Selasa, 16 Juli 2019

Tipe-Tipe Manusia Menghadapi Kemarahan



Oleh : Misbahudin

Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah mengklasifikasikan berbagai tipe manusia  dalam menghadapi sesuatu yang menuntut mereka untuk bershabar dan untuk meluapkan kemarahannya.  Dari sini kualitas diri dan kualitas hati seseorang dapat terukur. Apakah luapan kemarahhnya karena faktor keegoan dirinya ataukah dia marah karena aturan-aturan agamannya dilangar.

Oleh karena itu terdapat empat tipe manusia

Pertama, orang  yang marah karena dirinya dan karenanya tuhannya.

Kedua, manusia yang tidak marah ketika harga dirinya diinjak-injak dan tuhannya dilecehkan.

Ketiga, adalah tipe manusia perteangahan (wasth), adalah mereka yang  marah karena  agamanya dilecehkan dan tidak marah ketika dirinya dilecehkan.

Tipe inilah yang ada dalam pribadi nan mulia RasuluLLah, sebagaimana  saiyyadh Asiyah  berkata, “ RasuluLLah tidak pernah memukul pembantunya, istrinya,  hewan kendarannya dengan tangannya, kecuali ketika berjihad di jalan Allah,  dan Rasulullah tidak menumpahkan  kemarahannya ketika dirinya dicela,  kecuali ketika  hal-hal yang Allah haramkan dilanggar. Maka ketika larangan-larangan Allah dilanggar tidak ada yang mampu meredakan kemarahannya  kecuali setelah Rasulullah menumpahkan kemarahannya”. (HR. Bukhari-Muslim).

Keempat, adalah orang yang  marah karena dirinya  dan tidak marah ketika tuhannya dilecehkan, atau dia hanya mengambil hak dirinya saja dan tidak mau memberi hak orang lainnya.

Maka golongan yang keempat ini, adalah  manusia terburuk, yang tidak membawa kontribusi positif untuk dunia dan agama.  Sebagaimana orang-orang shaleh  menjalankan  politik  dengan idealisme, mareka  melaksanakan  kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Mereka senang memberi sesuatu yang dimana pemberian itu akan berdampak positif untuk tegaknya  agama Islam, dan mereka hanya mengambil harta untuk dirinya dan keluarganya yang halal baginya,  mereka akan murka ketika  hal-hal yang Allah haramkan ada yang melanggar, dan mereka akan senantiasa memaafkan  jika hak-hak pribadinya dilanggar,  ini merupakan Akhlak RasuluLLah  jiwa dermawan dan jiwa protektifnya untuk menjaga agamanya,  dan hal ini merupakan  perkara  yang paling sempurna.

Ketika manusia  berusaha semakin dekat dengan akhlak RasuluLLah maka mereka  menjadi pribadi-pribadi  yang semakin baik,  maka seyogyanya bagi seorang muslim untuk  keras untuk  mendekati  akhla tersebut.  Dan memohon ampun kepada Allah  jika masih ada kekurangan  atau sikap meremehkan  setelah ia tahu kesempurnaan  ajaran yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad ShalaLLahu ‘alahi wasalam.

Demikan itulah penjelasan  firman Allah ta’ala

۞ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa : 58)

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)





Berbagai Spesies Manusia Dalam Kepemimpinan



Oleh Misbahudin


Ibnu Taimiyyah  _rahimahuLLah_ mengklasifikasikan  manusia kedalam tiga katagori dalam amanah tanggung jawabnnya sebagai seorang pemimpin,

Pertama, pemimpin yang hatinya dikuasi oleh kecendrungan untuk senantisa diatas dan diagung-agungkan  manusia dan senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi,  dia tidak mempertimbangkan akan balasan yang pedih di akhirat kelak, dan dia memiliki mindset yang sesat, yaitu kepemimpinan tidak akan berjalan tanpa  royal memberi kepada masyarakat, walaupun apa yang diberikannya  diambil dari harta yang tidak halal. Maka dia pun menjadi sosok perampok yang bertopeng kedermawanan.

Dalam istilah mereka, tidak mungkin menjadi pemimpin masyarakat tanpa  memakan dan memberi makan, karena jika dia lemah dalam hal itu, yaitu dia tidak bisa memakan dan memberi makan maka para tokoh masyarakat dan orang-orang yang berpengaruh tidak akan respek kepada mereka dan akan memboikot mereka,  beruntung jika para tokoh masyarkat atau oramg yang berpengaruh itu tidak membahayakan  jiwa dan hartanya.

Spesies pemimpin manusia seperti ini, mereka akan menjadi pribadi yang hanya mementingkan kenikmatan dan keuntungan semata, dan mengabaikan kenikmatan dan keuntungan jangka panjang di dunia dan akhirat,  Maka mereka pun mendapatkan balasan yang pedih dari Allah ketika mereka di dunia dan akhirat. Kecuali mereka  bertaubat dari segala pola pikir dan  berbagai tindakan yang melenceng dari jalan kebenaran.

Kedua, golongan pemimpin yang mereka takut kepada Allah _subhanahuwata’ala_,  ajaran agama menjadi rem bagi mereka  untuk tidak melakukan  sesuatu yang mereka anggap sebagai sebuah keburukan, seperti kedzaliman kepada masyarakat dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah.

Akan tetapi, disisi lain dia mempunyai keyakinan bahwa roda kepemimpinan tidak akan berjalan tanpa tipu daya kedzaliman yang diharamkan sebagaimana yang dilakukan oleh golongan pertama, sehingga mereka pun sangat anti dengan yang namanya politik.

Terkadang timbul dalam hatinya rasa pengecut, kikir dan akhlak yang sempit, yang bercampur dengan naluri dorongan kebenaran agama,  akibatnya mereka kadang meninggalkan kewajiban, yang mana  meninggalkannya  lebih berbahaya  daripada mereka terjerumus kedalam perbuatan-perbuatan haram, atau terkadang mereka melarang sesuatu yang wajib, yang dimana larangan itu  memalingkan mereka dari jalan Allah.

Dan kadang mereka terjebak kedalam takwil yang keliru, ada juga mereka berkeyakinan bahwa mengingkarinya adalah sebuah kewajiban dan tidak ada cara lain untuk  mencegahnya kecuali dengan peperangan, seperti halnya kaum khawarij yang memerangi saudaranya yang islam.  Mereka menganggap apa  ayang mereka lakukan itu adalah sebuah kebaikan dan kebenaran. Maka perbuatan mereka itu tidak akan memperbaiki  keadaan dunia dan akhirat mereka.

Golongan kedua ini adalah golongan yang mereka dalam kepemipinannya tidak mengambil harta untuk diri mereka sendiri ataupun memberikan harta untuk yang lainnya,  dan mereka tidak mau  memberikan  memberi harta kepada orang-orang yang seharusnya ditundukan hatinya (mualaf qulubuhum)  dari golongan kafir, pembuat onar,  baik dengan harta ataupun dengan hal-hal yang bermanfaat lainnya,  dan mereka berkeyakin hal tersebut merupakan sebuah kedzaliman dan pemberian yang diharamkan.

 Ketiga, adalah golongan  yang pertengahan (washath), mereka adalah pengikut agama Nabi Muhammad shalaLLahu ‘alahi wasalam dan khulafur rasyidin  dalam menyikapi masyarakat yang awam ataupun mereka yang terpandang, dengan senantiasa mensejahterakan rakyatnya dalam bidang ekonomi dan  kebijakan-kebijakan yang mengandung banyak manfaat. Walaupun   kepada para tokoh masyarakat sekalipun  agar mereka bisa membantu dalam menyuksesakan program-program pemerintah terutama hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Disisi lain golongan tipe pemimpin ini  mereka senantiasa menjaga  dirinya (iffah)  dari mengambil harta-harta  yang tidak berhak bagi mereka.  Mereka mampu mengkolaborasikan antara ketaqwaan  kepada Allah dan berbuat baik kepada sesame (ihsan).

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




3 Kunci Sukses Kepemimpinan



Oleh : Misbahudin


إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al-Ashar : 3)


Dalam sebuah atsar sebaik-baiknya iman adalah kedermawanan, keshabaran dan keberanian,  maka tidak akan sempurna urusan  yang berkaiatan dengan kemanusiaan dan urusan kepemipinan kecuali  sikap kedermawanan  dengan memberi dan keberanian.  Bahkan urusan dunia dan agama tidak akan baik tanpanya.

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (QS. Al-Balad : 17)

Siapapun pemimpin yang tidak memiliki sifat kedermawanan, keshabaran dan keberanian maka Allah akan cabut kepemimpinannya dan Allah akan pindahkan kepada yang lainnya, sebagaimana firman Allah ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.

إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. At-Taubah : 38-39)

Dan Allah menegaskan dalam firmanNya yang lain.

هَا أَنْتُمْ هَٰؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ ۖ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ ۚ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ ۚ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.  (QS. Muhammad : 38)

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid : 10)

Allah mengaitkan kepemimpinan dengan kedermawanan hati yang tervisualisasikan dengan sentuhan kasih sayang yang menyentuh kalbu dan pemberian materi yang membantu rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan sikap shabar yang dibalur dengan kebenaranian yang terwujudkan dalam kesiapan jiwa dan mental untuk “memerangi” siapapun untuk menegakan keadilan dan kebenaran.

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 20)

Dan sifat yang sungguh tercela yang ada dalam diri seorang pemimpin adalah sikap bakhil (pelit), sehingga kebakhilan tersebut Allah katagorikan sebagai dosa besar.

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. At-Taubah : 34)

Pengecut, Mental Tempe Seorang Pemimpin

Allah mengkatagorikan sifat pengecut ini kepadam dosa besar juga seperti sifat bakhil,

وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (QS. Al-Anfal : 16)

وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَٰكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (QS. At-Taubah : 56)

Dan masih banyak lagi yang dalil-dali lainnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-sunnah dan secara consensus  telah disepakati oleh masyarakat,  sehingga terlontar dalam ungkapan bahasa mereka dalam bahasa amiyyah

 “ tidak ada tikaman dan tidak ada wadah makanan”,  ( maksudnya adalah tidak ada keberanian dan tidak ada kedermawanan. 

Dalam peribahasa yang lain,  “ Bukan Ahli kuda, bukan pula wajah arab” .

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




MENYELAMI PERFEKTIF POLITIK IBNU TAIMIYYAH



Oleh : Misbahudin

Islam adalah agama sempurna, maka dalam segi kehidupan apapun Islam memiliki sebuah “aturan  main”,  tidak terkecuali masalah politik. Karena hakikatnya Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan urusan Negara, apa jadinya jika Islam dipisahkan dari tatanan hidup bernegara?

Jika kita menyelami secara tenang dengan pikiran dan hati yang jernih, sungguh jelas pada saat RasuluLLah dan zaman khulafu ar rasyidin Islam dikonsepsikan dan afilkasikan sebagai sebuah sistem beragama dan bernegara.

Sehingga Nabi Muhammad _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ pada saat itu adalah sosok seorang pemuka agama dan sebagai kepala Negara sekaligus. Oleh karena itu, Ulama besar, Syekh Islam Ibnu Taimiyyah mengurai dan mengkonsepsikan Islam dalam tata politik bernegara dalam kitabnya _siasah asyariyyah fi ishlahi ar-raa’I wa ra’iyyah_.

*Kesejahteraan Rakyat, Adil dan Makmur*

Diantara sub tema pemikiran Ibnu taimiyyah dalam _siasah Syariyyah_ adalah bagaimana para pejabat yang mengurusi kehidupan kaum muslimin, gubernur, hakim, ulama,  para petugas yang mengurusi keuangan Negara dalam mengumpulkan, mengurusi dan membagikanya dan semua orang-orang yang terlibat didalamnya  dan mendukung berjalannya program-program Negara untuk menjadikannya Negara _baldatun thayyibun warabul ghafur_.

Semua pejabat dan petugas Negara dijamin kehidupannya oleh kas negera pada saat itu. Maka pendapatan negara dari ghanimah, fai dan zakat mempunyai tempat penyaluran yang sangat jelas, semua dikembalikan kepada rakyat yang membutuhkan demi kemakmuran dan berkeadilan.

Maka pendapat negara tersebut wajib disalurkan  kepada yang paling  berhak diantara yang berhak  secara berurutan dan bertahap demi kemaslahatan  kaum muslimin secara universal,  seperti memberikannya kepada seseorang yang mengurusi urusan kaum muslimin dan memberikan manfaat yang banyak untuk umat.

Diantara mereka adalah orang yang berperang di jalan Allah,  merekalah para ahli jihad dan para penolong Islam,  mereka adalah yang paling berhak mendapatkan fai (harta orang kafir yang didapat bukan karena peperangan).

Karena tanpa mereka  tidak mungkin pemerintahan mendapatkan pemasukan harta negara tersebut,  sehingga para ulama  berbeda pendapat, apakah _fai_ itu dikhususkan untuk mereka atau _fai_ itu disalurkan untuk selain mereka juga untuk maslahatan secara umum semua kalangan masyarakat?.

Adapun harta  semua kekayaan Negara dipergukan untuk kemaslahatan   secara univerasal dan merata,  kecuali  jenis pendapat negara dari zakat dan ghanimah.

Adapun kekayaan Negara selain disalurkan kepada yang berhak, kepada orang yang memerikan manfaat kepada ummat,  kekayaan Negara juga dipakai untuk menunjang keberhasilan para tentara di daerah perbatasan,  menyiapkan kendaraan mereka,  senjata mereka. Dan kekayaan negara juga disalurkan untuk infrastuktur  seperti jalan-jalan  yang mendukung mobilitas masyakarat, jembatan-jembatan,  dan saluran-saluran  irigasi air dan sungai.

*Harta Negera Untuk Yang Membutuhkan*

Para ulama berselisih pendapat  apakah Orang yang membutuhkan _(dzul hajjah)_  diutakan untuk mendapatkan harta non zakat seperti _fai_ dan yang lainnya dari pendapat kekayaan Negara?.  Maka dalam madhab imam Ahmad dan yang lainnya, mereka berpendapat  bahwa harta kekayaan Negara adalah untuk kebutuhan secara umum umat Islam  tanpa memilah milih seperti halnya  ahli waris yang semua mendapatkan jatah dari harta warisan mayit.

Pendapat yang benar mereka didahulukan, karena Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  mendahulukan orang yang membutuhkan  sebagaimana  nabi mendahulukan memberikan  harta kepada bani nadhir.

Dalam pemerintah Umar bin Khataab _radhiyaLLahu ‘anhu_ , beliau pernah berkata,   tidak ada yang paling berhak dari harta kekayaan Negara ini kecuali  seseorang  yang paling dulu masuk islam,  orang yang  produktivitas memberikan manfaat, orang yang paling  besar jasanya dan orang yang membutuhkan”. (HR. Ahmad).

Klasifikasi Mustahiq Penerima Harta Negara

Umar Bin Khattab _radhiyaLLahu ‘anhu_ mengklasifikasikan kelompok yang mendapat harta pemerintah  menjadi empat golongan
Pertama,  orang yang lebih dahulu masuk Islam,  Maka dengan lebih dulunya masuk Islam, maka mereka berhak mendapatkan harta Negara.

Kedua, orang yang berjasa besar dalam memenuhi kebutuhan hidup secara lahi dan batin, seperti penguasa, ulama yang memberikan kemanfaatan secara duniawi dan ukhrowi.

Ketiga, orang yang berjasa besar dalam melinduni kaum muslimin dari marabahaya, seperti mujahid fisabiliLLah, para pasukan perang, mata-mata, para pengintai dan para penasehat.

Keempat, adalah yang membutuhkan

Apabila empat kelompok diatas mendapat bantuan dari donator (mutabariun), maka sungguh Allah mencukupkan dengannnya, tetapi jika tidak ada, maka mereka diberi tunjangan  dari baitul mal sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan kadar  beratnya sebuah tugas, dan jika mengetahui jika pemberian santunan dari harta umat dan zakatitu berdasarkan sebuah tugas dan pekerjaan dan sesuai dengan kebutuhannya. Maka tidak boleh menambah  kadar pemberian itu kecuali sesuia dengan kadar orang yang setingkat dalam tugas dan tanggung jawabnya. Persis seperi pembagian ghanimah dan waris.

Memberikan Harta Negara Untuk Menunudukan Hati

Salah satu strategi siasyah syariyyah dalam melunakan hati seseorang agar loyal kepada penguasa Islam adalah  dengan memberikan materi.  Sebagaimana Allah subhanahuwata’ala  membolehkannya dalam al-Qur’an untuk memberikan  harta zakat untuk melembutkan hati seseorang.

Sebagaimana RasuluLLah  memberi kepada muallaf yang ingin dilembutkan hatinya agar lebih kuat condong kepada Islam dari harta fai,  dan lainnya sebagainya, dan mereka adalah para pemimpin yang gugu dan ditiru oleh kelompoknya dan sukunya, sebagaimana Nabi memberi aqra ibnu haabis pemuka bani tamiim, uyainah ibnu hishn pemuka bani fazarah, zaid khair at-thai pemuka bani nabhan, alqomah ibnu ‘ulatsah al-amiri pemuka bani kilab, dan semisalnya dari para pemimpin quraiys dari dibebaskan ketika fathul makah (thulaqau), seperti showan bin umayah, ‘ikrimah bin abi jahal, abi sufayan bin harb, suhail bin amr dan harits ibnu hisyam dan masih banyak lagi.

Dari Abi Said al-khudriyi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ketika Ali masih berada di yaman, dia mengirim emas yang masih ada tanahnya kepada Rasulullah, Maka RasuluLLah pun mem bagikannya kepada empat orang, yaitu Aqra ibnu habis al handhali, uyainah bin badr alfajari, ‘alqomah bin ‘ulatsah alamiri dari bani kilab, zaid alkhair at-thai dari bani nabhan. (Bukhari-Muslim).

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)






TOLONG MENOLANG DALAM KEBAIKAN DAN KETAQWAAN



Oleh : Misbahudin


_وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]



Maka apabila _waliyul amri_ menyita barang berharga dari para pegawainya untuk diri sendiri atau untuk keluarganya, maka tidak sepantas menolong salah satu diantara keduanya, jika waliul amri dan pekerjanya sama sama telah berbuat kedzaliman  dengan cara mengabil sesuatu yang tidak halal baginya.

Seperti halnya, membantu pencuri yang mencuri  dari yang mencuri, membantu dua kelompok yang saling bertikai karena sebab fanatik kelompok dan karena berebut kekuasaan, dan tidak boleh seseorang menolong  untuk sebuah kedzaliman.

Maka Ibnu Taimiyyah membagai tolong menolong  itu kepada dua macam,

Pertama, tolong menolong atas kebaikan dan ketaqwaan, diantaranya adalah jihad, menegakan hudud,  menunaikan hak orang lain,  menyalurkan harta kepada yang berhak menerima, dan apapun yang yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya.

Barang siapa yang tidak melaksanakannya karena ketakutan tergelincir  kedalam kedzaliman,  maka sungguh dia telah meninggalkan sesuatu yang wajib ‘ain atau wajib kifayah, dan menganggap hal itu adalah bentu sikaf _wara_.  Padahal sering kali sikap pengecut dan lemah itu terlihat seperti sikap _wara_,  karena memiliki kemiripan dalam hal menahan diri.

Kedua,  tolong menolong dalam  dosa dan permusuhan,  seperti membantu orang lain menumpahkan darah,  atau mengambil harta  yang dilindungi,  atau memukul orang yang tidak berhak dipukul dan lain sebagainya.

Apabila harta telah diambil dengan cara yang tidak benar, dan mustahil untuk mengembalikannya kepada yang punya, seperti hampir semua kekayaan penguasa yang dzalim (pada saat Ibnu Taimiyyah hidup), maka cara membantunya adalah dengan cara menyalurkan  untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti penjaga perbatasan, membiayai pasukan  dan lain sebagainya yang mengandung unsur kebaikan dan ketaqwaan.

Dan wajib bagi penguasa  mengelola dan menyalurkan harta yang tidak mengkin diketahui pemiliknya, dan mustahil untuk mengembalikan kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya.  Dan seyogyaanya penguasa menyalurkan harta tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum dengan dibarengi bertaubat  jika dia telah berbuat dhalim.   

Hal tersebut merupakan pendapat jumhur ulama seperti imam malik,  abu Hanifah, Ahmad,   pendapat ini dinukil dari  banyak sahabat,  dan hal ini sesuai dengan dalil-dalil syariat sebagaimana yang telah dijelaskan  ditempat yang lain.

Dan jika ada pihak lain yang  mengambil harta  benda tersebut, maka dia juga harus menyalurkan kepada pihak yang berhak mendapatnya,  dan jika penguasa  enggan untuk mengembalikan  kepada pemiliknya, maka membantunya untuk menggunakannya demi kemaslahatan  pemiliknya adalah lebih utama daripada membiarkannya ditangan orang yang tidak memberikan mashalat sedikitpun kepada  pemiliknya dan atas kaum muslimin.

Maka sumber syariat itu adalah firman  Allah ta’ala.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.  (QS. Ath-Thagabun : 16)

 Ayat ini ditafsirkan oleh ayat yang lain.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran : 102)


Dan tafsirkan juga melalui sabda Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merupakan sebuah kewajiban untuk mewujudkan kemaslahatan dan  menyempurnakannya,  dan menghilangkan kerusakan  dan meminimalisirnya,  maka apabila  bertentangan  maka mewujudkan  yang paling besar maslahatanya  dan mengabaikan maslahat/kebaikan yang lebih kecil,  dan menghilangkan kerusakan yang lebih besar   meskipun kerusakan kecil mungkin terjadi.

Memberikan bantuan  atas sebuah tindakan dosa dan permusuhan  adalah dengan cara membantu  orang dhalim dalam kedzalimannya,  adapun menolong yang didzalimi agar lebih ringan  kedzaliman yang dia dapat maka dia adalah wakilnya yang akan menolong yang didzalimi bukan yang mendzalimi,  seperti halnya orang yang meminjamkan hutang  atau orang yang menjamin  tunggakan  hartanya kepada yang mendzalimi.

Seperti halnya,  yang mengurus yatim, mengurus keuangan zakat,  apabila orang memintanya secara dzalim  harta tersebut, maka dia berusaha untuk menolaknya  dengan cara memberikan  lebih sedikit daripada yang diminta atau memberikan  alternatef lainnya.  Maka jika dia benar-benar bersungguh-sungguh, maka pentugas atau pengurus ini tidak bisa dipersalahkan.

Demikan juga  para petugas penguasa dari juru bicara, asisten,  dan petugas-petugas yang lainnya,  yang dia mana penguasa memberikan kewenangan dalam membuat akad,  menari uang dan  memberikankannya kepada yang berhak dari rakyatnya,  tidak memberikan wewenang itu  kepada orang dzalim untuk mengrusnya.

Demikian juga  apabila kedzaliman dengan pungutan uang ilegal terjadi kepada penduduk kampung,  pengguna jalan,  penduduk pasar, warga kota,  maka ada sosok laki-laki baik  yang menjadi penengah   untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan berbagai cara yang memungkinkan dan membagi pungutan itu merata ke semua sesuai dengan  kemampuan masing-masing  tanpa ada  keberpihakan kepada diri sendiri atau yang lainnya dan tidak menuntut upah,  bahkan dia menjadi penanggung jawab  bagi mereka  untuk menangkal kedzaliman itu.

Tetapi, dalam realitas, sering orang yang terlibat dalam kedzaliman itu  dia menjadi wakil dan pembantu orang-orang yang dzalim atu menuntu upah untuk meringkan siapa yang menghendakinya dan dia memungut uang  kepada siapa yang dia kehendaki, dan ini adalah merupakan sebuah kedzaliman yang paling besar yang pelakunya akan dikumpulan didalam peti-peti  di dalam neraka (majmuul fatawa 30/356-360)

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




KEKOMPAKAN PENGUASA DAN RAKYAT DALAM KEDHALIMAN



Oleh : Misbahudin

Ibnu Taimiyyah menyebutkan tidak sedikit terjadi kedzaliman oleh penguasa dan rakyatnya dalam sebuah tatana kenegaraan, penguasa memungut bayaran yang tidak dihalalkan,  dan sebaliknya, terkadang rakyat enggan untuk menunaikan kewajibannya. Sebagaiman mana yang terjadi antara para tentara dan para petani awam.

Para petani pada saat Ibnu Taimiyyah hidup, terkadang sebagian mereka enggan dan berat untuk melakukan jihad fisabiliLLah yang telah diwajibkan atas  mereka pada saat itu, dan disisi yang lain, penguasa dan para pejabatnya hanya fokus untuk mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan yang tidak dihalalkan oleh Allah.

Kedzaliman juga terjadi dalam masalah hukum yang berkaitan dengan harta,  kadang  perkara yang boleh dan wajib dijatuhi hukuman, malah dibiarkan, sedangkan perkara yang yang tidak bermasalah secara hukum malah dikriminalisasikan.

Kaidah dasarnya adalah bahwa setiap orang yang wajib menunaikan kewajiban dari harta bendanya, maka harus melaksanakannya,  seperti seorang laki-laki  yang dititipi sesuatu barang titipan,  atau seseorang yang mempunyai hak bagi hasil _(mudharabah)_,  atau _syirkah_ atau diberi hak mewakili urusan harta benda, harta yatim,  harta waqaf,  atau mengusi harta _baitul Mal_. Atau seseorang yang mempunyai hutang dan mampu untuk untuk membayarnya.

Maka orang tersebut wajib diberikan hukuman  sehingga dia mengeluarkan harta benda yang wajib dia keluarkan,  atau dengan menunjukan tempat penyimpanannya, maka jika kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut sudah ditunaikan, maka orang tersebut tidak perlu lagi mendapatkan hukuman.

Akan tetapi jika dia menolak untuk menunaikan kewajibannya dan tidak mau menunjukan tempat penyimpan harta yang wajid ditunaikannya itu, maka  dia harus di hukum dengan dicambuk sehingga tergerak hatinya untuk menunaikan kewajibannya  dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas kewajibannya itu. Demikian juga halnya, orang yang enggan memberikan nafkah kepada keluarganya padahal dia mampu  untuk menunaikannya.


Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin asy-syarid dari bapaknya dari Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_, sesungguhnya dia bersabda, “  Menunda-nundanya kewajiban seorang yang mampu, maka dihalakan  kehormatan dan hukuman baginya”.  (HR. Ahmad).

Dan Nabi Muhammad pernah bersabda, “ menunda-nundanya kewajiban bagi orang yang kaya adalah kedzaliman”.  (HR. Bukhari Muslim).

Maka orang dhalim pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal, dan hal ini merupakan hal yang disepakati demi tegaknya keadailan, bahwa siapa saja yang mengerjakan hal-hal yang dilarang dan  meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, maka dia harus dihukum, dan jika hukumya tidak ditentukan oleh syariat, maka disini peran seorang pemimpin untuk berijtihad mencari konsep hukuman  yang sesuai, maka akan orang kaya yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya akan dihukum dengan penjara.

Jika masih saja tidak bertaubat, maka dinaikan level hukumannnya baginya dengan sebuah cambukan sehingga dia menunaikan kewajibannya, hal ini ditetapkan  oleh para fuqaha  dari para pengikut imam Malik, syafi’i, ahmad dan yang lainnya, dan tidak ada perdebatan sedikitpun di dalam masalah ini.

Dari Ibnu Umar _radhiyaLLahu ‘anhu_  dia berakata,  sesungguhnya  Nabi  _shalaLLahu ‘alahi wasalam_, mengadakan perjanjian damai dengan bani khaibar  dengan syarat untuk meninggalkan  dinar, dirham dan senjata, beliau bertanya kepada salah seorang yahudi, yaitu sa’yah (paman  huyaa bin akhtab),  tentang harta simpanan huya bin akhtab?, maka sa’yah menjawab, “ sungguh harta simpananya telah habis untuk nafaqah kehidupannya sehari-hari dan untuk keperluan perang”. Maka nabi bersabda, “ peperangan sebentar dan hartanya lebih banyak dari keperluan perang itu”.

Maka RasuluLLah pun menyerahkan sa’yah  kepada Zubair, maka zubar pun menimpakan siksaan  kepadanya, Maka sa’yah pun menjawab, “ sungguh aku melihat huyya di reruntuhan disnana”. Maka para sahabat pun pergi kesana, dan mengitari reruntuhan tersebut, dan akhirnya merekapun menemukan buntalan kulit dis sebuah lobang.  (HR. Bukhari-Muslim).


Sa’yah adalah seorang lelaki kafir dhimmi, dan kafir dhimmi tidak halal untuk diberikan hukuman kecuali dengan alasan yang benar, dan demikian juga untuk siapa yang saja yang menyembunyikan  apa-apa yang perlu ditampkan seperti penjelasan yang wajib diutarakan dan lain sebagainya, maka  harus dihukum karena meninggalakn kewajibannya itu.

Dan apa-apa yang diambill oleh oknum-oknum pegawai atau selainnya  dari harta seorang muslim ,  pemimpin yang adil mempunyai wewenang untuk  menyitanya,  seperti hadiah  yang mereka ambil dengan sebab  pekerjaannya.

Abu Said Al-khudri _radhiyaLLahu ‘anhu_  telah berkata, “hadiah untuk para pekerja adalah _ghuluul_ (korupsi)”.

Ibrahim al Harbi meriwayatkan dalam kitab (hadaaya), dari Ibnu abbas  _radhiyaLLahu ‘anhu_, sesungguhnya Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  bersabda, “  hadiah untuk seorang pejabat adalah korupsi _(ghulul)_.


عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

“Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.“  (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).

*Servis Lebih Untuk Pejabat*

Demikian juga permasalahan apapun yang mengistimewakan para pejabat di dalam urusan muamalat, seperti dalam jual beli, sewa menyewa _(muazarah)_,  bagi hasil _(mudharabah)_,  sewa lahan pertanian _(Musaaqah)_ dan kerja sama dalam pengelolahan lahan _(muzaraah)_,  dan lain sebagainya dari hal-hal yang bersifatnya memberikan hadiah.

Oleh karena itu, Umar Bin Khatab _RadhiyaLLahu ‘anhu_ membagi rata  kelebihan-kelebihan dari harta para pegawainya, walaupun tidak punya indikasi berkhianat, hal tersebut dilakukan karena  mereka mendapatkan pelayanan lebih karena kedudukan dan jabatan mereka. Dan Umar melakukan hal tersebut karena kondisi saat itu menuntut agar bersikap seperti itu untuk memenuhi rasa keadilan.

*Pemimpin Dan Rakyat Yang Melenceng Dari Jalan Allah*

Maka takla pemimpin, pejabat dan rakyat menyimpang dari jalan kebenaran, maka wajib bagi orang-orang  yang sadar  untuk melakukan  kewajiabanya memberikan nashihat sesuai dengan kadar kemampuannya, untuk meninggalkan  apa yang diharamkan baginya dan  tidak mengharamkan apa yang Allah bolehkan baginya.

Sungguh manusia akan diuji oleh pejabat  yang enggan menerima hadiah dan sebagainya, agar  memungkinkan dengan hal itu bisa tertunaikan dan terselesaikan kedzaliman-kedzaliman yang terjadi pada mereka. Akan tetapi disisi lain, pejabat yang tidak mau menerima hadiah ini meninggalkan apa yang Allah wajibkan  dari pemenuhan dan penyelesainan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya.

Oleh karena itu maka timbulkah para oknum-oknum pejabat atau pegawai yang  mau mengambil hadiah dan sejenisnya untuk menyesaikan masalah mereka dari kedzaliman  dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Maka sungguh tipikal pejabat atau pegawai yang pertama ini  telah menjual akhirat mereka dengan urusan dunia  orang lain, dan seburuk-buruknya manusia adalah orang yang bertransaksi untuk keselematan akhirat mereka tetapi tidak menunaikan kewajiban atas tugasnya terhadap urusan dunia orang lain.


*Kewajiban Mencegah kedzaliman*

Maka sungguh merupakan sebuah kewajiban untuk mencegah kedzaliman terjadi di tengah-tengah mereka demi terwujudunya kemaslahatan hidup mereka,  dengan cara menyampaikannya kepada pihak yang berwenang berkaitan dengan urusan-urusan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka,  dan menyampaiakn keinginan-keinginan mereka.

Dan menghilangkan  kesulitan-kesulitan dan kemadharatan dengan berbagi cara baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan,  sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu yang menulis surat kepada penguasa.

Hadits dari Hindun Bin Abi halah _radhiyaLLahu ‘anhu_  dari Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  , sesungguhnya beliau bersabda, “ laporkan kepadaku hajat orang yang tidak mampu menyampaikannya, karena barang siapa yang melaporkan  hajat orang tidak dapat menyampaikannya kepada penguasa, niscaya Allah  akan meneguhka  kedua kakinya diatas shirat di hari dimana kaki-kaki manusia tergelincir.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)