Sabtu, 27 Maret 2021

MANHAJ KEILMUAN UNTUK MENGETAHUI AYAT MAKIYAH DAN MADANIYAH

 

*MANHAJ KEILMUAN UNTUK MENGETAHUI AYAT MAKIYAH DAN MADANIYAH*

_Menyelami Ayat-Ayat Makiah Dan Madaniyah (6)_

Oleh : Misbahudin

 

 

 

Para ‘ulama menggunakan dua world view dalam memahami dan mengekplorasi ilmu makiyah dan ilmu madaniyah,  yang *pertama* adalah dengan pendekatan periwayatan _(al-manhaj as-sima’i  an-naql)_ dan yang *kedua* adalah pendekatan rumusan logika ijtihad _(Al-Manhaj Al-Qiyasi Al-Ijtihadi)_.

 

*Pertama, Pendekatan Periwayatan (Al-Manhaj As-Sima’i  An-Naql)*

 

Metodologi pendekatan ini adalah menyandarkan  kepada periwayatan yang shahih dari para saksi sejarah secara langsung yaitu para sahabat _Radhiyallahu ‘anhum_ dan para tabi’in yang mereka belajar secara _talaqi_ (face to face) kepada para sahabat mengenai ilmu periwayatan makiyah dan madaniyah tersebut, hal ini memberikan sebuah  gambaran kepada mereka bagaimana wahyu turun, dimana tempat kejadian  dan segala peristiwa dan phenomena yang mengitarinya.  Dan hal ini, tidak dapat di pungkiri, kebanyakan penentuan ayat makiyah dan madaniyah adalah dengan cara periwayatan seperti ini.

 

Periwayatan mengenai ilmu makiyah dan madaniyah ini memenuhi kitab-kitab  tafsir, kitab-kitab tentang _asbabun nujul_,  pembahasan ‘ulumul qur’an dan ilmu ini tidak datang langsung datang dari Rasulullah secara konseptual, melainkan secara langsung dari kesaksian-kesaksian para pelaku sejarah di Masanya, yaitu Para Sahabat Rasulullah, mereka memberikan sebuah informasi mengenai khabar tentang suatu ayat atau surat di turunkan, apakah termasuk ayat makiyah dan madaniyah.

 

Estapeta geliat ini lahir secara berkelanjutan, Ilmu ini lahir dan terus berkembang secara sistematis dari kecintaan ulama kepada warisan Rasulullah yaitu Al-Qur’an sehingga menumbuhkan sebuah kesungguhan untuk mengekplorasi ayat-demi ayat untuk diklasifikasikan sesuai dengan tempat dan waktu diturunkannya.

 

Maka ilmu ini tidak wajib untuk dipelajari secara umum untuk umat Islam, kecuali Sebagian kecil dari Umat Islam, yaitu para ‘ulama agar bisa menentukan sebuah hukum dengan cara melihat dalil-dalil Al-Qur’an dalam perfektif sejarah,  sehingga terkonseplah mana ayat-ayat yang nasikh dan mana ayat-ayat yang mansukh, Al-Qadi Abu Bakar bin Muhammad bin tibi Al-Baqilani dalam kitab “Al-Intishar” mengatakan, “Sesungguhnya yang menjadi acuan dalam mengenal  ayat makiyah dan madaniyah adalah dari pengalam secara langsung dari  para sahabat, dan ilmu ini tidak langsung datang dari Nabi karena Rasulullah tidak diperintah untuk  hal tersebut, dan Allah tidak menjadikan hal ini, sebagai sebuah kewajiban bagi umat Islam secara umum,  tetapi diwajibkan untuk segelintir dari mereka, yaitu ‘Alim ‘ulama  untuk mengetahui ayat yang nasikh dan ayat yang Mansukh, dan ayat-ayat tentang teori nashih dan mashukh tidak datang secara nash dari Rasulullah”.

 

*Kedua*, Adalah Pendekatan Rumusan Logika Ijtihad _(Al-Manhaj Al-Qiyasi Al-Ijtihadi)_.

 

Metodologi ini  disandarkan kepada teori-teori umum dari ciri khas ayat-ayat makiyah atau madaniyah, kemudian dijadikan sebuah standar baku untuk mengklasifikasikan ayat demi ayat dalam Al-Qur’an, Maka jika didapati dalam sebuah surat makiyah dan didalamnya ada ayat  yang mempunyai karakteristik  ayat yang turun di Madinah, atau mengandung sebuah kejadian dan peristiwa madaniyah, mereka berpendapat, ayat tersebut adalah ayat madaniyah dilihat dari tipikal dan karakteristik keunikannya.

 

Begitupun sebaliknya, jika dalam sebuah surat di madaniyah dan di dalamnya ada ayat yang mempunyai tipikal dan karakteristik ayat makiyah atau ada sebuah pragment penggalan cerita dan kejadian yang bersifat makiyah, maka, menurut mereka, ayat ini adalah ayat makiyah.

 

Maka hal inilah yang dimaksud metedologi Qiyas ijtihadi, oleh karena itu, mereka memberikan sebuah contoh, setiap surat yang di dalamya ada cerita-cerita para nabi, Rasul  dan umat-umat terdahulu maka surat ini adalah surat makiyah. Dan jika dalam sebuah surat di dalamnya ada sebuah perintah-peritah yang bersifat wajib atau ada hukum Had  seperti Had bagi penzina, Had Qadhaf, Had sariqah, had minum khamar dan lain-lain,  maka surat ini adalah surat madaniyah.

 

Al-Ja’barie berkata, “Untuk mengetahui ayat-ayat makiyah dan madaniyah adalah dengan melakukan dua pendekatan metodologis, yaitu Simaa’I dan qiyasi, dan tidak diragukan, sesungguhnya pendekatan metodologi  sima’I  bersandarkan kepada periwayatan. Sedangkan qiyasi menyandarkan metodologinya  kepada hukum kausalitas. Maka pendekatan Riwayat atau logika kausalitas keduanya adalah metodoli yang diterapkan untuk mengklasifikasikan  ayat makiyah atau madaniyah dengan valid (salimah) dan penelitian ilmiah (tahqiq).

 

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 

 

 

Rabu, 24 Maret 2021

MENYELAMI AYAT-AYAT MAKIAH DAN MADANIYAH (5)

*MENYELAMI AYAT-AYAT MAKIAH DAN MADANIYAH (5)*

Oleh : Misbahudin

 

 

*Klasifikasi Ayat Yang Turun Pada Siang Dan Malam*

 

Secara realitasnya, kebanyakan surat Al-Qur’an turun pada siang hari, sedangkan surat atau ayat yang turun di malam hari tidak sebanyak yang turun pada siang hari, Al-Qasim Al-Hasan Ibnu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin habib An-Naesaburi telah melakukan penelitian  dan mendapatkan beberapa contoh ayat yang turun pada malam hari, seperti ayat pada akhir surat Ali-Imran 190 sampai akhir surat,  sebagaimana terhgambar jelas dalam hadits  yang datang dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu

 

أتاني في ليلتي التي يكون فيها عندي، فاضطجع بجنبي حتى مس جلدي جلده، ثم قال: ياعائشة ألا تأذنين لي أن أتعبد ربي عز وجل؟ فقلت: يارسول الله: والله إني لأحب قربك وأحب هواك- أي أحب ألاّ تفارقني وأحب مايسرك مما تهواه-قالت: فقام إلى قربة من ماء في البيت فتوضأ ولم يكثر صب الماء، ثم قام يصلي ويتهجد فبكى في صلاته حتى بل لحيته، ثم سجد فبكى حتى بلّ الأرض، ثم اضطجع على جنبه فبكى، حتى إذا أتى بلال يؤذنه بصلاة الفجر، رآه يبكي فقال يارسول الله: مايبكيك وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر؟ فقال له: ويحك يا بلال، وما يمنعني أن أبكي وقد أنزل الله عليّ في هذه الليلة هذه الآيات : (إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب ….) فقرأها إلى آخر السورة ثم قال: ويل ,لمن قرأها ولم يتفكر فيها

 

“Dalam lembaran malam nan sunyi, malam merangkul kami berdua dalam cinta, Maka Rasulullah  berbaring disampingku begitu dekat, sehingga kulitnya bersentuhan dengan kulitku, kemudian beliau berkata dengan lembut, “Wahai ‘Aisyah apakah dirimu tidak merelakan hatimu Ketika kau hendak beribadah kepada Rab semesta alam nan agung?, Aku  pun berakata lirih, Ya Rasulullah demi Allah, sungguh diri ini begitu amat merindukan kedekatan yang senantiasa mesra dengan mu, dan aku juga mengharapkan kemudahan atas apa yang engkau inginkan. Maka ‘Aisyah pun berkata, “Maka Rasulullah pun berdiri dan mengambil air di rumah, lalu beliau pun berwudhu dengan tidak  tidak menghambur-hamburkan air, Kemudian Rasulullah berdiri untuk shalat tahajud, air mata pun tidak tertahankan meleleh begitu saja di tengah-tengah kehususan yang begitu dalam di tengah shalatmya, sehingga lelehan air mata Rasulullah pun membasai janggutnya, kemudian Rasulullah pun bersujud, dan air matanya pun tetap bercucuran tidak terbendungkan sehingga deraian air matanya pun membasahi bumi. Selesai Salat Tahajud, Rasulullah pun berbaring ke samping kananya, dan air matanya pun tetap bercucuran tidak terbendung, sehingga datanlah Bilal untuk memberitahukan bahwa waktu shalat bubuh telah datang menyapa, dan bilal melihat Rasulullah tetap masih dalam keadaan menangis.

 

Sehingga timbulah rasa heran dalam hati bilal, sehingga terlontar sebuah pertanyaan kepada Baginda Rasulullah, “Wahai kekasih Allah, apa gerangan yang membuat hati mu bersedih dan air mata mu terus bercucuran tiada terbendung, padahal kekasih mu sudah mengampuni segala dosa dan kekhilapan di masa silam atau bahkan di masa yang akan datang?,  Maka Rasulullah pun berkata kepada Bilia, “ Hai Bilal, Camkan baik-baik!, Sungguh apa yang bisa  mencegahku untuk menangis, sedangkan Allah telah menurukannku pada mala ini sebuah ayat yang membuat jiwa ku bergetar, “Sungguh dalam penciptaan langit dan  berputan singan dalam malam disana  terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berfikir” (Al-Imran : 19). Maka sungguh celakah bagi orang yang membaca ayat ini, tetapi tidak metakuri kandungan begitu dalam di ayat tersebut.  (HR. Ibnu Hiban).

 

Contoh yang adalah ayat yang menceritakan tiga orang  yang tidak ikut serta dalam peperangan, lalu mereka bertaubat, Maka turunlah surat At-Taubah ayat 94, sebagaimana hadits dari ka’ab.

 

  سَمِعْتُ أبِي كَعْبَ بنَ مَالِكٍ - وهو أحَدُ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عليهم، أنَّه لَمْ يَتَخَلَّفْ عن رَسولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في غَزْوَةٍ غَزَاهَا قَطُّ، غيرَ غَزْوَتَيْنِ غَزْوَةِ العُسْرَةِ، وغَزْوَةِ بَدْرٍ - قالَ: فأجْمَعْتُ صِدْقِي رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ضُحًى، وكانَ قَلَّما يَقْدَمُ مِن سَفَرٍ سَافَرَهُ إلَّا ضُحًى، وكانَ يَبْدَأُ بالمَسْجِدِ فَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ، ونَهَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن كَلَامِي، وكَلَامِ صَاحِبَيَّ، ولَمْ يَنْهَ عن كَلَامِ أحَدٍ مِنَ المُتَخَلِّفِينَ غيرِنَا، فَاجْتَنَبَ النَّاسُ كَلَامَنَا، فَلَبِثْتُ كَذلكَ حتَّى طَالَ عَلَيَّ الأمْرُ، وما مِن شيءٍ أهَمُّ إلَيَّ مِن أنْ أمُوتَ فلا يُصَلِّي عَلَيَّ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أوْ يَمُوتَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فأكُونَ مِنَ النَّاسِ بتِلْكَ المَنْزِلَةِ فلا يُكَلِّمُنِي أحَدٌ منهمْ، ولَا يُصَلِّي ولَا يُسَلِّمُ عَلَيَّ فأنْزَلَ اللَّهُ تَوْبَتَنَا علَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، حِينَ بَقِيَ الثُّلُثُ الآخِرُ مِنَ اللَّيْلِ، ورَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عِنْدَ أُمِّ سَلَمَةَ، وكَانَتْ أُمُّ سَلَمَةَ مُحْسِنَةً في شَأْنِي مَعْنِيَّةً في أمْرِي، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا أُمَّ سَلَمَةَ تِيبَ علَى كَعْبٍ قالَتْ: أفلا أُرْسِلُ إلَيْهِ فَأُبَشِّرَهُ؟ قالَ: إذًا يَحْطِمَكُمُ النَّاسُ فَيَمْنَعُونَكُمُ النَّوْمَ سَائِرَ اللَّيْلَةِ حتَّى إذَا صَلَّى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ صَلَاةَ الفَجْرِ آذَنَ بتَوْبَةِ اللَّهِ عَلَيْنَا، وكانَ إذَا اسْتَبْشَرَ اسْتَنَارَ وجْهُهُ، حتَّى كَأنَّهُ قِطْعَةٌ مِنَ القَمَرِ، وكُنَّا أيُّها الثَّلَاثَةُ الَّذِينَ خُلِّفُوا عَنِ الأمْرِ الذي قُبِلَ مِن هَؤُلَاءِ الَّذِينَ اعْتَذَرُوا، حِينَ أنْزَلَ اللَّهُ لَنَا التَّوْبَةَ، فَلَمَّا ذُكِرَ الَّذِينَ كَذَبُوا رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مِنَ المُتَخَلِّفِينَ واعْتَذَرُوا بالبَاطِلِ، ذُكِرُوا بشَرِّ ما ذُكِرَ به أحَدٌ، قالَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ: {يَعْتَذِرُونَ إلَيْكُمْ إذَا رَجَعْتُمْ إليهِم، قُلْ: لا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِن أخْبَارِكُمْ، وسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ ورَسولُهُ} الآيَةَ.

 

 

Dari Ka'ab bin Malik -ia adalah salah satu dari tiga orang yang diterima taubatnya- bahwa dia tidak pernah tertinggal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam peperangan yang beliau ikuti selain dua peperangan yaitu perang 'Usrah dan perang Badar. Dia berkata; Maka aku pun berusaha untuk mengungkapkan kejujuranku kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diwaktu dluha. Karena sudah menjadi tradisi beliau apabila datang dari suatu perjalanan beliau selalu shalat dluha. Beliau selalu ke masjid terlebih dahulu kemudian shalat dua raka'at. Beliau melarangku dan kedua sahabatku untuk berbicara. Padahal beliau tidak melarang orang yang tertinggal selainku. Hingga orang-orang pun menjauhi untuk berbicara kepada kami. Hal itu terjadi begitu lama. Dan tidaklah yang membuatku cemas kecuali rasa takutku apabila aku mati sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mau menshalatiku. Atau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang meninggal dunia, hingga aku termasuk orang yang buruk keadaannya, tidak seorang pun yang mau berbicara denganku, dan tidak mau menshalati serta mengucapkan salam kepadaku. Kemudian Allah menurunkan ayat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada sepertiga malam terakhir yang memberitakan taubat kami. Pada waktu itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di sisi Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah orang yang senantiasa menyebut kebaikan-kebaikan urusanku dan membelaku. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Ya Ummu Salamah, Ka'ab telah diterima taubatnya.' Ummu Salamah berkata; Apakah aku harus mengutus seseorang kepadanya untuk memberikan kabar gembira? Beliau bersabda: Jangan, nanti orang-orang akan memukuli kamu dan menahan kamu dari tidur di malam hari. Hingga tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat Subuh beliau mengumumkan bahwa Allah telah menerima taubat kami. Dan beliau apabila sedang memberi kabar gembira, wajah beliau kelihatan bersinar seperti bersinarnya sebagian bulan. Dan kamilah yang dimaksudkan ayat, tiga orang yang menyelisihi perintah, yang kemudian diterima alasannya dari orang-orang yang meminta izin untuk tidak berperang. Yaitu ketika Allah menurunkan penerimaan taubat kami. Padahal dulu tatkala disebutkan orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu orang-orang yang tidak ikut berperang dan beralasan dengan alasan yang batil. Mereka dikatakan sebagai sejelek-jelek manusia. Allah Ta'ala berfirman: Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan 'uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: "Janganlah kamu mengemukakan 'uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya. Dan Allah serta Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu…. (At Taubah: 94).

 

Contoh ketiga adalah awal surat Al-Fath, sebagaimana digambarkan dalam hadits Umar Bin Khattab.

 

 أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ يَسِيرُ في بَعْضِ أسْفَارِهِ، وعُمَرُ بنُ الخَطَّابِ يَسِيرُ معهُ لَيْلًا، فَسَأَلَهُ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ عن شيءٍ فَلَمْ يُجِبْهُ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، ثُمَّ سَأَلَهُ فَلَمْ يُجِبْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ فَلَمْ يُجِبْهُ، وقَالَ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يا عُمَرُ، نَزَرْتَ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ كُلُّ ذلكَ لا يُجِيبُكَ، قَالَ عُمَرُ: فَحَرَّكْتُ بَعِيرِي ثُمَّ تَقَدَّمْتُ أمَامَ المُسْلِمِينَ، وخَشِيتُ أنْ يَنْزِلَ فِيَّ قُرْآنٌ، فَما نَشِبْتُ أنْ سَمِعْتُ صَارِخًا يَصْرُخُ بي، قَالَ: فَقُلتُ: لقَدْ خَشِيتُ أنْ يَكونَ نَزَلَ فِيَّ قُرْآنٌ، وجِئْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَسَلَّمْتُ عليه، فَقَالَ: لقَدْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ سُورَةٌ، لَهي أحَبُّ إلَيَّ ممَّا طَلَعَتْ عليه الشَّمْسُ ثُمَّ قَرَأَ: {إنَّا فَتَحْنَا لكَ فَتْحًا مُبِينًا} [الفتح: 1]

 

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari Bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi dalam salah satu perjalanannya. Dan Umar bin Khattab bersama beliau pada malam hari itu. Umar bertanya kepada beliau tentang suatu hal, namun beliau tidak menjawabnya. Dia bertanya lagi, namun beliau tetap tidak menjawab. Dia bertanya lagi, namun beliau tetap tidak menjawab. ' Umar berkata; "Huss kamu, 'Umar. Kamu telah memaksa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali namun semuanya itu tidak ada yang dijawabnya.' 'Umar berkata; "Saya gerakkan untaku, dan aku maju ke hadapan orang-orang, saya khawatir jika turun padaku Al qur'an. tidak berapa lama, saya mendengar orang yang berteriak ke arahku." ('Umar radliallahu 'anhu) berkata; "Saya berkata; "Saya khawatir jika ada ayat yang turun kepadaku, " 'Umar radliallahu 'anhu berkata; "Maka saya mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saya mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda: 'Telah turun padaku tadi malam satu surat, yang lebih saya cintai daripada matahari terbit'. Beliau membaca: 'INNAA FATAHNA LAKA FATHAN MUBINAA'." (QS. Alfath). (HR. Bukhari-4456)

 

*Ayat Al-Qur’an Yang Turun Pada Musim Panas Dan Musim Dingin*

 

‘Ulama memberikan contoh ayat yang turun Ketika musim panas yaitu ayat tentang kalalah  yang terdapat dalam akhir surat An-Nisa, sebagaimana tergambarkan dalam hadits dari sahabat Umar bin Khattab.

 

عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَطَبَ يَوْمَ جُمُعَةٍ فَذَكَرَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَكَرَ أَبَا بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ إِنِّي لَا أَدَعُ بَعْدِي شَيْئًا أَهَمَّ عِنْدِي مِنْ الْكَلَالَةِ مَا رَاجَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَيْءٍ مَا رَاجَعْتُهُ فِي الْكَلَالَةِ وَمَا أَغْلَظَ لِي فِي شَيْءٍ مَا أَغْلَظَ لِي فِيهِ حَتَّى طَعَنَ بِإِصْبَعِهِ فِي صَدْرِي وَقَالَ يَا عُمَرُ أَلَا تَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ وَإِنِّي إِنْ أَعِشْ أَقْضِ فِيهَا بِقَضِيَّةٍ يَقْضِي بِهَا مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَمَنْ لَا يَقْرَأُ الْقُرْآن

 

Dari Ma'dan bin Abu Thalhah, bahwa Umar bin Khaththab RA berkhutbah pada hari Jum'at. Dalam khutbahnya tersebut ia menyebut Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar RA seraya berkata, "Sesungguhnya saya tidak akan meninggalkan apa pun yang menurut saya lebih penting daripada kalalah. Saya tidak pernah mengulang-ulang konsultasi kepada Rasulullah tentang sesuatu yang melebihi konsultasi saya kepadanya tentang kalalah. Selain itu, beliau SAW juga tidak pernah bersikap keras dalam suatu hal melebihi sikap kerasnya kepadaku dalam perihal kalalah, sampai-sampai beliau menekankan jarinya ke dada saya sambil berkata, 'Hai Umar, belum cukupkah bagimu ayat shaif yang terdapat pada akhir surah An-Nisa'! Sesungguhnya jika aku masih hidup, maka aku akan menetapkan masalah kalalah dengan suatu ketetapan yang diputuskan oleh orang yang membaca Al Qur'an dan orang yang tidak membaca Al Qur'an. " {Muslim: 5/61}

 

Contoh kedua, mengenai ayat yang turun ketika musim panas ketika perang tabuk, yang digambar secara langsung dalam ayat Al-Qur’an itu sendiri.

 

فَرِحَ الْمُخَلَّفُوْنَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلٰفَ رَسُوْلِ اللّٰهِ وَكَرِهُوْٓا اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَقَالُوْا لَا تَنْفِرُوْا فِى الْحَرِّۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ اَشَدُّ حَرًّاۗ لَوْ كَانُوْا يَفْقَهُوْنَ

 

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah (Muhammad), “Api neraka Jahanam lebih panas,” jika mereka mengetahui. (QS. At-Taubah:81)

 

Contoh ketiga, ayat yang turun ketika musim dingin, yaitu tentang peristiwa tentang pembersihan tuduhan yang keji kepada ‘Aisyah dalam surat An-Nur ayat 11-26

 

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

 

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. Nur : 11)

 

Contoh keempat, yaitu surat al-ahzab ayat 9 yang turun ketika perang khandak, ketika suhu udara begitu dingin.

 

 ففي حديث حذيفة تفرق الناس عن رسول الله ليلة الأحزاب إلا اثني عشر رجلا فأتاني رسول الله فقال قم فانطلق إلى عسكر الأحزاب قلت يا رسول الله والذي بعثك بالحق ما قمت لك إلا حياء من البرد . . . الحديث وفيه فأنزل اللهيٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اذۡكُرُوۡا نِعۡمَةَ اللّٰهِ عَلَيۡكُمۡ اِذۡ جَآءَتۡكُمۡ جُنُوۡدٌ فَاَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمۡ رِيۡحًا وَّجُنُوۡدًا لَّمۡ تَرَوۡهَا‌ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ بَصِيۡرًا . أخرجه البيهقي في الدلائل

 

Dalam hadits Hudhayfah, orang-orang telah berpisah dari Rasulullah pada malam perang Al-Ahzab, kecuali dua belas orang, Maka Rasulullah datang kepadaku, seraya berakata, “Bangunlah, lalu pergilah  ke medan laga Al-Ahzab. Hadits dan di dalamnya, Allah menurunkan ayat. Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (HR. Baihaqi)

 

*Ayat Al-Qur’an Yang Turun Pada Waktu Menetap Dan Ketika  Safar*

 

Kebanyakan surat dalam Al-Qur’an turun ketika Rasulullah sedang menetap, tetapi karena kehidupan beliau penuh dengan perjuang dan dakwah, terkadang ayat Al-Qur’an turun ketika dalam perjalan, Imam As-Suyuti mengungkapkan beberapa ayat Al-Qur’an yang turun ketika dalam perjalan. Diantaranya adalah awal surat Al-Anfal yang turun ketika peperangan Badar selesai, sebagaimana yang hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari sahabat Sa’ad bin abi waqas.

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْاَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙفَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ

 

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih. (QS. At-Taubah : 34)

 

Contoh kedua, awal surat Al-Haj, berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi  dan Hakim  dari sahabat ‘Imran Bin Hushain.  Bahwa ketika nabi Safar turunlah surat Al-Haj ayat 1 sampai 2.

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ-يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

 

"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (goncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras". (QS. Al-Haj : 1-2)

 

Contoh ketiga, surat Al-Fath berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Hakim dan yang lainnya, dari Miswar ibnu makhromah  dan marwan ibnu Hakam, mereka berkata, “surat Al-Fath  turun ketika Rasulullah dalam perjalan  antar Mekah dan Madinah mengenai soal perjanjian hudaibiyyah  dari awal sampai ayat terakhir”.

 

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 


Senin, 22 Maret 2021

MENYELAMI AYAT-AYAT MAKIAH DAN MADANIYAH (4)

 

*MENYELAMI AYAT-AYAT MAKIAH DAN MADANIYAH (4)*

Oleh : Misbahudin

 

*Ayat-Ayat Madaniyah Yang Menyerupai Ayat Makiyah*

 

Para ‘ulama memberikan sebuah penjelasan bahwa yang di maksud dengan ayat madaniyah tetapi menyerupai ayat makiyah adalah di lihat dari perfektif  uslub gaya bahasanya, keunikan dan karakteristik secara umum mirip surat makiyah. Contohnya adalah firman Allah dalam surat Al-Anfal, turun di Madinah. Tetapi terdapat ayat di dalamnya yang memiliki ciri-ciri umum ayat makiyah yaitu ayat 32. 

 

وَاِذْ قَالُوا اللهم اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

 

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Al-Qur'an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.”

 

Ciri khas dari karakteristik tipikal ayat-ayat makiyah adalah  kaum musyrikin meminta disegerakan di datangkan adzab bagi mereka.  Oleh karena itu ayat ini dimasukan kedalam contoh dari pembasan ayat madaniyah yang menyerupai ayat makiyah.  


Ayat-Ayat Makiyah Yang Menyerupai Ayat Madaniyah

 

Maksud dari ayat makiyah yang menyerupai ayat madaniyah adalah kebalikan dari yang diatas, yaitu ayat makiyah tetapi secara corak karakteristik mirip tipikal ayat madaniyah, para ‘ulama memberikan sebuah contoh dalam surat An-Najm ayat 32.

 

اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى

 

Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.

 

Imam As-suyuti berkata, “Sesungguhnya perbuatan keji setiap dosa yang padanya ada hukum had (sanksi), dan dosa besar adalah adalah setiap dosa  yang berakibat  neraka, dan dosa kecil adalah antara dua batas dosa-dosa diatas, dan tidak ada di mekah itu,  hukum had yang diberlakukan atau yang serupa dengannya” (Al-Itqan:1/18).

 

 

Ayat Makiyah Yang Dibawa Ke Madinah

 

Para ulama memberikan sebuah contoh untuk ayat makiyah yang di bawa ke Madinah adalah surat  surat al-a’la ayat satu,


سَبِّحِ اسۡمَ رَبِّكَ الۡاَعۡلَىۙ‏

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi,

 

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Al-Bara ibnu ‘azibi

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْنَا مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَكَانَا يُقْرِئَانِ النَّاسَ فَقَدِمَ بِلَالٌ وَسَعْدٌ وَعَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ ثُمَّ قَدِمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي عِشْرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْتُ أَهْلَ الْمَدِينَةِ فَرِحُوا بِشَيْءٍ فَرَحَهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَعَلَ الْإِمَاءُ يَقُلْنَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا قَدِمَ حَتَّى قَرَأْتُ سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى فِي سُوَرٍ مِنْ الْمُفَصَّلِ

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Ishaq ia berkata; aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhu berkata; "Orang yang pertama datang kepada kami (dari kaum Muhajirin) adalah Mush'ab bin 'Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Keduanya membacakan al-Qur'an kepada orang-orang. Kemudian Bilal, Sa'ad dan 'Ammar bin Yasir. Setelah itu datang pula 'Umar bin Al Khaththab dalam rombongan berjumlah sepuluh orang dari shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu datang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Aku tidak pernah melihat penduduk Madinah bergembira sebagaimana gembiranya mereka dengan kedatangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, hingga para budak wanita berseru; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah datang." Dan tidaklah beliau tiba melainkan aku telah membaca (menghafal) "Sabbihismaa Robbikal a'laa, " yang termasuk dalam surat-surah Al Mufashshal (surat-surat pendek)."(HR. Bukhari)

 

Maka hal ini sangat relevan dengan peristiwa ayat Al-Qur’an yang turun di Mekah selanjutnya dibawa oleh kaum muhajirin untuk mengajarkannya ke kaum Anshar.

 

Ayat Madaniyah Yang Dibawa Ke Mekah

 

Para ulama memberikan contoh untuk ayat madaniyah yang di bawa ke Mekah adalah  awal surat al bara’ah  (at-Taubah),  dimana Rasulullah memerintahkan Abu Bakar  untuk berhaji di tahun ke sembilah hijrah, maka ketika turun awal surat At-Taubah, Rasulullah memerintahkan Ali Bin Abi Thalib untuk membawa dan menyampaikannya kepada Abu Bakar agar disampaikan kepada orang-orang  musrik, Maka Abu Bakar pun  membacakan ayat tersebut dan menegaskan pesan di dalamnya agar kaum musyrikin tidak boleh berhaji lagi  setelah tahun ini.

 

بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (1) فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَأَنَّ اللَّهَ مُخْزِي الْكَافِرِينَ (2) وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (3) إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (4) فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)

 

(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan shalat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain