(Oleh : Misbahudin)
Meskipun
tuduhan dusta itu tidak boleh dibalas, tetapi ada hukuman lain bagi pelakunya . Diantara bentuk
hukumannya adalah hukuman had untuk tuduhan qaddzaf yang mana hukuman
itu telah ditetapkan dalam Al_qur’an, a-sunnah dan ijmak. Allah berfirman .
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
إِلَّا
الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
Kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-nur : 4-5)
Jika
seseorang merdeka menuduh orang-orang baik-baik dengan berbuat zina atau
melakukan liwath, ia harus dihukumi qadzaf, yaitu didera sebanyak 8o x.
jika tuduhannya tidak sampai ke sana, ia
dihukumi takzir, hukuman had ini adalah
hak si tertuduh, sehingga tidak dapat dijatuhkan kecuali jika ia memintanya.
Hukuman ini telah disepakati oleh para fuqaha.
Jika dia
memaafkan penuduh, hukuman itu gugur menurut jumhur ulama, sebab disitu yang
lebih dominan adalah hak sesama manusia,
seperti halnya qisas dan pelanggran
terhadap harta benda.
Ada juga
yang berpendapat : hukuman itu tidak gugur
Karena hak Allah lebih dititik beratkan, sebab cara membalasnya tidak
bisa diukur.
Hukuman
qadzaf hanya wajib jika yang dituduh adalah muhshan yaitu muslim mereka
yang menjaga kehormatannya. Adapun orang
yang telah terkenal gemar berbuat
maksiat, orang yang melontarkan tuduhan
kepadanya tidak bisa dihukumi dengan had qadzaf. Begitu juga jika yang dituduh
adalah orang kafir atau budak. Si penuduh hanya bisa dihukumi takzir,
asalkan si penuduh bukan suami sendiri, untuk seorang suami , ia boleh melempar
tuduhan zina kepada istrinya jika istrinya berzina dan tidak sampai hamil dari perzinaan tersebut. Jika ia sampai
hamil dan melahirkan anak maka suami wajib melontarkan tuduhan dan menolak
status anaknya. Hal ini tujuannya agar ia tidak tersangkut keturunan yang bukan
berasal dari dirinya.
Jika suami
telah melontarkan tuduhan zina kepada istinya, pilihan bagi istri hanya mengakui tuduhan tersebut atau menolaknya
dengan mula’anah.
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9) وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ (10) }
Dan orang-orang
yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat
Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah,
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
dan (sumpah) yang kelimd; bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia
Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian dan (andaikata) Allah
tidak Penerima Tobat lagi Mahabijaksana, (niscaya kalian akan
mengalami kesulitan). (QS. Nur : 6-10)
Jika penuduh
adalah budak, ia mendapat hukuman separuh dari hukuman orang meredeka. Begitu
juga pada hukuman dera karema
berzina atau minuman khamr, karena Allah
berfirman
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan
barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara
kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. An-Nisa : 25)
Adapun jika
hukuman yang wajib dijatuhi it berapa hukuman mati atau potongan tangan, hal
ini tidak berlaku baginya, hukuman separuh (karena tidak memungkinkan dibagi
dua. Oleh karena itu jika seorang budka kedapatan mencuri barang yang nilainya telah mencapai
nisab, kita tetap memotong seluruh tanganya sehiangga pergelangan, tidak
mungkin dipotong setengah, sebab hukuman seperti ini tidak bisa dibagi dua.
Para ulama mengatakan, “ jika seorag udak yang telah menikah berzina dan
tidak berlaku hukuman rajam bagi
mereka. Maka hukuman mereka setengah
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”.
# Disarikan
Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh
An-Nahala Research Forum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar