Selasa, 16 Juli 2019

MENYELAMI PERFEKTIF POLITIK IBNU TAIMIYYAH



Oleh : Misbahudin

Islam adalah agama sempurna, maka dalam segi kehidupan apapun Islam memiliki sebuah “aturan  main”,  tidak terkecuali masalah politik. Karena hakikatnya Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan urusan Negara, apa jadinya jika Islam dipisahkan dari tatanan hidup bernegara?

Jika kita menyelami secara tenang dengan pikiran dan hati yang jernih, sungguh jelas pada saat RasuluLLah dan zaman khulafu ar rasyidin Islam dikonsepsikan dan afilkasikan sebagai sebuah sistem beragama dan bernegara.

Sehingga Nabi Muhammad _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ pada saat itu adalah sosok seorang pemuka agama dan sebagai kepala Negara sekaligus. Oleh karena itu, Ulama besar, Syekh Islam Ibnu Taimiyyah mengurai dan mengkonsepsikan Islam dalam tata politik bernegara dalam kitabnya _siasah asyariyyah fi ishlahi ar-raa’I wa ra’iyyah_.

*Kesejahteraan Rakyat, Adil dan Makmur*

Diantara sub tema pemikiran Ibnu taimiyyah dalam _siasah Syariyyah_ adalah bagaimana para pejabat yang mengurusi kehidupan kaum muslimin, gubernur, hakim, ulama,  para petugas yang mengurusi keuangan Negara dalam mengumpulkan, mengurusi dan membagikanya dan semua orang-orang yang terlibat didalamnya  dan mendukung berjalannya program-program Negara untuk menjadikannya Negara _baldatun thayyibun warabul ghafur_.

Semua pejabat dan petugas Negara dijamin kehidupannya oleh kas negera pada saat itu. Maka pendapatan negara dari ghanimah, fai dan zakat mempunyai tempat penyaluran yang sangat jelas, semua dikembalikan kepada rakyat yang membutuhkan demi kemakmuran dan berkeadilan.

Maka pendapat negara tersebut wajib disalurkan  kepada yang paling  berhak diantara yang berhak  secara berurutan dan bertahap demi kemaslahatan  kaum muslimin secara universal,  seperti memberikannya kepada seseorang yang mengurusi urusan kaum muslimin dan memberikan manfaat yang banyak untuk umat.

Diantara mereka adalah orang yang berperang di jalan Allah,  merekalah para ahli jihad dan para penolong Islam,  mereka adalah yang paling berhak mendapatkan fai (harta orang kafir yang didapat bukan karena peperangan).

Karena tanpa mereka  tidak mungkin pemerintahan mendapatkan pemasukan harta negara tersebut,  sehingga para ulama  berbeda pendapat, apakah _fai_ itu dikhususkan untuk mereka atau _fai_ itu disalurkan untuk selain mereka juga untuk maslahatan secara umum semua kalangan masyarakat?.

Adapun harta  semua kekayaan Negara dipergukan untuk kemaslahatan   secara univerasal dan merata,  kecuali  jenis pendapat negara dari zakat dan ghanimah.

Adapun kekayaan Negara selain disalurkan kepada yang berhak, kepada orang yang memerikan manfaat kepada ummat,  kekayaan Negara juga dipakai untuk menunjang keberhasilan para tentara di daerah perbatasan,  menyiapkan kendaraan mereka,  senjata mereka. Dan kekayaan negara juga disalurkan untuk infrastuktur  seperti jalan-jalan  yang mendukung mobilitas masyakarat, jembatan-jembatan,  dan saluran-saluran  irigasi air dan sungai.

*Harta Negera Untuk Yang Membutuhkan*

Para ulama berselisih pendapat  apakah Orang yang membutuhkan _(dzul hajjah)_  diutakan untuk mendapatkan harta non zakat seperti _fai_ dan yang lainnya dari pendapat kekayaan Negara?.  Maka dalam madhab imam Ahmad dan yang lainnya, mereka berpendapat  bahwa harta kekayaan Negara adalah untuk kebutuhan secara umum umat Islam  tanpa memilah milih seperti halnya  ahli waris yang semua mendapatkan jatah dari harta warisan mayit.

Pendapat yang benar mereka didahulukan, karena Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  mendahulukan orang yang membutuhkan  sebagaimana  nabi mendahulukan memberikan  harta kepada bani nadhir.

Dalam pemerintah Umar bin Khataab _radhiyaLLahu ‘anhu_ , beliau pernah berkata,   tidak ada yang paling berhak dari harta kekayaan Negara ini kecuali  seseorang  yang paling dulu masuk islam,  orang yang  produktivitas memberikan manfaat, orang yang paling  besar jasanya dan orang yang membutuhkan”. (HR. Ahmad).

Klasifikasi Mustahiq Penerima Harta Negara

Umar Bin Khattab _radhiyaLLahu ‘anhu_ mengklasifikasikan kelompok yang mendapat harta pemerintah  menjadi empat golongan
Pertama,  orang yang lebih dahulu masuk Islam,  Maka dengan lebih dulunya masuk Islam, maka mereka berhak mendapatkan harta Negara.

Kedua, orang yang berjasa besar dalam memenuhi kebutuhan hidup secara lahi dan batin, seperti penguasa, ulama yang memberikan kemanfaatan secara duniawi dan ukhrowi.

Ketiga, orang yang berjasa besar dalam melinduni kaum muslimin dari marabahaya, seperti mujahid fisabiliLLah, para pasukan perang, mata-mata, para pengintai dan para penasehat.

Keempat, adalah yang membutuhkan

Apabila empat kelompok diatas mendapat bantuan dari donator (mutabariun), maka sungguh Allah mencukupkan dengannnya, tetapi jika tidak ada, maka mereka diberi tunjangan  dari baitul mal sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan kadar  beratnya sebuah tugas, dan jika mengetahui jika pemberian santunan dari harta umat dan zakatitu berdasarkan sebuah tugas dan pekerjaan dan sesuai dengan kebutuhannya. Maka tidak boleh menambah  kadar pemberian itu kecuali sesuia dengan kadar orang yang setingkat dalam tugas dan tanggung jawabnya. Persis seperi pembagian ghanimah dan waris.

Memberikan Harta Negara Untuk Menunudukan Hati

Salah satu strategi siasyah syariyyah dalam melunakan hati seseorang agar loyal kepada penguasa Islam adalah  dengan memberikan materi.  Sebagaimana Allah subhanahuwata’ala  membolehkannya dalam al-Qur’an untuk memberikan  harta zakat untuk melembutkan hati seseorang.

Sebagaimana RasuluLLah  memberi kepada muallaf yang ingin dilembutkan hatinya agar lebih kuat condong kepada Islam dari harta fai,  dan lainnya sebagainya, dan mereka adalah para pemimpin yang gugu dan ditiru oleh kelompoknya dan sukunya, sebagaimana Nabi memberi aqra ibnu haabis pemuka bani tamiim, uyainah ibnu hishn pemuka bani fazarah, zaid khair at-thai pemuka bani nabhan, alqomah ibnu ‘ulatsah al-amiri pemuka bani kilab, dan semisalnya dari para pemimpin quraiys dari dibebaskan ketika fathul makah (thulaqau), seperti showan bin umayah, ‘ikrimah bin abi jahal, abi sufayan bin harb, suhail bin amr dan harits ibnu hisyam dan masih banyak lagi.

Dari Abi Said al-khudriyi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ketika Ali masih berada di yaman, dia mengirim emas yang masih ada tanahnya kepada Rasulullah, Maka RasuluLLah pun mem bagikannya kepada empat orang, yaitu Aqra ibnu habis al handhali, uyainah bin badr alfajari, ‘alqomah bin ‘ulatsah alamiri dari bani kilab, zaid alkhair at-thai dari bani nabhan. (Bukhari-Muslim).

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar