Rabu, 03 Februari 2021

AKAR KATA AL-QUR’AN

 

Menelusuri akar kata Al-Qur’ab terdapat dua pendapat, ada yang mengakatakn bahwa Al-Qur’an adalah isim yang mustaq, sebuah kata yang mempunyai akar katanya. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kata jadian yang tidak memiliki  akar katanya.

 

*Al-Qur’an berakar kata dari kata Qara’a*

 

Pendapat ini mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata _Qara’a-yaqrau-Qur’anan wa Qiraatan_. Qara’a memiliki arti  mengumpulan  _(aljam’u)_ dan menghimpun _(adz-dzamu)_.  Maka kata   Al-Qur’an dan Qiraah  memiliki arti penghimpunan huruf, kata dan kalimat satu yang tersusun rapih  dalam sebuah rangkaikan kalimat  tersusun rapih.  

 

Pendapat ini berlandaskan firman Allah.

 

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)

 

_Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya, Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu._  (QS. Al-Qiyamah : 17-18)

 

Dalam ayat diatas terdapat  kata “Qur’anah”,   maksdunya adalah _Qiraatuhu_ (bacaannya).   Oleh karena itu dapat disimpulkan Al-Qur’an adalah isim Masdar dengan wazan _(fu’lanun)_. Sama dengan isim Masdar dari kata _(ghafara)_ yaitu _”Ghufranun”_, dan kata syakara menjadi _“syukranun”_.

 

Selanjutnya,  kata “Al-Qur’an” dikhususkan  kepada kitab  yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, hal ini sudah masyhur di kalangan masyarata dari generasi ke generasi. Dan juga kata Al-Qur’an juga dipakai sebagai manifestasi  dari lafadz-lafadz  dan ayat-ayat secara keseluruhan di dalam Al-Qur’an.  Maka ketika  kita membaca sebagian ayat Al-Qur’an.  maka  dibolehkan menyebut ayat tersebut dengan Al-Qur’an. “dia sedang  membaca Al-Qur’an).

 

*Al-Qur’an Sebagai Kata Jamid (Asli)*

 

Pendapat yang kedua, Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalimat _jamid_ (kata yang berdiri sendiri) tidak memiliki arta kata.  sebagaimaka kata­ _ “hajarun”_ (batu) itu adalah kata yang jamid (asli) tidak ada akar katanya. Sudah baku menjadi kalimat jadi.

 

Ada pendapat juga yang mengatakan bahwa Al-Qur’an pada asalnya tidak berhamjah “quran”  karena dianggap berakar kata dari _“qarana”_, _Qarana syain bisyain_ yaitu menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.  Dan ada yang mengatakan Al-Qur’an itu berakar kata dari _“Qara’in”_ ( saling berpasangan), mereka beralasan ayat Al-Qur’an, satu dengan yang lainnya  saling menyerupai .

Pendapat kedua, ketiga  ini adalah pendapat yang lemah _(marjuh)_ sedangkan pendapat pertama yang mengatakan bahwa Al-Qur’an berasal dari kata _“Qara’a-yaqrau-Qur’anan wa qiraatan”_ adalah pendapat yang paling kuat _(Ar-Rajih)_.

 

*Pengertian Al-Qur’an Yang Mu’tabar*

 

Jika melihat pengertian Al-Qur’an secara istilah, maka kita dapati pendapat ‘Ulama yang  mecoba mendefiniskan Al-Qur’an  agar mencapai hakikat Al-Qur’an itu sendiri dan membedakannya   dengan kitab yang lainnya.  Diantaranya adalah Dr. Manna’ Al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum Al-Quran, beliau memberikan definisi bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah (perkataan allah) yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dimana membacanya menjadi ritual ibadah.

 

كلام الله المنزل على محمد ص  المتعبد بتلاوته

 

 

Berbicara masalah Al-Kalam, maka  cakupannya begitu luas baik Al-Qur’an atau pun kitab-kitab sebelum Al-Qur’an seperti Taurat, Zabur, Injil atau bahkan kalam Allah secara luas yang mencakup ilmu_Nya yang begitu luas tidak terhingga dan tidak terukur.

 

 

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا (109) قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)

 

“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi : 109--110.

 

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (26) وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (27)

“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah (Ilmu-Nya dan Hikmat-Nya) . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Luqman : 26-27)

 

Maka Al-Kalam dalam kontek Al-Qur’an mempunyai arti sesuatu yang mencakup semua perkataan, dan kalam ini disandarkan kepada Allah, maka secara otomatis kalam ini mengecualikan  dari  kalam atau perkataan manusia dan jin dan malaikat. 

 

 

Dan kata “munazalun” (diturunkan)  mengecualikan kalam Allah  yang khusus untuk dirinya sendiri  selain kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.  Karena kalam Allah mencakup ilmu yang begitu luas, akala manusia secerdas apapun  tidak akan mampu untuk mencapai dan mengkonsepsinya ilmu Allah yang begitu luas, hal ini tergambar dalam firman Allah

 

 

Sedangkan kalimat selanjutnya, pembataskan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, hal ini mengecualikan kalam Allah yang diturunkan kepada  nabi dan rasul sebelumnya, yaitu taurat, injil, jabur dan lain sebagainya.

 

 

Dianggap ibadah membacanya, “muta’abbadun bitilawatihi”  mengecualikan  dari pembacaan-pemcaan hadits Nabawi dan hadist qudsi. Karena Al-Qur’an Allah turunkan dengan ma’na dan redaksi lafadznya. Dianggap ibadah  Ketika membacanya  mengandung makna  perintah untuk membacanya di dalam shalat dan selain di dalam shalat dianggap sebagai ibadah.

By : Misbahudin

==============================

🌐 Blog : http://bit.ly/literasi-islam

📹 Youtube : http://bit.ly/misbahchannel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar