Oleh :
Misbahudin
Salah satu bukti kasih sayang Allah kepada manusia,
Ia menurunkan wahyu kepada manusia melalui perantara manusia pilihan yaitu Rasul dan Nabinya, hal ini penting
untuk menjadi sebuah “clue” atau jalan kehidupan (way of life) bagi
manusia untuk menapaki hidup dan kehidupan dengan benar.
Wahyu mempunyai sebuah posisi tertinggi dalam
mencapai sebuah puncak kebenaran hakiki, karena datang dari Tuhan semesta alam yaitu
Allah. Maka tentunya Ia mengetahui secara
global dan secara detail semua kehidupan yang diciptakannya, tidak terkecuali
mengenai bagaimana seharusnya manusia menjalani
hidup secara personal, bertetangga, bermasyarat dan dimensi yang lebih besar
dari itu.
Wahyu yang Allah turunkan kepada Nabinya dapat
kita klasifikasikan menjadi tiga macam,
yaitu Al-Qur’an yang menjadi mukjizat Rasulullah yang abadi, hadits nabawi dan hadits qudsi. Berbicara mengenai hadits qudsi
kita bisa memahami dengan pendekatan bahasa
dan istilah.
Asal mula kata “qudsi” adalah sebuah nisbat
atau penyandaran kepada Allah yang maha suci “al-Qudus”. Hal ini sebuah nisbah yang menunjukan pengaguan
dan penyucian, karena subtansi dari kalimat-kalimat yang terucap adalah datang
dari Allah, Maka kata Qudsi atau Taqdiis memiliki arti “ at-tathir”. Sebagaimana firman
Allah yang menggambarkan sebuah
kebiasaan malaikat-malaikat-Nya. Dalam surat
Al-Baqarah ayat 30
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى
الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ
قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata,
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di
sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia
berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Maka Kata “nuqoddisu” mempunyai makna “nuthohhiru”
yaitu menyucikan. Sedangkan hadits qudsi
secara istilah adalah apa-apa yang Rasulullah sandarkan kepada Allah, atau Nabi
menjadi sebagai rowi yang meriwayatkan apa yang Allah wahyukan kepadanya dengan
menggunakan lafadz kalimat dari Nabi sendiri, sedangkan subtansi maknanya dari
Allah. Maka apabila salah seorang sahabat
meriwayatkan dari Nabi dengan menyandarkannya kepada Allah dengan menggunkan
kalimat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا
عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي
نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي
مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا(1)
وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي، أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً”
(رواه البخاري (وكذلك مسلم والترمذي وابن ماجه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau
berkata, telah bersabda Rasulullah ﷺ, “Telah berfirman Allah
Subhanahu wa ta’ala, ‘Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepadaku, dan
Aku bersamanya ketika dia mengingatku, dan jika hambaku mengingatku dalam
sendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku sendiri, dan jika dia
mengingatku di dalam sebuah kelompok/jama’ah, (maka) Aku mengingatnya dalam
kelompok yang lebih baik dari kelompok tersebut, dan jika dia mendekat
kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat
kepadaku sehasta, Aku mendekat kepadanya satu depa, dan jika dia mendatangiku
dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat’ ” (HR. Imam Bukhari
dan Muslim).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ
وَجَلَّ، قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ
بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ
لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا،
كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ،
إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا،
كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا
فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً”
رواه البخاري ومسلم
Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas r.anhumaa, dari
Nabi ﷺ, Sesungguhnya Alloh menulis semua kebaikan
dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak
melakukannya, Alloh menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya.
Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis
pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya.
Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Alloh
menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia
berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Alloh menulis satu
keburukan saja. (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَن
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
” يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي، وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي، وَالصَّوْمُ
جُنَّةٌ(1)، وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ
حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ، وَلَخُلُوفُ(2) فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ
رِيحِ الْمِسْكِ”.
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a., dari
Nabi ﷺ, beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla
berfirman, ‘Puasa itu untukku, dan Aku yang akan memberikan ganjarannya,
disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-Ku,
dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan,
yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya,
dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah, daripada bau minya
misk/kesturi’ ”. (HR. Bukhari).
Sebagaimana beberapa contoh hadits qudis
dibawah ini, semua hadits tersebut memiliki perbedaan dengan hadits Nabawi, yaitu dengan ciri khas ada kalimat yang menyandakan sabda nabi tersebut kepada Allah.
Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits Qudsi
Mungkin jika kita baru mengenal istilah
hadits qudsi akan sedikit mengerutkan dahi, mencoba merenungkan apa sieh
perbedaan antara Al-Qur’an hadits qudsi dan hadits Nabawi. Berikut perbedaan-perbedaan mendasar antara
Al-Qur’an dan hadits Nabawi.
1. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada rasulullah dengan makna sekaligus dengan lafadznya, sehingga
dari susunan redaksi kalimat-kalimat Al-Qur’an memiliki sebuah
keistimewaan yang mengandung mukjizat. Maka
Al-Qur’an dengan kemukjizatanya menantang para sastrawan arab untuk membuat sesaatu yang bisa menandingi kemukjizatan
Al-Qur’an. Maka Al-Qur’an menjadi sebuah
kemukjizatan abadi sampai hari akhir yang menantang semua manusia yang ragu dengan
kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan
sesuatu yang bisa menandingi Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an
hanya dinisbatkan atau disandarkan kepada Allah secara Mutlaq, sedangkan hadits
qudsi dinisbatkan dengan cara dibuatkan oleh Nabi, dengan ciri khas menggunakan
kalimat “Rasulullah bersabda dari apa yang diriwayatkan tuhannya Aza wajala”. Atau “Rasulullah
bersabda, telah berfirman Allah subhanahu wata’ala”.
3. Al-Qur’an
secara keseluruhan diriwayatkan dengan mutawatir
(banyak jalan penyampaian) yang menjadikan Al-Qur’an dalam segi kekuatan
argumentasi kebeneran menjadi kepastian yang Mutlaq ( Qathi tsubut), sedangkan
hadits qudsi kebanyakan adalah khabar ahad (jalan periwayatan yang sedikit),
maka hal ini menjadikan hadits qudsi dari segi kekuatan argumentasi dalil
menjadi kepastiaan yang masih dugaan (dhonni tsubut). Kadang kala juga hadits
qudsi kedudukan shahih, terkadang hasan
dan bahkan dho’if sebagai mana hadits Nabawi.
4. Al-Qur’an
diwahyukan kepada Rasulullah dengan subtansi makna dan susunan kalimat dari
Allah secara utuh, sedangkan hadits qudsi diwahyukan hanya secara subtansi makna
saja, sedangkan susunan kalimatnya dari sisi Rasulullah sendiri, oleh karena itu para jumhur ahli hadits membolehkan meriwayatkan hadits qudsi hanya dengan makna saja.
5. Al-Qur’an
dianggap sebagai ibadah Ketika membacanya oleh karena itu dibaca di dalam
shalat.
إِذَا قُمْتَ إِلَى
الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ
رواه البخاري (757) ، ومسلم
(397(
“Jika kamu mendirikan shalat, maka bertakbirlah, lalu bacalah yang
mudah bagimu dari Al Qur’an”. (HR. Bukhari: 757 dan Muslim: 397).
Membaca Al-Qur’an diberikan sebuah pahala ibadah yang benar-benar
spesifik, sebagaimana sabda Rasulullah
عَن ابنِ مَسعُودٍ رَضيَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ:قَالَ رَسُولُ
اللٌهِ صَلَى اللٌهُ عَلَي وَسَلَمَ مَن قَرَأ حَرفًا مٍن كَتَابِ اللٌه فَلَه بِه
حَسَنَةُ وَالحَسَنَةُ عَشُرُ اَمُثَالِهَا لآ اَقُولُ الم حَرفُ وَلكِنُ اَلِفُ
وَلآمُ حَرفُ وَميمُ حــَرُفُ. (رواه الترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح غريب اسنادا والدارمى)
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah صلى
الله عليه وسلم bersabda, "Barangsiapa membaca satu
huruf dari Kitab Allah (Al-Qur'an), maka
baginya satu hasanah (kebaikan) dan satu hasanah itu sama dengan sepuluh kali
lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, tetapi Alif satu
huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf." (HR at-Tirmidzi)
Sedangkan membaca hadits qudsi tidak mendapat pahala kebaikan
secara spesifik sebagaimana hadits diatas,
oleh karena itu membaca hadits qudsi mendapatkan pahala hanya secara umum.
Dan hadits qudsi tidak boleh dibaca dalam shalat menggantikan bacaan Al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar