Jumat, 13 September 2019

HAK-HAK DALAM HARTA


HAK-HAK DALAM HARTA
Oleh : Misbahudin

Dalam urusan harta, yang wajib adalah menghukuminya diantara manusia secara adil sesuai dengan perintah Allah dan Rasulnya. Misalnya, dalam pembagian waris kepada ahli waris, harus sesuai dengan yang tercantum dalam Al-Qur’an  dan as-sunnah, meskipun ada beberapa masalah di dalamnya yang masih diperselisihkan para ulama.

Begitu pun halnya dalam berbagai macam muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, perserikatan, hibah, wakaf, wasiat, dan muamalat yang lainnya, yang terikat dengan akad dan pembayaran, keadilan dalam muamalah ini merupakan pilar inti bagi umat manusia,  urusan dunia dan akhirat mereka tidak akan baik tanpanya.

Ada keadilan yang dapat diketahui oleh semua orang dengan akal sehat, seperti pembeli  wajib membayar harga, penjual wajib memberikan barang yang dibeli, haram berbuat curang, dalam menakar dan menimbang, serta wajib bersikap jujur dan menjelaskan kondisi barang apa adanya. Selain itu, juga haram  berbohong, berkhianat, dan menipu serta orang yang memberi pinjaman sudah seharusnya dibalas dengan melunasi pinjaman tersebut dan berterima kasib kepadanya.

Ada juga keadilan yang samar, namun semua syariat mengajarkannya, termasuk  syariat kita, umat Islam,  semua muamalah yang dilarang Al-qur’an dan As-sunnah  pada intinya untuk mewujudkan keadilan  dan mencegah kedzaliman  yang kecil maupun yang besar. Mislanya, memakan harta secara dzalim, batil,  seperti riba, judi, dan jenis dari kedua hal itu, yang terlah dilarang oleh Nabi, seperti jual beli gharar (spekulasi), jual beli janin dalam perut hewan (habalu hublah), menjual burung yang masih terbang di udara, menjual ikan yang masih di dalam air,  menjual secara tempo  hingga batas waktu yang tidak  tidak jelas, jual beli musharrah (tidak memeras susu hewan berhari-hari biar seolah-olah hewan bersusu banyak),  jual beli mudalis (memanipulasi barang), mulamasah (membeli barang dengan spekulasi sentuhan),  munabadzah ( membeli dengan cara melempar barang yang hendak dibeli), muazabanah (menjual barang dengan mencampurkan yang masih basah  dan kering, muhaqalah (jual beli dengan derivasi, menjual kurma kering dengan kurma basah), nazasy (menawar barang dengan harga tinggi tapi tidak dengan tujuan membeli, hanya untuk membuat kerugian).

Menjual buah yang belum muncul tanda kematangannya,  termasuk berbagai bentuk kerja sama yang rusak dan dilarang, seperti mukhabarah (kerja sama dengan membagi wilayah bukan bagi hasil),

Kaidah  utama dalam mualamat adalah muamalah yang dibutuhkan manusia tidak haram kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sebagaimana ibadah apapun yang mereka lakukan  untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak disyariatkan kecuali yang dinaytakan oleh Al-Qur’an dan as-sunnah. Sebab ibadah itu adalah apa yang disyariatkan oleh Allah, sedangkan perkara yang haram itu, adalah apa yang diharamkan oleh Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. Nisa : 59)

Ini adalah kebalikan dengan jalan yang ditempuh orang-orang yang dicela oleh Allah karena mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah, menyekutukan Allah tanpa hujjah, dan membuat aturan  untuk manusia  berupa ajaran yang tidak Alah izinkan.

Ya Allah berilah kami petunjuk agar dapat menghalalkan  apa yang engkau halalkan, mengharamkan apa yang engkau haramkan, dan menjalankan aturan hidup  dari apa yang negkau syariatkan. aamin

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)


HAK SUAMI ISTRI



Oleh : Misbahudin

Di antara hak yang harus dipenuhi adalah hak dalam urusan persetubuhan, menghukumi suami istri wajib sesuai dengan ketentuan Allah, yaitu mempertahankan istri dengan cara yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.

Oleh karena itu, masing-masing dari suami  maupun istri wajib menunaikan  hak-hak pasangannya dengan sukarela dan lapang dada. Seorang istri  memiliki  hak pada harta suami berupa maskawin dan nafkah  secara patut, serta hak fisik  berupa pergaulan  dan kebutuhan seks.

Jika suami  melakukan ila (suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya) terhadap istrinya maka istri berhak mengajukan cerai berdasarkan ijma kaum muslimin. Begitu juga, jika ternyata  suaminya adalah orang-orang yang dikebiri kemaluannya atau menderita impotensi sehingga tidak mampu melakukan hubungan seks, istri memiliki hak meminta cerai.

Jumhur ulama berpendapat bahwa menjimak istri hukumannya wajib. Sebagian ulama  lain berpendapat, menjimak tidak wajib, yang wajib hanyanketika dorongan naluriah si istri muncul.

Pendapat yang benar menjimak secara wajar adalah wajib sebagaimana diterangkan Al-Qur’an dan as-sunnah dan qaidah-qaidah ushul. Nabi pernah bersabda kepada Abdullah bin amru ketika beliau melihatnya rajin melaksanakan puasa dan shalat.
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقَّا.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian juga memiliki hak atas kalian “ ( HR. Ibnu Majah)

Selanjutnya terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan yang wajib adalah menjimak minimal satu kali selama empat bulan. Ada yang berpendapat suami berkewajiban menjimak istrinya. Secara wajar disesuaikan  dengan tingkat kekuatan  suami dan kebutuhan istri, seperti halnya nafkah yang harus diberikan secara makruf. Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran.

Hak suami pada istrinya adakah suami berhak “bersenang-senang” dengan istrinya kapan saja ia mau selagi  tidak membahayakan istrinya atau menyibukan  dari tuha swajibnya . oleh karena itu, seorang  istri wajib  menuruti kebutuhan  seks suaminya.


Hak suami berikutnya, ia tidak boleh  keluar rumah  tanpa seizin atau syar’i. para fuqaha  berbeda pendapat, apakah istri wajib  mengurusi rumah, seperti merapikan kasur, menyapu, memasak,  dan sebaginya.  Ada yang berpendapat wajib. Ada yang berpendapat tidak wajib. Ada juga yang berpendapat; wajib pada pekerjaan-pekerjaan yang ringan.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)


HUKUMAN UNTUK TUDUHAN BERDUSTA



(Oleh : Misbahudin)


Meskipun tuduhan dusta itu tidak boleh dibalas, tetapi ada hukuman  lain bagi pelakunya . Diantara bentuk hukumannya adalah hukuman had untuk tuduhan qaddzaf yang mana hukuman itu telah ditetapkan dalam Al_qur’an, a-sunnah dan ijmak. Allah berfirman .

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ


Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-nur : 4-5)

Jika seseorang merdeka menuduh orang-orang baik-baik dengan berbuat zina atau melakukan liwath, ia harus dihukumi qadzaf, yaitu didera sebanyak 8o x. jika tuduhannya tidak  sampai ke sana, ia dihukumi takzir, hukuman had ini  adalah hak si tertuduh, sehingga tidak dapat dijatuhkan kecuali jika ia memintanya. Hukuman ini telah disepakati oleh para fuqaha.

Jika dia memaafkan penuduh, hukuman itu gugur menurut jumhur ulama, sebab disitu yang lebih dominan  adalah hak sesama manusia, seperti halnya qisas dan pelanggran  terhadap harta benda.

Ada juga yang berpendapat : hukuman itu tidak gugur  Karena hak Allah lebih dititik beratkan, sebab cara membalasnya tidak bisa diukur.

Hukuman qadzaf hanya wajib jika yang dituduh adalah muhshan yaitu muslim mereka yang menjaga kehormatannya.  Adapun orang yang telah terkenal  gemar berbuat maksiat, orang yang melontarkan  tuduhan kepadanya tidak bisa dihukumi dengan had qadzaf. Begitu juga jika  yang dituduh  adalah orang kafir atau budak. Si penuduh hanya bisa dihukumi takzir, asalkan si penuduh bukan suami sendiri, untuk seorang suami , ia boleh melempar tuduhan zina kepada istrinya jika istrinya berzina dan tidak sampai  hamil dari perzinaan tersebut. Jika ia sampai hamil dan melahirkan anak maka suami wajib melontarkan tuduhan dan menolak status anaknya. Hal ini tujuannya agar ia tidak tersangkut keturunan yang bukan berasal dari dirinya.

Jika suami telah melontarkan tuduhan zina kepada istinya, pilihan  bagi istri hanya  mengakui tuduhan tersebut atau menolaknya dengan mula’anah.

{
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10) }

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan mengalami kesulitan). (QS.  Nur : 6-10)

Jika penuduh adalah budak, ia mendapat hukuman separuh dari hukuman orang meredeka. Begitu juga pada hukuman dera  karema berzina  atau minuman khamr, karena Allah berfirman

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ


Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa : 25)

Adapun jika hukuman yang wajib dijatuhi it berapa hukuman mati atau potongan tangan, hal ini tidak berlaku baginya, hukuman separuh (karena tidak memungkinkan dibagi dua. Oleh karena itu jika seorang budka kedapatan  mencuri barang yang nilainya telah mencapai nisab, kita tetap memotong seluruh tanganya sehiangga pergelangan, tidak mungkin dipotong setengah, sebab hukuman seperti ini tidak bisa dibagi dua.

 Para ulama mengatakan, “ jika seorag  udak yang telah menikah berzina dan tidak  berlaku hukuman rajam bagi mereka.  Maka hukuman mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)


QISAS PADA PADA KEHORMATAN



(Oleh : Misbahudin)

Qisas dalam untuk menjaga kehormatan juga ditetapkan oleh syariat. Yakni ketika  seseorang melaknat orang lain, atau mendoakan keburukan baginya, yang dilaknat dan didoakan itu boleh membalasnya.

Begitu juga ia mencarinya dengan cacian yang bebas dari unsur kedustaan ,ia boleh membalas  cacian tersebut, walaupun memaafkan itu lebih baik. Allah berfirman

{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41)

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (QS. Asy-Syura : 40-41)

الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

“Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587 dan Abu Dawud no. 4894)




Hal ini merupakan sebuah pembelaan diri (al-intishar), cacian yang tidak mengandung unsur  kedustaan itu contohnya menceritakan keburukan-keburukan  yang terdapat dalam  dalam diri seseorang, atau menyebut anjaing, keledai dan lainnya.

Adapun jika menuduhnya dengan tuduhan dusta, ia tidak boleh membalas dengan tuduhan dusta pula. Kalau orang itu mengkafirkan dirinya atau memvonis dirinya fasik tanpa alasan  yang benar, ia tidak boleh membalas  megkafirkannya atau memvonisnya sebagai fisik tanpa alasan yang benar.

Jika dia melaknat bakapnya, kabilah, susuknya,  penduduk negerinya, dan misalnya, maka tidak halal membalas dengan melaknat mereka semua, sebab mereka tidak ikut mendzalimi dirinya. Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS. Al-Ma’idah : 8)

Disini Allah memerintah kaum muslimin untuk tetap berbuat adil kepada orang-orang kafir  meskipun mereka membenci kaum muslimin. Allah berfirman  “berlaku adilakah, karena adil itu lebih dekat dengan ketaqwaan”.

Jika melanggar kehormatan itu terkait hak pribadinya, boleh ia membalasnya, seperti mendoakan  keburukan kepada orang orang yang  mendoakan keburukan  untuk dirinya. Adapun jika melanggar kehormatan itu terkait hak Allah, seperti berdusta, ia sama sekali tidak boleh membalas dengan balasan yang sama.


Begitu juga dikatakan oleh banyak fuqaha:  jika seseorrang membunuh dengan cara membakar, menenggelamkan  dalam air, mencekiki, dan lainnya. Maka ia boleh dibalas dengan perlakuan yang sama selagi cara pembunuhan itu bukan sesuatu yang haram, seperti menenggakan minuman keras atau menyodomi.

Walalpun sebagian ulama ada yang mengatakan “ tidak boleh melakukan qisas selain dengan tebasan pedang, tetapi pendapat pertama lebih dekta kepada petunjuk Al-Qur’an, as-sunnah dan asas keadilan”.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)



QISAS PADA LUKA



(Oleh : Misbahudin)

Qisas pada luka telah di tetapkan Al-Qur’an , as-sunnah dan ijma dengan syarat  dilakukan secara setimpal. Artinya jika seseorang dipotong tanganya sebelah kanannya sehingga persendian telapak tangannya, maka diapun boleh memotong tangan pelaku sehingga batas itu. Jika seseorang mencabut giginya, ia pun  oleh membalas mencabut giginya. Jika seseorang  melukai kepalanya atau wajahnya  sehingga tulangnya kelihatan, ia pun boleh membalasnya seperti itu.

Adapun jika membalas setimpal tidak memungkinkan  dilakukan, misalnya yang dipatahkan  adalah tulang bagian  dalam atau ia dilukai  tapi tulangnya tidak sampai keluar maka qisas  tidak berlaku, tetapi yang berlaku adalah membayar diat dalam jumlah tertentu atau membayar diat.

Adapun qisas  karena pukulan tangan, tongkat dan cambuk, seperti tempelengan, tinjuan, pukulan dengan tongkat, ataupun dengan yang lainnya, sebagian ulama mengatakan tidak ada qisas di dalamnya, yang ada adalah takzir, sebab perbuatan-perbuatan tadi  tidak isa diukur  sebanding tidaknya.

Tetapi pendapat yang diriwayatkan  dari khulah ar-rasyidin, para sahabat, dan tabiin adalah hal itu berlaku qisas. Demikian  pendapat Ahmad dan para fuqaha. Hal ini sesuai dengan penjelasan sunnah RasuluLLah  dan merupakan  pendapat yang benar.

Abu firas berkata, “ Umar Bin Khatab pernah berkhhutabh lalu  di dalam khutbahnya ia menyampaikan sebuah pernyataan, “ketahuilahn, semi Allah aku tidak mengutus para petugasku yang mengurusi kalian  agar mereka mencambuk kuliat kalian dan mengambil harta kalian. Akan tetapi, aku mengutus mereka  agar mengajarkan  kepada kalia n  agama dan sunnah. Siapapun yang tidak diperlakukan selain itu, hendaklah ia melaporkan  petugas itu kepadaku. Demi dzat  yang jiwaku ada ditangnya, aku pasti bisa mengqisasnya.

 Amru Bi Ash bangkat dan berkata, “ Wahai amirul mu’minin, jika seseorang  dari kaum muslimin  memimpin rakyatnya lalu dia menghukum rakyatnya dalam rangka memberikan pelajaran. Apakah anda akan mengqisasnya.

Umar berakata, “ Ya. Demi dzat  yang jiwa Muhammad ada di tanganya, aku akan tetap mengqisasnya. Bagaimana aku tidak mengqisasnya sedangkan aku melihat RasuluLLah  meminta rakyatnya  mengqisas dirinya. Ketahuilah, janganlah kalian memukul kaum muslimin dengan  pukulan yang membuat mereka hina. Jangan pula kalian menghalangi hak-hak mereka  sehingga kalian  menyebabkan mereka kafir. (HR. Abu Daud)

Makna ucapan Umar ini berlaku pada pemimpin yang memukul  rakyatnya tanpa sebab yang diperbolehkan. Adapun memberikan pukulan yang disyariatkan, menurut ijmak ulama, tidak ada qisasnya, sebab pukulan itu termasuk kewajiban,  yang dianjurkan atau diperbolehkan.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)




HUKUMAN HAD DALAM PEMBUNUHAN


                                                        
(oleh : Misbahudin)

Adapun hukuman hudud dan hak  yang berkaiatan dengan sesama manusia, diantaranya adalah hak yang terkait nyawa, Allah berfirman.

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (151) وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (152) وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (153) [الأنعام/151، 153]

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am 151-153)



وَما كانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلى أَهْلِهِ إِلاَّ أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكانَ اللَّهُ عَلِيماً حَكِيماً (92) وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزاؤُهُ جَهَنَّمُ خالِداً فِيها وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذاباً عَظِيماً (93
)

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja); dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan tobat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisa 92-93)

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

32. Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al-Maidah : 32)

RasuluLlah bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ بِالدِّمَاءِ

“Hal pertama yang akan diputuskan diantara manusia adalah masalah darah.” (HR. Al-Bukhari : 6533, Muslim : 3178).

Macam-Macam Pembunuhan

Pertama, pembunuhan berencana (al-amdu al-mahdhu). Sengaja menyerang  orang yang telah  diketahui  jika darahnya dilindungi, dengan menggunakan  benda yang memungkinkan  besar mematikannya, seperti dengan pedang panjang dan semisalnya, atau dengan benda berat, seperti besi palu atau kayu besar. Atau membakar atau menenggelamkan di dalam air, melemparkan  dari jurang tinggi, mencekik, menggencet dua pelir sampai matii, membekap wajah, memberi minuman beracun, dan tindakan sejenis.

Untuk pembunuhan jenis ini hukumannya adalah qawad, yaitu memberi kekuasaan  kepada para wali  korban yerhadap si pelaku pembunuhan. Jika mereka mau, boleh membalas membunuhnya (qisas). Jika mereka mau, boleh memaafkannya. Atau jika mau, mereka boleh meminta diyat. Tetapi mereka tidak boleh membunuh selain pelaku pembunuhan. Allah berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.  (QS. Al-Isra : 33)

Disebutkan dalam tafsir : maksdunya, ahli  waris tidak boleh membunuh selain pelau pembunuhan. Dari Abu syuraih Al-Khuzai, ia berkata, RasuluLLah bersabdam

“ Barang siapa yang terkena musibah pembunuhan atau luka-luka maka ia boleh memilih salah satu dari tiga perkara, jika dia ingin mengambil pilihan yang keempat maka jegahlah dia,  ia membalas memnubuh “ (HR. Ahlu Sunan).

Siapa saja dati mereka yang membunuh pelaku setelah memaafkan  atua mengambil diyat, kejahatannya lebih besar daripada si pelaku  pembunuhan itu sendir. Sebagian ulama mengatakan, wali korban yang membunuh pelaku yang telah dimaafakan  harus dihukum mati sebagai hukuman had dan urusanya tidak diserahkan kepada para  wali pelaku  pembunuhan  yang ia bunuh.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.


وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-baqarah : 178-179)

Para ulama berkata,  tidak menutup kemungkinan  para wali korban marah sehingga disamping membunuh pelaku mereka juga  membunuh wali-wali pelaku, karena tidak puas  membunuh pelaku tak jarang mereka  turut membunuh kawan-kawan pelaku, seperti ketua kabilah, pemimpin kelompok.

Jika terjadi, berarti  pelaku telah melakukan kedzaliman pertama kali, sedangkan  para wali korban  melakukan kedzaliman  dalam membalas, sebagaimana perbuatan kaum arab badui ahli jahiliyyah zaman sekarang yang keluar dari syariat Islam.

Wali pembunuh kadang berfikir bahwa derajat pembunuh lebih tinggi dari pada  derajat dan kedudukan korban, maka dia tidak ridha jika harus dilaksanakan qisas, akibat wali-wali yang terbunuh  membalas dengan membunuh siapa saja wali-walinya pembunuh yang berhasil  mereka tangkap.

 Semua itu karena mereka keluar dari jalan keadilan, yaitu qisas  dalam pembunuhan. Oleh karena itu, allah mewajibkan kepada kita hukum qisas  yaitu membalas  pembunuhan  secara setimpal dan adil dan mengabarkan bahwa  dalam qisas  tersebut ada kehidupan. Dengan qisas  tersebut dapat mencegah tertumpahnya darah selain pelaku pembunuhan dari kalangan  para wali, baik wali yang membunuh ataupun yang dibunuh.

Jika seseorang yang akan membunuh tahu  dia bakal dihukum  bunuh, niscaya dia akan mengurungkan niatnya untuk membunuh.

