Oleh :
Misbahudin
Ibnu
Taimiyyah Rahimahullah menegaskan bahwa Islam mengarahkan kekuasaan dan
kekayaan di jalan Allah. Jika tujuan dalam berkuasa dan meraih harta
kekayaan adalah mendekatkan diri kepada
Allah dan menginfakan di jalan Allah, niscaya hal itu dapat menjadikan baik
agama dan dunianya.
Jika
kekuasaan politik dipisahkan dari agama atau agama dipisahkan dari kekuasaan,
kondisi manusia pasti akan rusak, hidup dan kehidupan akan semraut tak beraturan, hanya hawa nafsu yang menjadikan
rujukan untuk bertindak dan membuat kebijakan.
Orang yag
patuh kepada Allah berbeda dengan orang yang bermaksiat kepada_Nya melalui niat
dan amal shalih. Sebagaimana disebut dalam sabda RasuluLLah
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ
إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
وَأَعْمَالِكُمْ
Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan
tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR.
Muslim no. 2564).
Tatkala banyak penguasa yang ketika berkuasa terlalu mengejar kekayaan dan pangkat, niscaya mereka pun semakin jauh dari iman serta agama yang hakiki dan sempurna. Ada juga diantara para penguasa yang lebih mengutamakan agama tapi mengabaikan sarana penyempurnanya dari urusan-urusan dunia.
Sebaliknya,
ada yang merasa dirinya tergantung kepada sarana tersebut lalu dia
menempuhnya dan mengabaikan pertimbangan
agama, karena menurutnya agama bertolak belakang dengan sarana tersebut. Ia menganggap agama
yang difungsikan pada posisi-posisi memberi kasih sayang dan kerendahan, tidak
pada tempat-tempat ketinggian dan kemuliaan.
Begitulah
kondisi pengikut dua agama (yahudi dan
Nasrani). Ketika mereka sudah tidak mampu menjalankan agama secara
sempurna dan berkeluh kesah menghadapi
ujian yang datang ketika menegakan agama, ajaran mereka dianggap lemah dan rendah oleh orang yang
meyakini bahwa kemaslahatan manusia tidak akan dicapai melalui agama.
Inilah dua
jalan sama-sama rusak, jalan kaum yang menisbatkan diri kepada agama tapi tidak menjalankannya
secara sempurna melalui perantara
kekuasaan, jihad, dan kekayaan yang menjadi kebutuhan dan jalan orang-orang yang menjalankan
kekuasaan, kekayaan dan peperangan bukan untuk tujuan menegakan agama. Keduanya
adalah jalan orang-orang yang dimurkai dan jalan orang-orang yang sesat.
Jalan
pertama ditempuh oleh kaum nasrani dan jalan yang kedua ditempuh oleh kaum-kaum
yahudi. Sementara jalan yang lurus
adalah jalan orang yang Allah beri rahmat dan nikmat dari kalangan para Nabi,
oarng-orang sidiq, para syuhada dan orang-orang yang shalih.
Itulah jalan
yang ditempuh RasuluLLah, para khalifah ar-rasyidin, para sahabat RasuluLLah
dan siapa saja yang meniti jalan mereka,
jalan orang yang bersegera menuju
Islam dari kalangan muhajirin dan ashar,
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada
mereka dan mereka pun ridho kepada Allah.
Allah
menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
mereka kekal didalamnya, itulah keberuntungan yang besar.
w tbqç7è%öt Îû ?`ÏB÷sãB ~wÎ) wur Zp¨BÏ 4
Í´¯»s9'ré&ur ãNèd crßtG÷èßJø9$# ÇÊÉÈ
“Mereka
tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula
mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”.
(QS. At-taubah : 10)
Mengangkat
Pemimpin Shalih Lebih Baik Daripada Orang Kafir
Kewajiban bagi
seorang muslim adalah berusaha dengan maksimal sesuai dengan kemampuan yang dia
miliki, siapa saja yang mengemban suatu tugas
kepemimpinan dengan niat menaati Allah, menjalankannya sesuia dengan ajaran
Islam, memenuhi maslahat kaum muslimin serta melarang hal-hal yang haram kepada
mereka sesuai dengan kemampaunnya, niscaya tidak akan disalahkan dalam hal-hal
yang ia tidak mampu.
Bagaimanapun
mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang yang shalih itu lebih baik bagi umat Islam daripada mengakat pemimpin dari kalangan
orang-orang kafir.
Siapa saja
yang tidak mampu menegakan agama Islam melalui
kekuasaan dan jihad, lalu ia
melakukan apa yang ia sanggupi seperti memberikan kesetiaan hati dan doa
terhadap umat Islam , mencintai
kebaikan dan menjalankan kebaikan
yang ia mampu, niscaya ia tidak akan di bebani menjalankan apa yang ia
tidak mampu.
Agama Tegak
Dengan Tegaknya Al-Qur’an
Sesungguhnya
agama itu hanya tegak dengan Al-Qur’an pemberi petunjuk dan besi sebagai
pembela, sebagaimana disebutkan oleh Allah.
Oleh karena
itu, kita harus berusaha maksimal untuk
mendahulukan Al-Qur’an secara ikhlas karena Allah dan mengharapkan pahala
disisi-nya , seraya memohon pertolongan darinya dalam menjalankan tugas
tersebut.
Dunia pada
hakikatnya adalah berfungis sebagai
pelayan agama , sebagimana perkataan Muadz Bin Jabal, “ wahai anak adam, engkau
membutuhkan bagianmu dari dunia, tetapi
bagian akhiratmu lebih membutuhkannya. Jika kamu lebih mengutamakan sebagian
duniamu maka bagian akhiratmu akan luput, sedangkan bagian duniamu juga dalam
keadaan mengkhwatirkan. “
Dasar ucapan
Muadz ini adalah riwayat tirmidzi dari Nabi Muhammad ShalaLLahu ‘Alahi
wasalam.
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
Barangsiapa
tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya,
menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia
kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat
(tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya,
menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan
hina. ”
Dan Firman
Allah Subhanahu Wata’ala
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ !$tB ßÍé& Nåk÷]ÏB `ÏiB 5-øÍh !$tBur ßÍé& br& ÈbqßJÏèôÜã ÇÎÐÈ ¨bÎ) ©!$# uqèd ä-#¨§9$# rè Ío§qà)ø9$# ßûüÏGyJø9$# ÇÎÑÈ
“ Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (QS. Adz-dzariayat : 56-58).
# Disarikan
Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS & Direktur An-Nahala Research Forum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar