Selasa, 16 Juli 2019

KEKOMPAKAN PENGUASA DAN RAKYAT DALAM KEDHALIMAN



Oleh : Misbahudin

Ibnu Taimiyyah menyebutkan tidak sedikit terjadi kedzaliman oleh penguasa dan rakyatnya dalam sebuah tatana kenegaraan, penguasa memungut bayaran yang tidak dihalalkan,  dan sebaliknya, terkadang rakyat enggan untuk menunaikan kewajibannya. Sebagaiman mana yang terjadi antara para tentara dan para petani awam.

Para petani pada saat Ibnu Taimiyyah hidup, terkadang sebagian mereka enggan dan berat untuk melakukan jihad fisabiliLLah yang telah diwajibkan atas  mereka pada saat itu, dan disisi yang lain, penguasa dan para pejabatnya hanya fokus untuk mengumpulkan dan menimbun harta kekayaan yang tidak dihalalkan oleh Allah.

Kedzaliman juga terjadi dalam masalah hukum yang berkaitan dengan harta,  kadang  perkara yang boleh dan wajib dijatuhi hukuman, malah dibiarkan, sedangkan perkara yang yang tidak bermasalah secara hukum malah dikriminalisasikan.

Kaidah dasarnya adalah bahwa setiap orang yang wajib menunaikan kewajiban dari harta bendanya, maka harus melaksanakannya,  seperti seorang laki-laki  yang dititipi sesuatu barang titipan,  atau seseorang yang mempunyai hak bagi hasil _(mudharabah)_,  atau _syirkah_ atau diberi hak mewakili urusan harta benda, harta yatim,  harta waqaf,  atau mengusi harta _baitul Mal_. Atau seseorang yang mempunyai hutang dan mampu untuk untuk membayarnya.

Maka orang tersebut wajib diberikan hukuman  sehingga dia mengeluarkan harta benda yang wajib dia keluarkan,  atau dengan menunjukan tempat penyimpanannya, maka jika kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut sudah ditunaikan, maka orang tersebut tidak perlu lagi mendapatkan hukuman.

Akan tetapi jika dia menolak untuk menunaikan kewajibannya dan tidak mau menunjukan tempat penyimpan harta yang wajid ditunaikannya itu, maka  dia harus di hukum dengan dicambuk sehingga tergerak hatinya untuk menunaikan kewajibannya  dan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas kewajibannya itu. Demikian juga halnya, orang yang enggan memberikan nafkah kepada keluarganya padahal dia mampu  untuk menunaikannya.


Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin asy-syarid dari bapaknya dari Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_, sesungguhnya dia bersabda, “  Menunda-nundanya kewajiban seorang yang mampu, maka dihalakan  kehormatan dan hukuman baginya”.  (HR. Ahmad).

Dan Nabi Muhammad pernah bersabda, “ menunda-nundanya kewajiban bagi orang yang kaya adalah kedzaliman”.  (HR. Bukhari Muslim).

Maka orang dhalim pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal, dan hal ini merupakan hal yang disepakati demi tegaknya keadailan, bahwa siapa saja yang mengerjakan hal-hal yang dilarang dan  meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, maka dia harus dihukum, dan jika hukumya tidak ditentukan oleh syariat, maka disini peran seorang pemimpin untuk berijtihad mencari konsep hukuman  yang sesuai, maka akan orang kaya yang menunda-nunda pembayaran kewajibannya akan dihukum dengan penjara.

Jika masih saja tidak bertaubat, maka dinaikan level hukumannnya baginya dengan sebuah cambukan sehingga dia menunaikan kewajibannya, hal ini ditetapkan  oleh para fuqaha  dari para pengikut imam Malik, syafi’i, ahmad dan yang lainnya, dan tidak ada perdebatan sedikitpun di dalam masalah ini.

Dari Ibnu Umar _radhiyaLLahu ‘anhu_  dia berakata,  sesungguhnya  Nabi  _shalaLLahu ‘alahi wasalam_, mengadakan perjanjian damai dengan bani khaibar  dengan syarat untuk meninggalkan  dinar, dirham dan senjata, beliau bertanya kepada salah seorang yahudi, yaitu sa’yah (paman  huyaa bin akhtab),  tentang harta simpanan huya bin akhtab?, maka sa’yah menjawab, “ sungguh harta simpananya telah habis untuk nafaqah kehidupannya sehari-hari dan untuk keperluan perang”. Maka nabi bersabda, “ peperangan sebentar dan hartanya lebih banyak dari keperluan perang itu”.

Maka RasuluLLah pun menyerahkan sa’yah  kepada Zubair, maka zubar pun menimpakan siksaan  kepadanya, Maka sa’yah pun menjawab, “ sungguh aku melihat huyya di reruntuhan disnana”. Maka para sahabat pun pergi kesana, dan mengitari reruntuhan tersebut, dan akhirnya merekapun menemukan buntalan kulit dis sebuah lobang.  (HR. Bukhari-Muslim).


Sa’yah adalah seorang lelaki kafir dhimmi, dan kafir dhimmi tidak halal untuk diberikan hukuman kecuali dengan alasan yang benar, dan demikian juga untuk siapa yang saja yang menyembunyikan  apa-apa yang perlu ditampkan seperti penjelasan yang wajib diutarakan dan lain sebagainya, maka  harus dihukum karena meninggalakn kewajibannya itu.

Dan apa-apa yang diambill oleh oknum-oknum pegawai atau selainnya  dari harta seorang muslim ,  pemimpin yang adil mempunyai wewenang untuk  menyitanya,  seperti hadiah  yang mereka ambil dengan sebab  pekerjaannya.

Abu Said Al-khudri _radhiyaLLahu ‘anhu_  telah berkata, “hadiah untuk para pekerja adalah _ghuluul_ (korupsi)”.

Ibrahim al Harbi meriwayatkan dalam kitab (hadaaya), dari Ibnu abbas  _radhiyaLLahu ‘anhu_, sesungguhnya Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  bersabda, “  hadiah untuk seorang pejabat adalah korupsi _(ghulul)_.


عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

“Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.“  (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim).

*Servis Lebih Untuk Pejabat*

Demikian juga permasalahan apapun yang mengistimewakan para pejabat di dalam urusan muamalat, seperti dalam jual beli, sewa menyewa _(muazarah)_,  bagi hasil _(mudharabah)_,  sewa lahan pertanian _(Musaaqah)_ dan kerja sama dalam pengelolahan lahan _(muzaraah)_,  dan lain sebagainya dari hal-hal yang bersifatnya memberikan hadiah.

Oleh karena itu, Umar Bin Khatab _RadhiyaLLahu ‘anhu_ membagi rata  kelebihan-kelebihan dari harta para pegawainya, walaupun tidak punya indikasi berkhianat, hal tersebut dilakukan karena  mereka mendapatkan pelayanan lebih karena kedudukan dan jabatan mereka. Dan Umar melakukan hal tersebut karena kondisi saat itu menuntut agar bersikap seperti itu untuk memenuhi rasa keadilan.

*Pemimpin Dan Rakyat Yang Melenceng Dari Jalan Allah*

Maka takla pemimpin, pejabat dan rakyat menyimpang dari jalan kebenaran, maka wajib bagi orang-orang  yang sadar  untuk melakukan  kewajiabanya memberikan nashihat sesuai dengan kadar kemampuannya, untuk meninggalkan  apa yang diharamkan baginya dan  tidak mengharamkan apa yang Allah bolehkan baginya.

Sungguh manusia akan diuji oleh pejabat  yang enggan menerima hadiah dan sebagainya, agar  memungkinkan dengan hal itu bisa tertunaikan dan terselesaikan kedzaliman-kedzaliman yang terjadi pada mereka. Akan tetapi disisi lain, pejabat yang tidak mau menerima hadiah ini meninggalkan apa yang Allah wajibkan  dari pemenuhan dan penyelesainan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya.

Oleh karena itu maka timbulkah para oknum-oknum pejabat atau pegawai yang  mau mengambil hadiah dan sejenisnya untuk menyesaikan masalah mereka dari kedzaliman  dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Maka sungguh tipikal pejabat atau pegawai yang pertama ini  telah menjual akhirat mereka dengan urusan dunia  orang lain, dan seburuk-buruknya manusia adalah orang yang bertransaksi untuk keselematan akhirat mereka tetapi tidak menunaikan kewajiban atas tugasnya terhadap urusan dunia orang lain.


*Kewajiban Mencegah kedzaliman*

Maka sungguh merupakan sebuah kewajiban untuk mencegah kedzaliman terjadi di tengah-tengah mereka demi terwujudunya kemaslahatan hidup mereka,  dengan cara menyampaikannya kepada pihak yang berwenang berkaitan dengan urusan-urusan mereka, kebutuhan-kebutuhan mereka,  dan menyampaiakn keinginan-keinginan mereka.

Dan menghilangkan  kesulitan-kesulitan dan kemadharatan dengan berbagi cara baik secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan,  sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu yang menulis surat kepada penguasa.

Hadits dari Hindun Bin Abi halah _radhiyaLLahu ‘anhu_  dari Nabi _shalaLLahu ‘alahi wasalam_  , sesungguhnya beliau bersabda, “ laporkan kepadaku hajat orang yang tidak mampu menyampaikannya, karena barang siapa yang melaporkan  hajat orang tidak dapat menyampaikannya kepada penguasa, niscaya Allah  akan meneguhka  kedua kakinya diatas shirat di hari dimana kaki-kaki manusia tergelincir.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)










Tidak ada komentar:

Posting Komentar