Selasa, 16 Juli 2019

TOLONG MENOLANG DALAM KEBAIKAN DAN KETAQWAAN



Oleh : Misbahudin


_وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]



Maka apabila _waliyul amri_ menyita barang berharga dari para pegawainya untuk diri sendiri atau untuk keluarganya, maka tidak sepantas menolong salah satu diantara keduanya, jika waliul amri dan pekerjanya sama sama telah berbuat kedzaliman  dengan cara mengabil sesuatu yang tidak halal baginya.

Seperti halnya, membantu pencuri yang mencuri  dari yang mencuri, membantu dua kelompok yang saling bertikai karena sebab fanatik kelompok dan karena berebut kekuasaan, dan tidak boleh seseorang menolong  untuk sebuah kedzaliman.

Maka Ibnu Taimiyyah membagai tolong menolong  itu kepada dua macam,

Pertama, tolong menolong atas kebaikan dan ketaqwaan, diantaranya adalah jihad, menegakan hudud,  menunaikan hak orang lain,  menyalurkan harta kepada yang berhak menerima, dan apapun yang yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya.

Barang siapa yang tidak melaksanakannya karena ketakutan tergelincir  kedalam kedzaliman,  maka sungguh dia telah meninggalkan sesuatu yang wajib ‘ain atau wajib kifayah, dan menganggap hal itu adalah bentu sikaf _wara_.  Padahal sering kali sikap pengecut dan lemah itu terlihat seperti sikap _wara_,  karena memiliki kemiripan dalam hal menahan diri.

Kedua,  tolong menolong dalam  dosa dan permusuhan,  seperti membantu orang lain menumpahkan darah,  atau mengambil harta  yang dilindungi,  atau memukul orang yang tidak berhak dipukul dan lain sebagainya.

Apabila harta telah diambil dengan cara yang tidak benar, dan mustahil untuk mengembalikannya kepada yang punya, seperti hampir semua kekayaan penguasa yang dzalim (pada saat Ibnu Taimiyyah hidup), maka cara membantunya adalah dengan cara menyalurkan  untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti penjaga perbatasan, membiayai pasukan  dan lain sebagainya yang mengandung unsur kebaikan dan ketaqwaan.

Dan wajib bagi penguasa  mengelola dan menyalurkan harta yang tidak mengkin diketahui pemiliknya, dan mustahil untuk mengembalikan kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya.  Dan seyogyaanya penguasa menyalurkan harta tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum dengan dibarengi bertaubat  jika dia telah berbuat dhalim.   

Hal tersebut merupakan pendapat jumhur ulama seperti imam malik,  abu Hanifah, Ahmad,   pendapat ini dinukil dari  banyak sahabat,  dan hal ini sesuai dengan dalil-dalil syariat sebagaimana yang telah dijelaskan  ditempat yang lain.

Dan jika ada pihak lain yang  mengambil harta  benda tersebut, maka dia juga harus menyalurkan kepada pihak yang berhak mendapatnya,  dan jika penguasa  enggan untuk mengembalikan  kepada pemiliknya, maka membantunya untuk menggunakannya demi kemaslahatan  pemiliknya adalah lebih utama daripada membiarkannya ditangan orang yang tidak memberikan mashalat sedikitpun kepada  pemiliknya dan atas kaum muslimin.

Maka sumber syariat itu adalah firman  Allah ta’ala.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.  (QS. Ath-Thagabun : 16)

 Ayat ini ditafsirkan oleh ayat yang lain.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran : 102)


Dan tafsirkan juga melalui sabda Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya, dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka banyak bertanya dan karena penentangan mereka terhadap para nabi mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merupakan sebuah kewajiban untuk mewujudkan kemaslahatan dan  menyempurnakannya,  dan menghilangkan kerusakan  dan meminimalisirnya,  maka apabila  bertentangan  maka mewujudkan  yang paling besar maslahatanya  dan mengabaikan maslahat/kebaikan yang lebih kecil,  dan menghilangkan kerusakan yang lebih besar   meskipun kerusakan kecil mungkin terjadi.

Memberikan bantuan  atas sebuah tindakan dosa dan permusuhan  adalah dengan cara membantu  orang dhalim dalam kedzalimannya,  adapun menolong yang didzalimi agar lebih ringan  kedzaliman yang dia dapat maka dia adalah wakilnya yang akan menolong yang didzalimi bukan yang mendzalimi,  seperti halnya orang yang meminjamkan hutang  atau orang yang menjamin  tunggakan  hartanya kepada yang mendzalimi.

Seperti halnya,  yang mengurus yatim, mengurus keuangan zakat,  apabila orang memintanya secara dzalim  harta tersebut, maka dia berusaha untuk menolaknya  dengan cara memberikan  lebih sedikit daripada yang diminta atau memberikan  alternatef lainnya.  Maka jika dia benar-benar bersungguh-sungguh, maka pentugas atau pengurus ini tidak bisa dipersalahkan.

Demikan juga  para petugas penguasa dari juru bicara, asisten,  dan petugas-petugas yang lainnya,  yang dia mana penguasa memberikan kewenangan dalam membuat akad,  menari uang dan  memberikankannya kepada yang berhak dari rakyatnya,  tidak memberikan wewenang itu  kepada orang dzalim untuk mengrusnya.

Demikian juga  apabila kedzaliman dengan pungutan uang ilegal terjadi kepada penduduk kampung,  pengguna jalan,  penduduk pasar, warga kota,  maka ada sosok laki-laki baik  yang menjadi penengah   untuk menghilangkan kedzaliman itu dengan berbagai cara yang memungkinkan dan membagi pungutan itu merata ke semua sesuai dengan  kemampuan masing-masing  tanpa ada  keberpihakan kepada diri sendiri atau yang lainnya dan tidak menuntut upah,  bahkan dia menjadi penanggung jawab  bagi mereka  untuk menangkal kedzaliman itu.

Tetapi, dalam realitas, sering orang yang terlibat dalam kedzaliman itu  dia menjadi wakil dan pembantu orang-orang yang dzalim atu menuntu upah untuk meringkan siapa yang menghendakinya dan dia memungut uang  kepada siapa yang dia kehendaki, dan ini adalah merupakan sebuah kedzaliman yang paling besar yang pelakunya akan dikumpulan didalam peti-peti  di dalam neraka (majmuul fatawa 30/356-360)

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar