Selasa, 16 Februari 2021

MEMAHAMI HAKIKAT WAHYU

 

Oleh : Misbahudin

 

 

*Wahyu dalam Perfektif Bahasa*

 

Wahyu pada dasarnya adalah istilah yang memvisualisasikan  sebuah ucapan kepada seseorang, yang dimana ucapan itu tidak dikehendaki untuk  didengar oleh orang lain, oleh karena dalam bahasa arab untuk sesuatu penyampaian pesan rahasia digunakan kalimat “waha-yahi-wahyun” (  وحى-يحى-وحي    ) atau menggunakan kata “ auha-yuhi-i`haun”  (  أوحى-يوحى-ايحاء )

 

Jadi wahyu menurut perfektif bahasa adalah sebuah komuniasi dengan menggunkan isyarat yang cepat, sebuah  pesan yang disampaikan dengan memakai simbol, isyarah dan terkadang dengan sebuah suara,  atau dengan isyarat anggota badan.  Kata wahyu adalah isim masdar  bentuk isim masdar yang mengandung arti dasar tersembunyi _(khafau)_ dan cepat _(sur’ah)_. Dapatlah dikatakan bahwa essensi makna wahyu adalah  sebuah pemberitahuan yang tersembunyi  yang spesifik ditujukan  kepada orang yang hendak diberi tahu  dengan merahasiakannya dari yang  manusia yang lainnya.

 

*Makna-Makna Wahyu Dalam Al-Qur’an*

 

Jika kita melihatnya dalam sudut pandang kebahasaan, wahyu memiliki banyak fungsi yang banyak yang menggambarkan sebuah visualisasi dari maksud yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam sebuah susunan kalimat dalam Al-Qur’an.  Berikut beberapa  makna dari kata wahyu dalam firman Allah.

 

1.      Wahyu Bermakna Fitrah Naluri Manusia

 

وَاَوۡحَيۡنَاۤ اِلٰٓى اُمِّ مُوۡسٰٓى اَنۡ اَرۡضِعِيۡهِ‌ۚ فَاِذَا خِفۡتِ عَلَيۡهِ فَاَ لۡقِيۡهِ فِى الۡيَمِّ وَلَا تَخَافِىۡ وَلَا تَحۡزَنِىۡۚ اِنَّا رَآدُّوۡهُ اِلَيۡكِ وَجٰعِلُوۡهُ مِنَ الۡمُرۡسَلِيۡنَ‏

 

“Dan Kami ilhamkan kepada ibunya Musa, "Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya salah seorang rasul." (QS. Al-Qashash : 7)

 

2.      Wahyu Bermakna  Ilham

 

وَاَوۡحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحۡلِ اَنِ اتَّخِذِىۡ مِنَ الۡجِبَالِ بُيُوۡتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُوۡنَۙ

 

“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, "Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, (QS. An-Nahl : 68)

 

 

3.      Wahyu Bermakna Isyarat

 

فَخَرَجَ عَلٰى قَوۡمِهٖ مِنَ الۡمِحۡرَابِ فَاَوۡحٰٓى اِلَيۡهِمۡ اَنۡ سَبِّحُوۡا بُكۡرَةً وَّعَشِيًّا‏

 

“Maka dia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang”. (QS. Maryam : 11).

 

 

4.      Wahyu Mermakna Bisikan Setan

 

وَلَا تَاۡكُلُوۡا مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ اسۡمُ اللّٰهِ عَلَيۡهِ وَاِنَّهٗ لَفِسۡقٌ ؕ وَاِنَّ الشَّيٰطِيۡنَ لَيُوۡحُوۡنَ اِلٰٓى اَوۡلِيٰٓـٮِٕـهِمۡ لِيُجَادِلُوۡكُمۡ‌ ۚ وَاِنۡ اَطَعۡتُمُوۡهُمۡ اِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُوۡنَ

 

Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. (QS. Al-An’am : 121)

 

 

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

 


“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.(QS. Al-An’am : 112)

 

 

5.      Wahyu Bermakna Intruksi Perintah

 

إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا ۚ سَأُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوا فَوْقَ الْأَعْنَاقِ وَاضْرِبُوا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍ

 


“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (QS.  Al-Anfal : 12)

 

 

*Wahyu Dalam Perfektif Istilah*

 

 

Wahyu menurut istilah lebih jelas dan spesifik dari bahasa pendekatan bahasa, dalam kitab ‘ulumul qur’an dijelaskan makna wahyu secara istilah adalah  kalam Allah yang diturunkan kepada manusia pilihannya  dengan jalan tersembunyi dan cepat .  Syekh Muhammad Abduh dalam bukunya, risalah tauhid mendefinisikan wahyu sebagai  pengetahun yang  didapati seorang manusia pilihan dalam jiwanya  dengan adanya sebuah keyakinan  bahwa hal itu adalah datang dari Allah dengan melalui pelantara ataupun tanpa pelantara.

 

 

Yang pertama menurut beliau adalah dengan suara yang begitu jelas di pendengaran ataupun tanpa suara, dan beliau membedakan antara wahyu dan ilham, ilham adalah intuisi yang diyakini jiwa  sehingga menimbulkan sebuah dorongan untuk melakukannya tanpa mengetahui  dari mana rasa itu datang,  ilham beliau menganalogikan  menyerupai sebuah dorongan dari sebuah rasa lapar, haus, sedih dan Bahagia.

 

 

Reverensi

1.      Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.      At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

 

 

==============================

*💰Investasi Akhirat* : Pembangunan Kelas Pondok Tahfidz Zaid bin Tsabit -Bekasi. (Bank Syariah Mandiri (BSM). No Rek. : (451) 7112 5781 23 a.n. Ade Suhairi. #Konfirmasi Transfer (0813 8622 4142)

🌐 *Blog* : http://bit.ly/literasi-islam

       📹 *Youtube* : http://bit.ly/misbahchannel

Minggu, 14 Februari 2021

MEMAHAMI PROSES TURUNNYA WAHYU

 

Oleh : Misbahudin

 

 

*Dunia Metafisik Di Balik  Dunia Nyata*

 

Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, sehingga mampu menyinari relung relung hati yang gelap dengan kebodohan  dan menyingkirkan kebekuan akal untuk berfikir kritis dan maju,  ilmu pengetahuan telah membawa manusia menuju tatanan budaya dan peradaban yang lebih maju.  Penelitian ilmu pengetahuan bisa menghantarkan  para ilmuan kepada cahaya Islam, karena mereka merasa menemukan sebuah kebenaran  dalam Islam, dimana kebenaran Islam ini terbukti nyata dalam phenomena alam semesta.

 

Oleh karena itu, penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para saintifik ternyata banyak yang semakin memperjelas kebenaran Al-Qur’an.  Sebagaimana firman Allah yang akan menunjukan bukti-bukti kebenaran melalui alam semesta bahkan lewat diri mereka sendiri

 


سَنُرِيۡهِمۡ اٰيٰتِنَا فِى الۡاٰفَاقِ وَفِىۡۤ اَنۡفُسِهِمۡ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ اَنَّهُ الۡحَـقُّ‌ ؕ اَوَلَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَىۡءٍ شَهِيۡدٌ

 

_Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?_(QS. Al-Fusilat : 53)

 

 

Tetapi disisi lain, mereka yang menyingkirkan fitrah keimanan mereka dan menguburnya dalam-dalam,  mereka menjadi para penentang Tuhan, mereka anti dengan agama, karena merasa semua phenomena semesta, mereka dapat menemukan jawabannya seperti halnya ilmuan modern yang terkenal dengan teori “Big Bang”, yaitu  hawking. Dia Ilmuan yang Ateis menganggap Tuhan itu hanya sebuah hayalan dan ilusi.

 

Pembahasan tentang ilmu jiwa atau psikologi menjadi sebuah titik terang, dimana para ilmuan “murni” mau tidak mau harus mengatakan bahwa ada sebuah unsur yang tidak terlihat dalam sesuatu yang terlihat,  bagaimana manusia yang mempunyai sebuah potensi fisik yang sama tetapi ternyata mereka memiliki karakter, kecerdasan dan keunggulan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

 

Maka tentunya hal tersebut, ada sesuatu yang sangat mendasar yang membedakan mereka, yaitu “kualiatas ruhiyah” dan “kualitas mentalitas” mereka.  Dalam Islam, konsep jiwa lebih detail  dan lebih dalam.  Islam memberikan sebuah gambaran bahwa dalam diri manusia itu, Allah sudah berikan kecendrungan iman dalam artian sebuah kecendrungan untuk  menjadi pribadi yang baik, produktif dan segala hal yang bersifat baik dan sebaliknya dalam diri manusia juga sudah ada kecendrungan untuk berbuat kerusakan, jiwanya dipenuhi dengan keberukan


فَاَلۡهَمَهَا فُجُوۡرَهَا وَتَقۡوٰٮهَا

“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya” (QS. Asy-Syam:8)

 

 

Maka tentunya, manusia-manusia pilihan yang diangkat menjadi Rasul dan Nabi, mereka adalah manusia berjiwa suci, berbudi pekerti yang agung. Hal itu menjadi seolah menjadi “persiapan” mereka untuk membuka sebuah ruang komukasi “metafisik”  dengan alam yang lebih luhur  yaitu alam malakut yang dipenuhi dengan kesucian.

 

 

*Jiwa Suci Yang Terpilih Menerima Wahyu*

 

 

Sugguh bukanlah hal  yang sulit bagi Allah untuk memilih  jiwa yang suci dan hati nan murni di antara hambanya untuk  dicurahkan kepadanya limpahan sinar ilahiyah, wahyu langit dan dapat berhubungan dengan mahluk yang lebih tinggi yaitu malaikat,   agar bisa disampaikan kepadanya  risalah  ilahiyah yang memenuhi kegersangan jiwa manusia dan kebutuhan mansuia akan petunjuk kebenaran (taufiq dan hidayah). mereka adalah para Nabi dan Rasul-Nya yang memilki ketinggiam budi, ketinggian rasa dan kecerahan jiwa  yang utuh.

 

 

Syekh mana’il Qathan memberikan sebuah ilustrasi dalam bukunya ‘ulumul qur’an. Beliau menggambarkan  bagaimana proses wahyu turun kepada manusia pilihannya dengan peristiwa yang dianggap mustahil di zaman ketika manusia belum mengenal teknologi. Mereka  melakukan komunikasi jarak jauh antara daerah atau bahkan antar negara. Maka ketika teknologi sudah canggih hal itu menjadi logis, biasa dan dianggap lumrah.  Maka turunnya wahyu kepada nabi dan Rasul-Nya, lebih dianggap logis dan bisa  dengan keterbatasannya sebagai mahluk, bisa melakukan sesuatu yang dulunya dianggap mustahil. Apalagi Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu. maka hanya hati dan pikitan yang buta yang menolak adanya agama samawi.

 

 

 

*Testimoni Para Saksi Turunnya Wahyu *

 

Orang-orang yang sezaman Rasul, mereka menyaksikan  wahyu, kemudian menukilnya  secara mutawatir  sehingga memenuhi  syarat-syarat  menjadi ilmu  yang meyakinkan “’ilmu Qathi” dari generasi ke generasi.  Dan manusia pada saat itu sungguh menyaksikan pengaruh wahyu  pada budaya dan kultur kehidupan mereka, kemampuan para pengikutnya yang mempunyai karakteristik yang istimewa dan mengangumkan sehingga menjadikan mereka pribadi-pribadi yang luhur ketika mereka benar-benar berpegang teguh dan mengikuti kebenaran wahyu. Dan sebaliknya,  ketika manusia itu ingkar  dan mengabaikan kebenaran wahyu,   maka akan hancurlah eksistensinya  dan menjadi kaum yang hina seperti kaum kafir quraisy.

 

 

Sungguh tidak ada ruang keraguan  akan  kemungkinan dan logisnya turunya wahyu kepada manusia pilihan  dan urgensi adanya wahyu untuk menjadi cahaya petunjuk kehidupan  yang hakiki, menyingkap tabir kegelapan jiwa dan pikiran,  serta menyirapi kegersangan jiwa dalam usaha menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sesungguhnya.  

 

Nabi Muhammad adalah manusia terakhir yang Allah jadikan sebagai penutup para Nabi dan Rasulnya. Para nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad membawa sebuah visi msis yang sama, yaitu menyeru manusia kepada ketauhidan. Sehingga Rasulullah mengumpamakan  dirinya dengan nabi dan rasul sebelumya seperti orang yang membangun bangunan yang megah, dan Rasulullah ada bagian finishing dari keindahan bangunan tersebut.

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ مَثَلِى وَمَثَلَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِى كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ ، إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ ، وَيَقُولُونَ هَلاَّ وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ ، وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ »

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan aku dengan Nabi sebelumku ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Orang-orang ketika itu mengitarinya, mereka kagum dan berkata, “Amboi, jika batu bata ini diletakkan, akulah batu bata itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR. Bukhari, no. 3535 dan Muslim, no. 2286)



Para Nabi dan Rasul terdahulu memiliki  sebuah keistimewaan yang sama, yaitu Allah menurunkan wahyu  kepada mereka sebagai pola komunikasi yang dibangun antara mahluk bumi dan mahluk langit. Hal ini menjadi sebuah sarana  agar manusia yang tersesat kembali kepada jalan yang benar dengan petunjuk dan bimbingan wahyu yang dibawa oleh para nabi dan Rasulnya.

 


اِنَّاۤ اَوۡحَيۡنَاۤ اِلَيۡكَ كَمَاۤ اَوۡحَيۡنَاۤ اِلٰى نُوۡحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنۡۢ بَعۡدِهٖ‌ ۚ وَاَوۡحَيۡنَاۤ اِلٰٓى اِبۡرٰهِيۡمَ وَاِسۡمٰعِيۡلَ وَاِسۡحٰقَ وَيَعۡقُوۡبَ وَالۡاَسۡبَاطِ وَعِيۡسٰى وَاَيُّوۡبَ وَيُوۡنُسَ وَهٰرُوۡنَ وَسُلَيۡمٰنَ‌ ۚ وَاٰتَيۡنَا دَاوٗدَ زَبُوۡرًا‌. وَرُسُلًا قَدۡ قَصَصۡنٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِنۡ قَبۡلُ وَرُسُلًا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَ‌ ؕ وَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوۡسٰى تَكۡلِيۡمًا

 

_“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Dawud. Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung”_ (QS. An-Nisa : 163-164)

 

Bagi manusia yang  berfikir jernih dan jiwa yang bersih turunya wahyu kepada Nabi dan rasulnya bukan sesuatu yang aneh,  sehingga melahirkan keingkaran dan kedurhakaan. Karena jiwa yang bersih pasti akan membutuhkan banyak pencerahan jiwa  agar mereka bisa menjalani hidup sebaik mungkin, tentunya dengan tuntunan sang pemilik kehidupan.

 


اَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا اَنۡ اَوۡحَيۡنَاۤ اِلٰى رَجُلٍ مِّنۡهُمۡ اَنۡ اَنۡذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنَّ لَهُمۡ قَدَمَ صِدۡقٍ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ ؕ قَالَ الۡكٰفِرُوۡنَ اِنَّ هٰذَا لَسٰحِرٌ مُّبِيۡنٌ‏

“Pantaskah manusia menjadi heran bahwa Kami memberi wahyu kepada seorang laki-laki di antara mereka, "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan." Orang-orang kafir berkata, "Orang ini (Muhammad) benar-benar pesihir." (QS. Yunus : 2)

 

 

Reverensi

1.      Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.      At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

 

 

==============================

*💰Investasi Akhirat* : Pembangunan Kelas Pondok Tahfidz Zaid bin Tsabit -Bekasi. (Bank Syariah Mandiri (BSM). No Rek. : (451) 7112 5781 23 a.n. Ade Suhairi. #Konfirmasi Transfer (0813 8622 4142)

🌐 *Blog* : http://bit.ly/literasi-islam

📹 *Youtube* : http://bit.ly/misbahchannel

 

Jumat, 12 Februari 2021

PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN HADITS QUDSI

 

Oleh : Misbahudin

 

Salah satu bukti kasih sayang Allah kepada manusia, Ia menurunkan wahyu kepada manusia melalui perantara manusia pilihan   yaitu Rasul dan Nabinya, hal ini penting untuk menjadi sebuah “clue” atau jalan kehidupan (way of life) bagi manusia untuk menapaki hidup dan kehidupan dengan benar.

 

Wahyu mempunyai sebuah posisi tertinggi dalam mencapai sebuah puncak kebenaran hakiki,  karena datang dari Tuhan semesta alam yaitu Allah. Maka  tentunya Ia mengetahui secara global dan secara detail semua kehidupan yang diciptakannya, tidak terkecuali mengenai bagaimana seharusnya  manusia menjalani hidup secara personal, bertetangga, bermasyarat dan dimensi yang lebih besar dari itu.

 

Wahyu yang Allah turunkan kepada Nabinya dapat kita klasifikasikan  menjadi tiga macam, yaitu Al-Qur’an yang menjadi mukjizat Rasulullah yang abadi, hadits nabawi dan  hadits qudsi. Berbicara mengenai hadits qudsi kita bisa memahami  dengan pendekatan bahasa dan istilah.

 

Asal mula kata “qudsi” adalah sebuah nisbat atau penyandaran kepada Allah yang maha suci “al-Qudus”.  Hal ini sebuah nisbah yang menunjukan pengaguan dan penyucian, karena subtansi dari kalimat-kalimat yang terucap adalah datang dari Allah, Maka kata Qudsi atau Taqdiis  memiliki arti “ at-tathir”. Sebagaimana firman Allah  yang menggambarkan sebuah kebiasaan malaikat-malaikat-Nya.  Dalam surat Al-Baqarah ayat 30

 

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

 

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

 

 

Maka Kata “nuqoddisu” mempunyai makna “nuthohhiru” yaitu menyucikan.  Sedangkan hadits qudsi secara istilah adalah apa-apa yang Rasulullah sandarkan kepada Allah, atau Nabi menjadi sebagai rowi yang meriwayatkan apa yang Allah wahyukan kepadanya dengan menggunakan lafadz kalimat dari Nabi sendiri, sedangkan subtansi maknanya dari Allah.   Maka apabila salah seorang sahabat meriwayatkan dari Nabi dengan menyandarkannya kepada Allah dengan menggunkan kalimat.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا(1) وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
(
رواه البخاري (وكذلك مسلم والترمذي وابن ماجه

 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah , “Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatku, dan jika hambaku mengingatku dalam sendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku sendiri, dan jika dia mengingatku di dalam sebuah kelompok/jama’ah, (maka) Aku mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut, dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepadaku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika dia mendatangiku dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat’ ” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

 


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
رواه البخاري ومسلم

 

Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas r.anhumaa, dari Nabi , Sesungguhnya Alloh menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis satu keburukan saja. (HR. Bukhari dan Muslim).

 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي، وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ(1)، وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ، وَلَخُلُوفُ(2) فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ”.
 

 

Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi , beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Puasa itu untukku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah, daripada bau minya misk/kesturi’ ”. (HR. Bukhari).

 

Sebagaimana beberapa contoh hadits qudis dibawah ini, semua hadits tersebut memiliki perbedaan dengan hadits  Nabawi, yaitu dengan ciri khas ada kalimat  yang menyandakan sabda nabi tersebut kepada Allah.

 

Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits Qudsi

 

Mungkin jika kita baru mengenal istilah hadits qudsi akan sedikit mengerutkan dahi, mencoba merenungkan apa sieh perbedaan antara Al-Qur’an hadits qudsi dan hadits Nabawi.  Berikut perbedaan-perbedaan mendasar antara Al-Qur’an dan hadits Nabawi.

 

1.      Al-Qur’an  adalah firman Allah  yang diwahyukan kepada rasulullah  dengan makna sekaligus dengan lafadznya, sehingga dari susunan redaksi kalimat-kalimat Al-Qur’an memiliki sebuah keistimewaan  yang mengandung mukjizat. Maka Al-Qur’an dengan kemukjizatanya menantang para sastrawan arab untuk membuat  sesaatu yang bisa menandingi kemukjizatan Al-Qur’an.  Maka Al-Qur’an menjadi sebuah kemukjizatan abadi sampai hari akhir yang menantang semua manusia yang ragu dengan kebenaran Al-Qur’an untuk  mendatangkan sesuatu yang bisa menandingi Al-Qur’an.

 

 

 

2.      Al-Qur’an hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada Allah secara Mutlaq, sedangkan hadits qudsi dinisbatkan dengan cara dibuatkan oleh Nabi, dengan ciri khas menggunakan kalimat “Rasulullah bersabda dari apa yang diriwayatkan  tuhannya Aza wajala”. Atau “Rasulullah bersabda, telah berfirman Allah subhanahu wata’ala”. 

 

 

3.      Al-Qur’an secara keseluruhan  diriwayatkan dengan mutawatir (banyak jalan penyampaian) yang menjadikan Al-Qur’an dalam segi kekuatan argumentasi kebeneran menjadi kepastian yang Mutlaq ( Qathi tsubut), sedangkan hadits qudsi kebanyakan adalah khabar ahad (jalan periwayatan yang sedikit), maka hal ini menjadikan hadits qudsi dari segi kekuatan argumentasi dalil menjadi kepastiaan yang masih dugaan (dhonni tsubut). Kadang kala juga hadits qudsi  kedudukan shahih, terkadang hasan dan bahkan dho’if sebagai mana hadits Nabawi.

 

 

4.      Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah dengan subtansi makna dan susunan kalimat dari Allah secara utuh, sedangkan hadits qudsi diwahyukan hanya secara subtansi makna saja, sedangkan susunan kalimatnya dari sisi Rasulullah sendiri,  oleh karena itu para jumhur ahli hadits  membolehkan meriwayatkan hadits qudsi  hanya dengan makna saja.

 

 

5.      Al-Qur’an dianggap sebagai ibadah Ketika membacanya oleh karena itu dibaca di dalam shalat.

 

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ  

رواه البخاري (757) ، ومسلم (397(

 

“Jika kamu mendirikan shalat, maka bertakbirlah, lalu bacalah yang mudah bagimu dari Al Qur’an”. (HR. Bukhari: 757 dan Muslim: 397).

 

 

Membaca Al-Qur’an diberikan sebuah pahala ibadah yang benar-benar spesifik, sebagaimana sabda Rasulullah

 


عَن ابنِ مَسعُودٍ رَضيَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلَى اللٌهُ عَلَي وَسَلَمَ مَن قَرَأ حَرفًا مٍن كَتَابِ اللٌه فَلَه بِه حَسَنَةُ وَالحَسَنَةُ عَشُرُ اَمُثَالِهَا لآ اَقُولُ الم حَرفُ وَلكِنُ اَلِفُ وَلآمُ حَرفُ وَميمُ حــَرُفُ. (رواه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح غريب اسنادا والدارمى)




Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur'an), maka baginya satu hasanah (kebaikan) dan satu hasanah itu sama dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf." (HR at-Tirmidzi)

 

 

Sedangkan membaca hadits qudsi tidak mendapat pahala kebaikan secara spesifik sebagaimana hadits diatas,  oleh karena itu membaca hadits qudsi mendapatkan pahala hanya secara umum. Dan hadits qudsi tidak boleh dibaca dalam shalat menggantikan bacaan Al-Qur’an.