 Dari Ali Bin Abi Thalib, ia berkata, telah bersabda RasuluLLah

“orang-orang  yang beriman darah mereka itu sederajat. Mereka adalah penolong  bagi yang lain. Orang-orang yang paling rendah diantara mereka  berjalan dengan jaminan keamanan mereka” (HR. Ahmad, Abu Daud).

Allah menerangkan bahwa Dia telah menyamakan status nyawa mereka dan tidak melebihkan satu nyawa dengan nyawa yang lain. Allah menjelaskan dalam firmannya dalam surat Al-Maidah ayat 41-50.

يٰۤـاَيُّهَا الرَّسُوۡلُ لَا يَحۡزُنۡكَ الَّذِيۡنَ يُسَارِعُوۡنَ فِى الۡكُفۡرِ مِنَ الَّذِيۡنَ قَالُوۡۤا اٰمَنَّا بِاَ فۡوَاهِهِمۡ وَلَمۡ تُؤۡمِنۡ قُلُوۡبُهُمۡ‌ ‌ۛۚ وَمِنَ الَّذِيۡنَ هَادُوۡا ‌ ۛۚ سَمّٰعُوۡنَ لِلۡكَذِبِ سَمّٰعُوۡنَ لِقَوۡمٍ اٰخَرِيۡنَۙ لَمۡ يَاۡتُوۡكَ‌ؕ يُحَرِّفُوۡنَ الۡـكَلِمَ مِنۡۢ بَعۡدِ مَوَاضِعِهٖ‌ۚ يَقُوۡلُوۡنَ اِنۡ اُوۡتِيۡتُمۡ هٰذَا فَخُذُوۡهُ وَاِنۡ لَّمۡ تُؤۡتَوۡهُ فَاحۡذَرُوۡا‌ ؕ وَمَنۡ يُّرِدِ اللّٰهُ فِتۡنَـتَهٗ فَلَنۡ تَمۡلِكَ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ شَيۡــًٔـا‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ الَّذِيۡنَ لَمۡ يُرِدِ اللّٰهُ اَنۡ يُّطَهِّرَ قُلُوۡبَهُمۡ‌ ؕ لَهُمۡ فِىۡ الدُّنۡيَا خِزۡىٌ ۚۖ وَّلَهُمۡ فِىۡ الۡاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ

41. Wahai Rasul (Muhammad)! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang (munafik) yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mendengar (berita-berita) bohong dan sangat suka mendengar (perkataan-perkataan) orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah diubah) terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.” Barangsiapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun engkau tidak akan mampu menolak sesuatu pun dari Allah (untuk menolongnya). Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.

  سَمّٰعُوۡنَ لِلۡكَذِبِ اَ كّٰلُوۡنَ لِلسُّحۡتِ‌ؕ فَاِنۡ جَآءُوۡكَ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ اَوۡ اَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ‌ ۚ وَاِنۡ تُعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ فَلَنۡ يَّضُرُّوۡكَ شَيۡــًٔـا‌ ؕ وَاِنۡ حَكَمۡتَ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِالۡقِسۡطِ‌ ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُقۡسِطِيۡنَ

42. Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

  وَكَيۡفَ يُحَكِّمُوۡنَكَ وَعِنۡدَهُمُ التَّوۡرٰٮةُ فِيۡهَا حُكۡمُ اللّٰهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوۡنَ مِنۡۢ بَعۡدِ ذٰلِكَ‌ ؕ وَمَاۤ اُولٰٓٮِٕكَ بِالۡمُؤۡمِنِيۡنَ
43. Dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, nanti mereka berpaling (dari putusanmu) setelah itu? Sungguh, mereka bukan orang-orang yang beriman.

  اِنَّاۤ اَنۡزَلۡنَا التَّوۡرٰٮةَ فِيۡهَا هُدًى وَّنُوۡرٌ‌ ۚ يَحۡكُمُ بِهَا النَّبِيُّوۡنَ الَّذِيۡنَ اَسۡلَمُوۡا لِلَّذِيۡنَ هَادُوۡا وَ الرَّبَّانِيُّوۡنَ وَالۡاَحۡبَارُ بِمَا اسۡتُحۡفِظُوۡا مِنۡ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوۡا عَلَيۡهِ شُهَدَآءَ‌‌ ۚ فَلَا تَخۡشَوُا النَّاسَ وَاخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُوۡا بِاٰيٰتِىۡ ثَمَنًا قَلِيۡلًا‌ ؕ وَمَنۡ لَّمۡ يَحۡكُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡكٰفِرُوۡنَ

44. Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.

  وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ فِيۡهَاۤ اَنَّ النَّفۡسَ بِالنَّفۡسِۙ وَالۡعَيۡنَ بِالۡعَيۡنِ وَالۡاَنۡفَ بِالۡاَنۡفِ وَالۡاُذُنَ بِالۡاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالۡجُرُوۡحَ قِصَاصٌ‌ؕ فَمَنۡ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ‌ؕ وَمَنۡ لَّمۡ يَحۡكُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوۡنَ

45. Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim.

  وَقَفَّيۡنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمۡ بِعِيۡسَى ابۡنِ مَرۡيَمَ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ التَّوۡرٰٮةِ‌ ۖ وَاٰتَيۡنٰهُ الۡاِنۡجِيۡلَ فِيۡهِ هُدًى وَّنُوۡرٌ ۙ وَّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ التَّوۡرٰٮةِ وَهُدًى وَّمَوۡعِظَةً لِّـلۡمُتَّقِيۡنَ

46. Dan Kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Isa putra Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan Kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.

  وَلۡيَحۡكُمۡ اَهۡلُ الۡاِنۡجِيۡلِ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فِيۡهِ‌ؕ وَمَنۡ لَّمۡ يَحۡكُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ‏

47. Dan hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.

  وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الۡكِتٰبَ بِالۡحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ الۡكِتٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِ‌ فَاحۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعۡ اَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الۡحَـقِّ‌ؕ لِكُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡكُمۡ شِرۡعَةً وَّمِنۡهَاجًا ‌ؕ وَلَوۡ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمۡ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰـكِنۡ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِىۡ مَاۤ اٰتٰٮكُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَـيۡـرٰتِ‌ؕ اِلَى اللّٰهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيۡعًا فَيُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ فِيۡهِ تَخۡتَلِفُوۡنَۙ

48. Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan,

  وَاَنِ احۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعۡ اَهۡوَآءَهُمۡ وَاحۡذَرۡهُمۡ اَنۡ يَّفۡتِنُوۡكَ عَنۡۢ بَعۡضِ مَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ اِلَيۡكَ‌ؕ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاعۡلَمۡ اَنَّمَا يُرِيۡدُ اللّٰهُ اَنۡ يُّصِيۡبَهُمۡ بِبَـعۡضِ ذُنُوۡبِهِمۡ‌ؕ وَاِنَّ كَثِيۡرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوۡنَ

49. dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

  اَفَحُكۡمَ الۡجَـاهِلِيَّةِ يَـبۡغُوۡنَ‌ؕ وَمَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكۡمًا لِّـقَوۡمٍ يُّوۡقِنُوۡنَ

50. Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?.  (QS. Al-Maidah : 41-50)

Kedua, pembunuhan semi sengaja (syibhul amdi), RasuluLLah bersabda, “ketahuilah hukuman bagi pembunuhan syibhul amdi  menggunakan cambuk atau tongkat adalah membayar 100 ekor unta, 40 diantaranya telah mengandung janin di perutnya (HR. Abu Daud)

Beliau menyebutkan dengan istilah syibhul amdi karena pelakunya dengan sengaja menyerang korban dengan cara memukul, tetapi pukulan itu biasanya tidak mematikan. Statusnya dia sengaja menyerang tapi tidak  bermaksud membunuh.

Ketiga,  pembunuhan tidak sengaja (qathul khata) atau pembunuhan yang secara hukum  dianggap tidak sengaja. Mislanya  memanah hewan buruan atau suatu target, tetapi ternyata  mengenai orang tanpa dia ketahui dan tidak sengaja. Pembunuhan seperti itu tidaka ada hukumam qisasnya, yang ada adalah kewajiban membayar diayat dan kafarat.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)