Oleh :
Misbahudin
_وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]
Maka apabila _waliyul amri_ menyita barang
berharga dari para pegawainya untuk diri sendiri atau untuk keluarganya, maka
tidak sepantas menolong salah satu diantara keduanya, jika waliul amri dan
pekerjanya sama sama telah berbuat kedzaliman
dengan cara mengabil sesuatu yang tidak halal baginya.
Seperti halnya, membantu pencuri yang
mencuri dari yang mencuri, membantu dua
kelompok yang saling bertikai karena sebab fanatik kelompok dan karena berebut
kekuasaan, dan tidak boleh seseorang menolong
untuk sebuah kedzaliman.
Maka Ibnu Taimiyyah membagai tolong
menolong itu kepada dua macam,
Pertama, tolong menolong atas kebaikan dan
ketaqwaan, diantaranya adalah jihad, menegakan hudud, menunaikan hak orang lain, menyalurkan harta kepada yang berhak
menerima, dan apapun yang yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya.
Barang siapa yang tidak melaksanakannya
karena ketakutan tergelincir kedalam
kedzaliman, maka sungguh dia telah
meninggalkan sesuatu yang wajib ‘ain atau wajib kifayah, dan menganggap hal itu
adalah bentu sikaf _wara_. Padahal
sering kali sikap pengecut dan lemah itu terlihat seperti sikap _wara_, karena memiliki kemiripan dalam hal menahan
diri.
Kedua,
tolong menolong dalam dosa dan
permusuhan, seperti membantu orang lain
menumpahkan darah, atau mengambil
harta yang dilindungi, atau memukul orang yang tidak berhak dipukul
dan lain sebagainya.
Apabila harta telah diambil dengan cara yang
tidak benar, dan mustahil untuk mengembalikannya kepada yang punya, seperti
hampir semua kekayaan penguasa yang dzalim (pada saat Ibnu Taimiyyah hidup),
maka cara membantunya adalah dengan cara menyalurkan untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti
penjaga perbatasan, membiayai pasukan
dan lain sebagainya yang mengandung unsur kebaikan dan ketaqwaan.
Dan wajib bagi penguasa mengelola dan menyalurkan harta yang tidak
mengkin diketahui pemiliknya, dan mustahil untuk mengembalikan kepada
pemiliknya atau kepada ahli warisnya.
Dan seyogyaanya penguasa menyalurkan harta tersebut untuk kemaslahatan
kaum muslimin secara umum dengan dibarengi bertaubat jika dia telah berbuat dhalim.
Hal tersebut merupakan pendapat jumhur ulama
seperti imam malik, abu Hanifah,
Ahmad, pendapat ini dinukil dari banyak sahabat, dan hal ini sesuai dengan dalil-dalil syariat
sebagaimana yang telah dijelaskan
ditempat yang lain.
Dan jika ada pihak lain yang mengambil harta benda tersebut, maka dia juga harus
menyalurkan kepada pihak yang berhak mendapatnya, dan jika penguasa enggan untuk mengembalikan kepada pemiliknya, maka membantunya untuk
menggunakannya demi kemaslahatan pemiliknya adalah lebih utama daripada
membiarkannya ditangan orang yang tidak memberikan mashalat sedikitpun
kepada pemiliknya dan atas kaum
muslimin.
Maka sumber syariat itu adalah firman Allah ta’ala.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ath-Thagabun : 16)
Ayat
ini ditafsirkan oleh ayat yang lain.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran : 102)
Dan
tafsirkan juga melalui sabda Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ
مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku
perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang
sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan
mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Merupakan sebuah kewajiban untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menyempurnakannya, dan menghilangkan kerusakan dan meminimalisirnya, maka apabila
bertentangan maka mewujudkan yang paling besar maslahatanya dan mengabaikan maslahat/kebaikan yang lebih
kecil, dan menghilangkan kerusakan yang
lebih besar meskipun kerusakan kecil
mungkin terjadi.
Memberikan bantuan atas sebuah tindakan dosa dan permusuhan adalah dengan cara membantu orang dhalim dalam kedzalimannya, adapun menolong yang didzalimi agar lebih
ringan kedzaliman yang dia dapat maka
dia adalah wakilnya yang akan menolong yang didzalimi bukan yang
mendzalimi, seperti halnya orang yang
meminjamkan hutang atau orang yang
menjamin tunggakan hartanya kepada yang mendzalimi.
Seperti halnya, yang mengurus yatim, mengurus keuangan
zakat, apabila orang memintanya secara
dzalim harta tersebut, maka dia berusaha
untuk menolaknya dengan cara
memberikan lebih sedikit daripada yang
diminta atau memberikan alternatef lainnya.
Maka jika dia benar-benar
bersungguh-sungguh, maka pentugas atau pengurus ini tidak bisa dipersalahkan.
Demikan juga
para petugas penguasa dari juru bicara, asisten, dan petugas-petugas yang lainnya, yang dia mana penguasa memberikan kewenangan
dalam membuat akad, menari uang dan memberikankannya kepada yang berhak dari
rakyatnya, tidak memberikan wewenang itu kepada orang dzalim untuk mengrusnya.
Demikian juga
apabila kedzaliman dengan pungutan uang ilegal terjadi kepada penduduk
kampung, pengguna jalan, penduduk pasar, warga kota, maka ada sosok laki-laki baik yang menjadi penengah untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan
berbagai cara yang memungkinkan dan membagi pungutan itu merata ke semua sesuai
dengan kemampuan masing-masing tanpa ada
keberpihakan kepada diri sendiri atau yang lainnya dan tidak menuntut
upah, bahkan dia menjadi penanggung
jawab bagi mereka untuk menangkal kedzaliman itu.
Tetapi, dalam realitas, sering orang yang
terlibat dalam kedzaliman itu dia menjadi
wakil dan pembantu orang-orang yang dzalim atu menuntu upah untuk meringkan
siapa yang menghendakinya dan dia memungut uang
kepada siapa yang dia kehendaki, dan ini adalah merupakan sebuah
kedzaliman yang paling besar yang pelakunya akan dikumpulan didalam
peti-peti di dalam neraka (majmuul
fatawa 30/356-360)
#
Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh
An-Nahala Research Forum)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar