#qà)¨?$$sù ©!$# $tB ÷Läê÷èsÜtFó$# (#qãèyJó$#ur (#qãèÏÛr&ur (#qà)ÏÿRr&ur #ZŽöyz öNà6Å¡àÿRX{ 3 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßsÎ=øÿçRùQ$# ÇÊÏÈ  
“ Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[1480]. dan Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.  (QS. At-Thaghabun : 16)

Juka berlaku padanya sabda Nabi shalaLLahu ‘alahi wasalam
“ Apabila aku  memerintahkan suatu perkara kepada kalian, maka lakukanlah perintah itu semampu kalian”. (HR. Bukhari : 7288)

Allah tidak mewajibkan sesuatu  yang tidak disanggupi manusia. Allah juga tidak mengharamkan  sesuatu yang terpaksa  harus diambil  dalam kondisi darurat jika keterpaksaan itu muncul  bukan dari perbuatan maksiat.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS & Direktur  An-Nahala Research Forum)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar