Oleh : Misbahudin
Ibnu Taimiyyah menyebutkan tidak sedikit
terjadi kedzaliman oleh penguasa dan rakyatnya dalam sebuah tatana kenegaraan,
penguasa memungut bayaran yang tidak dihalalkan, dan sebaliknya, terkadang rakyat enggan untuk
menunaikan kewajibannya. Sebagaiman mana yang terjadi antara para tentara dan
para petani awam.
Para petani pada saat Ibnu Taimiyyah hidup,
terkadang sebagian mereka enggan dan berat untuk melakukan jihad fisabiliLLah
yang telah diwajibkan atas mereka pada
saat itu, dan disisi yang lain, penguasa dan para pejabatnya hanya fokus untuk
mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Kedzaliman juga terjadi dalam masalah hukum
yang berkaitan dengan harta, kadang perkara yang boleh dan wajib dijatuhi
hukuman, malah dibiarkan, sedangkan perkara yang yang tidak bermasalah secara
hukum malah dikriminalisasikan.
Kaidah dasarnya adalah bahwa setiap orang
yang wajib menunaikan kewajiban dari harta bendanya, maka harus
melaksanakannya, seperti seorang
laki-laki yang dititipi sesuatu barang
titipan, atau seseorang yang mempunyai hak
bagi hasil _(mudharabah)_, atau _syirkah_
atau diberi hak mewakili urusan harta benda, harta yatim, harta waqaf,
atau mengusi harta _baitul Mal_. Atau seseorang yang mempunyai hutang
dan mampu untuk untuk membayarnya.
Maka orang tersebut wajib diberikan
hukuman sehingga dia mengeluarkan harta
benda yang wajib dia keluarkan, atau
dengan menunjukan tempat penyimpanannya, maka jika kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengan harta tersebut sudah ditunaikan, maka orang tersebut tidak
perlu lagi mendapatkan hukuman.
Akan tetapi jika dia menolak untuk menunaikan
kewajibannya dan tidak mau menunjukan tempat penyimpan harta yang wajid
ditunaikannya itu, maka dia harus di
hukum dengan dicambuk sehingga tergerak hatinya untuk menunaikan
kewajibannya dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan tugas kewajibannya itu. Demikian juga halnya, orang
yang enggan memberikan nafkah kepada keluarganya padahal dia mampu untuk menunaikannya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Amr
bin asy-syarid dari bapaknya dari Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_,
sesungguhnya dia bersabda, “ Menunda-nundanya kewajiban seorang yang mampu,
maka dihalakan kehormatan dan hukuman
baginya”. (HR. Ahmad).
Dan Nabi Muhammad pernah bersabda, “
menunda-nundanya kewajiban bagi orang yang kaya adalah kedzaliman”. (HR. Bukhari Muslim).
Maka orang dhalim pantas untuk mendapatkan
hukuman yang setimpal, dan hal ini merupakan hal yang disepakati demi tegaknya
keadailan, bahwa siapa saja yang mengerjakan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, maka
dia harus dihukum, dan jika hukumya tidak ditentukan oleh syariat, maka disini
peran seorang pemimpin untuk berijtihad mencari konsep hukuman yang sesuai, maka akan orang kaya yang
menunda-nunda pembayaran kewajibannya akan dihukum dengan penjara.
Jika masih saja tidak bertaubat, maka
dinaikan level hukumannnya baginya dengan sebuah cambukan sehingga dia
menunaikan kewajibannya, hal ini ditetapkan
oleh para fuqaha dari para
pengikut imam Malik, syafi’i, ahmad dan yang lainnya, dan tidak ada perdebatan
sedikitpun di dalam masalah ini.
Dari Ibnu Umar _radhiyaLLahu ‘anhu_ dia berakata,
sesungguhnya Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_, mengadakan
perjanjian damai dengan bani khaibar
dengan syarat untuk meninggalkan
dinar, dirham dan senjata, beliau bertanya kepada salah seorang yahudi,
yaitu sa’yah (paman huyaa bin akhtab), tentang harta simpanan huya bin akhtab?, maka
sa’yah menjawab, “ sungguh harta simpananya telah habis untuk nafaqah
kehidupannya sehari-hari dan untuk keperluan perang”. Maka nabi bersabda, “
peperangan sebentar dan hartanya lebih banyak dari keperluan perang itu”.
Maka RasuluLLah pun menyerahkan sa’yah kepada Zubair, maka zubar pun menimpakan
siksaan kepadanya, Maka sa’yah pun
menjawab, “ sungguh aku melihat huyya di reruntuhan disnana”. Maka para sahabat
pun pergi kesana, dan mengitari reruntuhan tersebut, dan akhirnya merekapun
menemukan buntalan kulit dis sebuah lobang.
(HR. Bukhari-Muslim).
Sa’yah adalah seorang lelaki kafir dhimmi,
dan kafir dhimmi tidak halal untuk diberikan hukuman kecuali dengan alasan yang
benar, dan demikian juga untuk siapa yang saja yang menyembunyikan apa-apa yang perlu ditampkan seperti
penjelasan yang wajib diutarakan dan lain sebagainya, maka harus dihukum karena meninggalakn
kewajibannya itu.
Dan apa-apa yang diambill oleh oknum-oknum
pegawai atau selainnya dari harta
seorang muslim , pemimpin yang adil
mempunyai wewenang untuk menyitanya, seperti hadiah
yang mereka ambil dengan sebab
pekerjaannya.
Abu Said Al-khudri _radhiyaLLahu ‘anhu_ telah berkata, “hadiah untuk para pekerja
adalah _ghuluul_ (korupsi)”.
Ibrahim al Harbi meriwayatkan dalam kitab
(hadaaya), dari Ibnu abbas _radhiyaLLahu
‘anhu_, sesungguhnya Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ bersabda, “
hadiah untuk seorang pejabat adalah korupsi _(ghulul)_.
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ
الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ
قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ
أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى
رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ
بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
“Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu
berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki
dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika
datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini
dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah
ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya
hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil
sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan
dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh
atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,
sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah
bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga
kali.“ (Hadist Shahih Riwayat
Bukhari dan Muslim).
*Servis
Lebih Untuk Pejabat*
Demikian
juga permasalahan apapun yang mengistimewakan para pejabat di dalam urusan
muamalat, seperti dalam jual beli, sewa menyewa _(muazarah)_, bagi hasil _(mudharabah)_, sewa lahan pertanian _(Musaaqah)_ dan kerja
sama dalam pengelolahan lahan _(muzaraah)_,
dan lain sebagainya dari hal-hal yang bersifatnya memberikan hadiah.
Oleh karena
itu, Umar Bin Khatab _RadhiyaLLahu ‘anhu_ membagi rata kelebihan-kelebihan dari harta para
pegawainya, walaupun tidak punya indikasi berkhianat, hal tersebut dilakukan
karena mereka mendapatkan pelayanan
lebih karena kedudukan dan jabatan mereka. Dan Umar melakukan hal tersebut
karena kondisi saat itu menuntut agar bersikap seperti itu untuk memenuhi rasa
keadilan.
*Pemimpin
Dan Rakyat Yang Melenceng Dari Jalan Allah*
Maka takla
pemimpin, pejabat dan rakyat menyimpang dari jalan kebenaran, maka wajib bagi
orang-orang yang sadar untuk melakukan kewajiabanya memberikan nashihat sesuai
dengan kadar kemampuannya, untuk meninggalkan
apa yang diharamkan baginya dan tidak
mengharamkan apa yang Allah bolehkan baginya.
Sungguh
manusia akan diuji oleh pejabat yang
enggan menerima hadiah dan sebagainya, agar
memungkinkan dengan hal itu bisa tertunaikan dan terselesaikan
kedzaliman-kedzaliman yang terjadi pada mereka. Akan tetapi disisi lain,
pejabat yang tidak mau menerima hadiah ini meninggalkan apa yang Allah
wajibkan dari pemenuhan dan
penyelesainan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya.
Oleh karena
itu maka timbulkah para oknum-oknum pejabat atau pegawai yang mau mengambil hadiah dan sejenisnya untuk
menyesaikan masalah mereka dari kedzaliman
dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Maka sungguh
tipikal pejabat atau pegawai yang pertama ini
telah menjual akhirat mereka dengan urusan dunia orang lain, dan seburuk-buruknya manusia
adalah orang yang bertransaksi untuk keselematan akhirat mereka tetapi tidak
menunaikan kewajiban atas tugasnya terhadap urusan dunia orang lain.
*Kewajiban
Mencegah kedzaliman*
Maka sungguh
merupakan sebuah kewajiban untuk mencegah kedzaliman terjadi di tengah-tengah
mereka demi terwujudunya kemaslahatan hidup mereka, dengan cara menyampaikannya kepada pihak yang
berwenang berkaitan dengan urusan-urusan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menyampaiakn keinginan-keinginan mereka.
Dan
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan
kemadharatan dengan berbagi cara baik secara sembunyi-sembunyi atau secara
terang-terangan, sebagaimana yang
dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu yang menulis surat
kepada penguasa.
Hadits dari Hindun
Bin Abi halah _radhiyaLLahu ‘anhu_ dari
Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ ,
sesungguhnya beliau bersabda, “ laporkan kepadaku hajat orang yang tidak mampu
menyampaikannya, karena barang siapa yang melaporkan hajat orang tidak dapat menyampaikannya
kepada penguasa, niscaya Allah akan
meneguhka kedua kakinya diatas shirat di
hari dimana kaki-kaki manusia tergelincir.
#
Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh
An-Nahala Research Forum)