Selasa, 16 Juli 2019

NABI SEORANG KEPALA NEGARA YANG “PRO RAKYAT”



Oleh : Misbahudin

Nabi Muhammad _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  adalah sosok keteladan yang sempurna dan paripurna, dalam setiap aspek kehidupan Rasulullah terdapat sebuah hikmah, pelarajaran dan renungan, hidup dan kehidupannya bak mentari yang yang menyinari arah langkah kehidupan manusia untuk memaknai setiap episode kehidupan.

Nabi Muhammad  selain sosok guru teladan, jendral perang yang handal, sosok hakim yang berkeadilan, sosok pembisnis yang ulung,  beliau juga adalah sosok pemimpin Negara yang membawa nilai-nilai keismalan yang rahmatal lil ‘alamin.

Rasulullah telah membawa negeri yang tandus dan terbelakang menjadi tempat  yang penuh keberkahan dan kedamaian, terwujudnya sebuah negeri yang _baldatun warabbul ghafuur_, sebuah negeri yang menjadi protopif peradaban dan  penuh dengan atmosfir kedamaian dan kerukunan antara masyarakatnya.

Sosok pemimpin Negara yang menyatukan ras, suku, kabilah bahkan agama, orang kafir pun merasakan  nyaman dan tentram dibawah kepemimpinannya dan kepemimpinan _khulafa rasyidin_. 

Islam bak cahaya yang mengusir kegelapan, kegelapan dalam berfikir, kegelapan dalam keyakinan dan kegelapan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Islam akan mebimbing Orang-orang yang beriman dari “kejahiliyaan” yang gelap gulita menuju  cahaya benderang keimanan.


اللَّهُ وَلِىُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمٰتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطّٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمٰتِ ۗ أُو۟لٰٓئِكَ أَصْحٰبُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خٰلِدُونَ

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 257)


*Kepemimpinan yang Pro Rakyat*

Ibnu Taimiyyah menegaskan dalam _siasah syariyyah_  bahwa dalam kepemimpinan Nabi sebagai kepala Negara, beliau hanya memungut zakat saja  dari umat Islam.  Dan bagi orang kafir, Rasulullah mewajibkan mereka untuk membayar _jizyah_ sebuah pungutan untuk menjamin kemanaan mereka hidup dan beraktivitas di negeri muslim.

Dapat kita bayangkan bagaimana beban-beban di pundak kaum muslimin pada saat itu terasa ringan, karena tidak dituntut untuk membayar pungutan  ini dan itu.  Mereka hanya wajib membayar zakat saja kepada negera.  Dan zakat mempunyai “nilai rasa” yang berbeda dengan pajak. Zakat bercita rasa spiritual untuk pembuktian ketaatan kepada Allah bukan hanya urusan antara kepala Negara dan rakyatnya.

Keadialan bukan hanya untuk penduduk yang muslim saja , keadilan itu berlaku untuk semua  penduduk pada saat itu,  Umar bin Khattab. Satu waktu, ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.

Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pe san Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak di duga nya itu. Saat itu pula, ia me ngem balikan rumah Yahudi yang di gusur nya.

Sungguh sebuah kepemimpinan dari kepemerintahan yang pro rakyat, semua rakyat merasakan keadilan yang sama terlepas dari perbedaan suku  dan agama.
Disisi lain, Nabi memerintahkan dan memotivasi secara khusus umat Islam  untuk berjuang dengan harta dan jiwa mereka. Sebagaimana Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ


Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ


Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (QS. Ash-Shaf : 10-12)

Sebuah gerak yang lahir dari sebuah motivasi dari dalam diri pasti akan menghasilkan sebuah tindakan yang totalitas jauh dari keterpaksaan, karena imbalan bagi mereka yang menjual harta dan jiwanya kepada Allah, mereka akan mendapatkan pahala surga.

*Lembaga Keuangan Dalam Pemerintahan Islam*

Lembaga keuangan yang mengurusi keuangan umat islam di zaman Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ dan zaman Abu Bakar belum ada.  Penyaluran zakat hanya baru bersifat manual secara berkala dengan pertimbangan situasi dan kondisi.

Baru ketika masuk zaman kepemimpinan Umar Bin Khattab _radhiyaLLahu ‘anhu_  lembaga  keuangan terbentuk. Karena keuangan Negara sudah semakin banyak, seiring dengan  pertambahan wilayah kekuasaan Islam  dan meningkatnya populasi umat Islam.

Maka lembaga keuangan tersebut memiliki tugas dan fungsi, diantaranya adalah mendistribusikan tunjangan pegawai-pegawai pemerintahan, seperti tentara dan  lain-lainnya. Dan di daerah-daerah sudah ada lembaga-lembaga resmi Negara untuk mengartur dan menangani pendapatan Negara seperti,  hasil pertanian ­_(kharaj)_, fai,  Oleh karena itu, pada zaman Nabi dan khulafau ar rasyidin senantiasa melakukan aktivitas audit atau supervise pegawai-pegawai  pengurus zakat, fai dan lainnya sebagainya.

Harta yang lain yang dihukumi  sama dengan fai adalah seluruh harta aset penguasa yang di _baitul mal_  seperti harta yang tidak jelas kepemilikannya, harta yang ditinggalkan mayit yang tidak memilki ahli warist, barang curian _ghusuub_, harta pinjaman, harta titipan yang tidak jelas kepemilikannya,  dan harta-harta yang lain dari harta seorang muslim baik aset harta kekayaan yang tidak bergerak  _(‘aqar)_  ataupun asset harta kekayaan yang bergerak _(manqul)_.

Maka aset-aset tersebut adalah aset-aset bagi kaum muslimin,  akan tetapi dalam konteks dalil, Allah hanya menyebutkan  dalam Al-Qur;an dengan istilah _fai_ saja. Karena sesungguhnya di zaman Nabi  Muhammad _shalaLLahu “alahi Wasalam_  tidak seseorang yang meninggal kecuali  dia mempunyai  ahli waris yang jelas karena garis keturunan yang jelas.

Pada suatu hari telah meninggal  seseorang dari sebuah kabilah, maka harta warisannya diberikan kepada orang paling dituakan dari kabilah tersebut,  atau diberikan kepada nasab yang paling dekat dengan kakeknya.  Dan pendapat ini  dipakai oleh sebagian  ulama seperti Imam Ahmad dan lain-lain.

Dan ada juga yang seseorang yang meninggal, akan tetapi tidak meninggalkan  ahli waris kecuali hanya bekas budak _(‘atiqaan)_ maka harta warisan diberikan kepadanya. Dan pendapat ini dipakai  oleh pengikut imam Ahmad  dan yang lainnya.

Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ pernah memberikan harta warisan kepada seseorang yang sekampung dengan si mayit dikarenakan tidak memiliki ahli waris.  Nabi dan khulafa ar rasyidin  sangat longgar dalam penyerahan harta warisan  tidak ketat asalkan saja antara yang meinggal dan yang akan diberikan harta warisan punya sebab-sebab personal yang disebutkan diatas.

*Macam-Macam Harta Dari Zaman Old Sampai Zaman Now*

Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa  macam-macam harta  dari zaman Nabi sampai saat ini, tidak akan lepas dari tiga katagori, yaitu :  

*Pertama*, harta yang diharamkan untuk  secara ijma untuk diambil oleh pemerintah untuk  disimpan di _baitul Mal_  adalah harta  yang dipungut dari penduduk kampung  sebagai ganti rugi karena di tempatnya ada sosok mayat yang telah dibunuh dan dimayat masih mempunyai ahli waris.

Demikian juga harta yang diambil dari seseorang sebagai had atas suatu perbuatan dosa, demi batalnya hukuman yang harus diterimanya, hal ini ulama menyamakannya sebagai  pajak yang tidak diperkenankan untuk  diambil menerut kesepakatan ulama.

*Kedua* , jenis harta yang  berhak dipungut oleh  imam/amirul mu’minien  berdasarkan Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma   dari rakyat yang dipimpinnya, termasuk katagori ini zakat, Fai.

*ketiga*, jenis harta yang masih dalam perdebatan dan masih dalam ranah ijtihad, seperti harta mayit yang hanya memiliki  _dawil arham_ dan tidak memilki _dzawil furud_ dan  _ashabah_.


# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar