*MENYELAMI
AYAT-AYAT MAKIAH DAN MADANIYAH (1)*
Oleh :
Misbahudin
*Al-Qur’an Sebagai Pusaka Islam*
Umat-umat terdahulu pasti melakukan sebuah
usaha yang keras untuk menjaga warisan literasi sebagai dasar dan modal dalam
membangun sebuah pondasi peradaban dari para tokoh-tokoh penggebrak
kehidupan dan pendombrak kejumudan berpikir dan keterbelakangan, dan tidak terkecuali umat Islam, para ulama memiliki
sebuah kecintaan besar dalam mendalami dan mejaga warisan keilmuan yang
bersumber dari Al-Qur’an dan as-sunnah, sehingga terekam oleh sejarah bagaimana
ribuan karya lahir dari para warisatul anbiya dari berbagai karya ilmih, baik
dalam bidang tafsir, syarah hadits dan lain sebagainya. Semua karya ulama terdahulu
adalah merupakan sebuah sebuah
pengejawantahan dari Al-Qur’an dan as-sunnah agar membumi dalam kehidupan umat Islam itu
sendiri dan memberikan sebuah pancaran rahmat ke alam semesta.
Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam
berislam bukanlah kitab ilmu pengetahuan atau pun ilmu pembaharuan yang
membatasi ruang geraknya sepanjang dapat diterima oleh akal dan antusiasme respon manusia kepadanya. Tetapi
Islam lebih dari itu. Islam menjadi
sebuah sebuah tonggak dan inspirasi untuk meningkatkan berfikir sehingga bukan
hanya menebus ruang yang kongkrit tetapi juga menembus pemikiran dalam dimensi
keghaiban yang tanpa petunjuk wahyu Al-Qur’an ataupun as-sunnah tidak mungjkin
hal tersebut dapat dijangkau oleh akal, secerdas apapun akal tersebut.
Para ulama terdahulu sangat memberikan perhatiannya
bersar terhadap warisan Rasulullah yaitu Al-Qur’an sebagai
buah dari rasa cinta mereka terhadao Allah dan rasulnya, sehingga mereka
menumpahkan segala kesungguhan dan keringat dengan penuh ketelitian dalam
mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tempat dan waktu dimana ayat
Al-Qur’an itu turun. Dan penelitian
semacam ini menjadi sebuah pondasi yang kokoh
dalam sejarah perundang-undangan Islam _(Tasyri’)_.
Dari penelitian tersebut lahirlah salah satu
cabang ilmu Al-Qur’an yaitu Ilmu mengenai ayat-ayat makiah dan madaniah. Hal ini
dianggap penting agar para juru dakwah dapat mengatahui gaya bahasa dakwah, berbagai macam corak seruan
dalam Al-Qur’an, dan sebuah
tahapan-tahapan penetapan hukum _(tadarruj fil Al-Ahkam)_. Sebagaimana
apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ ـ رضى
الله عنه ـ وَاللَّهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مِنْ
كِتَابِ اللَّهِ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ أَيْنَ أُنْزِلَتْ وَلاَ أُنْزِلَتْ آيَةٌ
مِنْ كِتَابِ اللَّهِ إِلاَّ أَنَا أَعْلَمُ فِيمَ أُنْزِلَتْ، وَلَوْ أَعْلَمُ
أَحَدًا أَعْلَمَ مِنِّي بِكِتَابِ اللَّهِ تُبَلِّغُهُ الإِبِلُ لَرَكِبْتُ
إِلَيْهِ
“Demi
Allah selain Siapa tidak ada yang berhak disembah! Tidak ada Sura yang
diturunkan dalam Kitab Allah tapi saya tahu di tempat mana itu
diturunkan; dan tidak ada Ayat yang diturunkan dalam Kitab Allah tetapi
saya tahu tentang siapa yang diturunkan. Dan jika saya tahu bahwa ada
seseorang yang mengetahui Kitab Allah lebih baik dari saya, dan dia berada di
tempat yang bisa dijangkau unta, saya akan pergi kepadanya”. (HR.
Bukhari).
Dakwah untuk meninggikan kalimat Allah membutuhkan sebuah
metodologi yang khusus dalam gaya bahasanya, karena dakwah akan senantiasa berhadapan
dengan tuntutan dan tantangan jaman di tengah kerusakan aqidah, gaya hidup, dan
degradasi moral dalam setiap roda kehidupan manusia. Maka beban dakwah tidak diwajibkan
kecuali setelah adanya benih-benih
unggul dan persiapan pondasi-pondasi yang akan menopang tegaknya dakwah, dan pondasi-pondasi
syariat dan aturan bersosial kemasyarakatan tidak digariskan dalam gerak dakwah
kecuali setelah tercapainya kebersihan jiwa, ketauhudin yang
sudah mengakar dalam dasar jiwa, dan
terciptanya sebuah tujuan yang jelas untuk menegakan kalimat Allah,
sehingga hal ini menjadikan kehidupan umat Islam ada dalam petunjuk Allah. ini
adalah sebuah gambaran dari pendalam terhadap ayat-ayat makiah dan madaniyyah.
Keunikan Ayat-Ayat Makiyah Dan
Madaniyyah
Orang-orang yang menyelami Al-Qur’an akan mendapati ayat-ayat makiyyah memiliki
sebuah keunikan yang tidak dimiliki oleh
ayat-ayat madaniyyah, baik dalam segi irama sentuhan rasa dan subtansi
maknanya. Kaum jahiliyyah tempo dulu
adalah seorang yang buta baca dan tulis, mereka menyembah berhala-hala dan
menyekutukan Allah, dan mengingkari wahyu, sehingga ayat-ayat makiyyah
mempunyai sebuah nilai rasa yang menyengat dan menggetarkan jiwa agar mereka
secepatnya tersadar dan tergerak jiwa dan pikiran mereka untuk mengikuti kebenaran. Diantaranya tergambar dalam surat al-ikhlas dan An-Nas
قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ
كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah
(Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta
segala sesuatu. (Allah)
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu
yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas)
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ
شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ
الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
Katakanlah,
"Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, Raja manusia, sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke
dalam dada manusia, dari
(golongan) jin dan manusia."
(QS. An-Nas).
Ayat Al-Qur’an yang turun di mekah memiliki sebuah diksi
kalimat yang mencekam, layakya lidah api
yang membara dan menjilat-jilat sebuah kesadaran akan panasnya api tersebut, dalam perfektif hujjah atau argumen, ayat
makiyyah memliki sebuah hujjah yang tegas yang memperok-porandakan keyakinan
mereka akan kesesatan penyembahan kepada berhala, mengajak mereka untuk
memurnikan keimanan hanya melakukan penyembahan kepada Allah saja.
Ayat Makiyyah juga membongkar tabir-tabir kerusakan gaya
hidup mereka, menegekan hujjah kenabian Muhammad Rasulullah, memberikan sebuah
kabar kehidupan yang sebenaranya di akhirat kelak.dan melenyapkan mimpi-mimpi
dan ambisi mereka agar cahaya islam itu meredup bahkan hilang, sehingga mereka pun
berada dalam keputusasaan.
وَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنِ افۡتَـرٰى
عَلَى اللّٰهِ الۡكَذِبَ وَهُوَ يُدۡعٰٓى اِلَى الۡاِسۡلَامِ ؕ وَاللّٰهُ لَا
يَهۡدِى الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِيۡنَ. يُرِيۡدُوۡنَ لِيُطْفِئُوا نُوۡرَ اللّٰهِ بِاَ فۡوَاهِهِمْ
وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوۡرِهٖ وَلَوۡ كَرِهَ الۡكٰفِرُوۡنَ. هُوَ الَّذِىۡۤ اَرۡسَلَ رَسُوۡلَهٗ بِالۡهُدٰى وَدِيۡنِ
الۡحَـقِّ لِيُظۡهِرَهٗ عَلَى الدِّيۡنِ كُلِّهٖ وَلَوۡ كَرِهَ الۡمُشۡرِكُوۡنَ
“Dan siapakah yang lebih zhalim dari-pada orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah padahal dia diajak kepada (agama)
Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim, Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan
mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya
meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun
orang-orang musyrik membencinya” (QS. Ash-Shaf : 7-9).
Selain itu, ayat makiyyah
menantang dengan sebuah tantangan yang “to the poit” dan menusuk dan
mengoyak-ngoyak akal dan hati, membuat mereka bingung karena tidak bisa
melakukan apa, mereka seolah ditelanjangi kebodohan mereka walaupun tenyata
dalam lingkungan masyrata mereka adalah para ahli syair, ahli debat dan
retorika.
اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ
وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Apakah pantas mereka
mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, “Buatlah
sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur'an), dan ajaklah siapa saja di
antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar.”
(QS. Yunus : 38)
Dalam ayat makiyyah diceritakan tentang cerita-cerita
umat yang telah mendustakan kebenaran Islam di masa lalu sebagai pelajaran dan
peringatan, dalam gaya bahasanya ayat
makiyah memberikan sebuah diksi kalimat yang menggetarkan jiwa, memberikan
sbeuah ancaman dan malapetaka yang akan terjadi di masa yang akan datang,
seperti halnya dalam surat Al-Qari’ah,
Al-zalzalah, Al-Ghasyiah, Al-waqi’ah.
Kabar mengerikan juga disampaikan dalam ayat makiyyah
yaitu nasib-nasib di akhirat kelak, apa akan didapatkan oleh umat-umat
terdahulu yang menjadi pembangkang sejati, dalam segi saintifik, ayat
makiyyah memberikan sebuah petunjuk,
adanya cakrawala ilmu pengetahun yang luas di alam semesta ini, dan bukti-bukti
kebenaran yang sangat masuk akal.
Ayat Makiyyah Sebagi Titik Tolak
Kebangkitan
Setelah para sahabat Rasulullah di “braind washing”,
dijernihkan fikiran dan hatinya dengan cahaya tauhid dan dibilas dengan cahaya
ma’rifah, lalu ditanamkan kebuah keimanan yang kokoh kepada Allah, para
malaikatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya, hari akhir dan takdir yang baik dan
buruk. Lalu ujian pun datang menghampiri, sebuah ujian keimanan yang begitu
menggetirkan baik secara fisik maupun mental dari kaum kafir Quraisy, dan
mereka pun memiliki ada dalam kesabaran yang teguh dalam keimanan yang mereka
pilih.
Kaum muslimin pada saat itupun berhijrah, sebagai salah
satu strategi pengembangan dakwah Islam agar lebih leluasa, sembari menyusun
kekuatan Islam yang lebih kuat, mereka berhijrah dari kampung halamannya,
meninggalkan usaha dunia mereka, meninggalkan sanak sudara yang mereka sayangi
menuju tempat yang baru, hal ini tidak lain dan tiada bukan untuk medapatkan
keridhoan Allah dan mengutamakan kenikmatan akhirat dari pada kenikmatan dunia
yang sesaat dan sementara.
Sehingga setelah terbentuk umat secara kualitas dan
kuantitas, kekuatan islam pun semakin menguat
dan mengurita bak bola salju yang terus berputar dan menggelinding dari waktu
ke waktu menjadikannya menjadi semakin besar dan mampu menghantam apapun di
depanya, setelah ayat makiyah, maka turunlah ayat-ayat madaniyyah yang memiliki
corak dalam gaya bahasa lebih “slow” dan datar, terhimpun dalam sebuah diksi
kalimat yang panjang-panjang,
menjelaskan syariat islam yang lebih meluas dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, menyeru kaum muslimin untuk berjihad, karena
kekuatan umat Islam sudah terhimpun kuat,
dan motivasi untuk mencari syahid dalam setiap perjuangan mereka melawan
musuh-musuh Islam, dan ayat madaniyyah juga menjelaskan secara terperinci dasar-dasar perundang-undangan, menentukan
ikatan tali keluarga, hubungan antar personal dan masyarakat, dan hubungan antara negera secara nasional
dan internasional.
Reverensi
1.
Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il
qathan
2.
At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali
Ash-Shobuni
3.
Dan lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar