Oleh :
Misbahudin
Islam adalah
agama sempurna, maka dalam segi kehidupan apapun Islam memiliki sebuah
“aturan main”, tidak terkecuali masalah politik. Karena
hakikatnya Islam tidak memisahkan antara urusan agama dan urusan Negara, apa
jadinya jika Islam dipisahkan dari tatanan hidup bernegara?
Jika kita
menyelami secara tenang dengan pikiran dan hati yang jernih, sungguh jelas pada
saat RasuluLLah dan zaman khulafu ar rasyidin Islam dikonsepsikan dan afilkasikan
sebagai sebuah sistem beragama dan bernegara.
Sehingga
Nabi Muhammad _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ pada saat itu adalah sosok seorang
pemuka agama dan sebagai kepala Negara sekaligus. Oleh karena itu, Ulama besar,
Syekh Islam Ibnu Taimiyyah mengurai dan mengkonsepsikan Islam dalam tata
politik bernegara dalam kitabnya _siasah asyariyyah fi ishlahi ar-raa’I wa
ra’iyyah_.
*Kesejahteraan
Rakyat, Adil dan Makmur*
Diantara sub
tema pemikiran Ibnu taimiyyah dalam _siasah Syariyyah_ adalah bagaimana para pejabat
yang mengurusi kehidupan kaum muslimin, gubernur, hakim, ulama, para petugas yang mengurusi keuangan Negara
dalam mengumpulkan, mengurusi dan membagikanya dan semua orang-orang yang
terlibat didalamnya dan mendukung
berjalannya program-program Negara untuk menjadikannya Negara _baldatun
thayyibun warabul ghafur_.
Semua pejabat
dan petugas Negara dijamin kehidupannya oleh kas negera pada saat itu. Maka
pendapatan negara dari ghanimah, fai dan zakat mempunyai tempat penyaluran yang
sangat jelas, semua dikembalikan kepada rakyat yang membutuhkan demi kemakmuran
dan berkeadilan.
Maka
pendapat negara tersebut wajib disalurkan
kepada yang paling berhak
diantara yang berhak secara berurutan
dan bertahap demi kemaslahatan kaum
muslimin secara universal, seperti
memberikannya kepada seseorang yang mengurusi urusan kaum muslimin dan
memberikan manfaat yang banyak untuk umat.
Diantara
mereka adalah orang yang berperang di jalan Allah, merekalah para ahli jihad dan para penolong
Islam, mereka adalah yang paling berhak
mendapatkan fai (harta orang kafir yang didapat bukan karena
peperangan).
Karena tanpa
mereka tidak mungkin pemerintahan
mendapatkan pemasukan harta negara tersebut,
sehingga para ulama berbeda
pendapat, apakah _fai_ itu dikhususkan untuk mereka atau _fai_ itu
disalurkan untuk selain mereka juga untuk maslahatan secara umum semua kalangan
masyarakat?.
Adapun harta semua kekayaan Negara dipergukan untuk
kemaslahatan secara univerasal dan merata, kecuali
jenis pendapat negara dari zakat dan ghanimah.
Adapun
kekayaan Negara selain disalurkan kepada yang berhak, kepada orang yang
memerikan manfaat kepada ummat, kekayaan
Negara juga dipakai untuk menunjang keberhasilan para tentara di daerah
perbatasan, menyiapkan kendaraan mereka, senjata mereka. Dan kekayaan negara juga
disalurkan untuk infrastuktur seperti
jalan-jalan yang mendukung mobilitas
masyakarat, jembatan-jembatan, dan saluran-saluran irigasi air dan sungai.
*Harta
Negera Untuk Yang Membutuhkan*
Para ulama berselisih
pendapat apakah Orang yang membutuhkan _(dzul
hajjah)_ diutakan untuk mendapatkan
harta non zakat seperti _fai_ dan yang lainnya dari pendapat kekayaan
Negara?. Maka dalam madhab imam Ahmad
dan yang lainnya, mereka berpendapat bahwa
harta kekayaan Negara adalah untuk kebutuhan secara umum umat Islam tanpa memilah milih seperti halnya ahli waris yang semua mendapatkan jatah dari
harta warisan mayit.
Pendapat
yang benar mereka didahulukan, karena Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ mendahulukan orang yang membutuhkan sebagaimana
nabi mendahulukan memberikan
harta kepada bani nadhir.
Dalam
pemerintah Umar bin Khataab _radhiyaLLahu ‘anhu_ , beliau pernah berkata, “ tidak ada yang paling berhak dari harta
kekayaan Negara ini kecuali
seseorang yang paling dulu masuk
islam, orang yang produktivitas memberikan manfaat, orang yang paling besar jasanya dan orang yang membutuhkan”.
(HR. Ahmad).
Klasifikasi
Mustahiq Penerima Harta Negara
Umar Bin
Khattab _radhiyaLLahu ‘anhu_ mengklasifikasikan kelompok yang mendapat harta
pemerintah menjadi empat golongan
Pertama, orang yang lebih dahulu masuk Islam, Maka dengan lebih dulunya masuk Islam, maka
mereka berhak mendapatkan harta Negara.
Kedua, orang
yang berjasa besar dalam memenuhi kebutuhan hidup secara lahi dan batin,
seperti penguasa, ulama yang memberikan kemanfaatan secara duniawi dan ukhrowi.
Ketiga,
orang yang berjasa besar dalam melinduni kaum muslimin dari marabahaya, seperti
mujahid fisabiliLLah, para pasukan perang, mata-mata, para pengintai dan para
penasehat.
Keempat,
adalah yang membutuhkan
Apabila
empat kelompok diatas mendapat bantuan dari donator (mutabariun), maka sungguh
Allah mencukupkan dengannnya, tetapi jika tidak ada, maka mereka diberi
tunjangan dari baitul mal sesuai dengan
kebutuhannya atau sesuai dengan kadar
beratnya sebuah tugas, dan jika mengetahui jika pemberian santunan dari
harta umat dan zakatitu berdasarkan sebuah tugas dan pekerjaan dan sesuai dengan
kebutuhannya. Maka tidak boleh menambah
kadar pemberian itu kecuali sesuia dengan kadar orang yang setingkat
dalam tugas dan tanggung jawabnya. Persis seperi pembagian ghanimah dan waris.
Memberikan Harta
Negara Untuk Menunudukan Hati
Salah satu
strategi siasyah syariyyah dalam melunakan hati seseorang agar loyal
kepada penguasa Islam adalah dengan
memberikan materi. Sebagaimana Allah
subhanahuwata’ala membolehkannya dalam
al-Qur’an untuk memberikan harta zakat
untuk melembutkan hati seseorang.
Sebagaimana
RasuluLLah memberi kepada muallaf yang
ingin dilembutkan hatinya agar lebih kuat condong kepada Islam dari harta
fai, dan lainnya sebagainya, dan mereka
adalah para pemimpin yang gugu dan ditiru oleh kelompoknya dan sukunya,
sebagaimana Nabi memberi aqra ibnu haabis pemuka bani tamiim, uyainah ibnu
hishn pemuka bani fazarah, zaid khair at-thai pemuka bani nabhan, alqomah ibnu
‘ulatsah al-amiri pemuka bani kilab, dan semisalnya dari para pemimpin quraiys
dari dibebaskan ketika fathul makah (thulaqau), seperti showan bin umayah, ‘ikrimah
bin abi jahal, abi sufayan bin harb, suhail bin amr dan harits ibnu hisyam dan
masih banyak lagi.
Dari Abi
Said al-khudriyi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ketika Ali masih berada di
yaman, dia mengirim emas yang masih ada tanahnya kepada Rasulullah, Maka
RasuluLLah pun mem bagikannya kepada empat orang, yaitu Aqra ibnu habis al
handhali, uyainah bin badr alfajari, ‘alqomah bin ‘ulatsah alamiri dari bani
kilab, zaid alkhair at-thai dari bani nabhan. (Bukhari-Muslim).
# Disarikan
Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh
An-Nahala Research Forum)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar