(Oleh :
Misbahudin)
Qisas dalam untuk
menjaga kehormatan juga ditetapkan oleh syariat. Yakni ketika seseorang melaknat orang lain, atau mendoakan
keburukan baginya, yang dilaknat dan didoakan itu boleh membalasnya.
Begitu juga
ia mencarinya dengan cacian yang bebas dari unsur kedustaan ,ia boleh
membalas cacian tersebut, walaupun
memaafkan itu lebih baik. Allah berfirman
{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41)
Dan balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia
tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang
membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (QS.
Asy-Syura : 40-41)
الْمُسْتَبَّانِ
مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Apabila ada
dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya
itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang
dizalimi itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587 dan Abu Dawud
no. 4894)
Hal ini merupakan
sebuah pembelaan diri (al-intishar), cacian yang tidak mengandung
unsur kedustaan itu contohnya
menceritakan keburukan-keburukan yang
terdapat dalam dalam diri seseorang, atau
menyebut anjaing, keledai dan lainnya.
Adapun jika
menuduhnya dengan tuduhan dusta, ia tidak boleh membalas dengan tuduhan dusta
pula. Kalau orang itu mengkafirkan dirinya atau memvonis dirinya fasik tanpa
alasan yang benar, ia tidak boleh
membalas megkafirkannya atau memvonisnya
sebagai fisik tanpa alasan yang benar.
Jika dia
melaknat bakapnya, kabilah, susuknya,
penduduk negerinya, dan misalnya, maka tidak halal membalas dengan
melaknat mereka semua, sebab mereka tidak ikut mendzalimi dirinya. Allah
berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ma’idah : 8)
Disini Allah
memerintah kaum muslimin untuk tetap berbuat adil kepada orang-orang kafir meskipun mereka membenci kaum muslimin. Allah
berfirman “berlaku adilakah, karena adil
itu lebih dekat dengan ketaqwaan”.
Jika melanggar
kehormatan itu terkait hak pribadinya, boleh ia membalasnya, seperti
mendoakan keburukan kepada orang orang
yang mendoakan keburukan untuk dirinya. Adapun jika melanggar
kehormatan itu terkait hak Allah, seperti berdusta, ia sama sekali tidak boleh
membalas dengan balasan yang sama.
Begitu juga
dikatakan oleh banyak fuqaha: jika
seseorrang membunuh dengan cara membakar, menenggelamkan dalam air, mencekiki, dan lainnya. Maka ia boleh
dibalas dengan perlakuan yang sama selagi cara pembunuhan itu bukan sesuatu
yang haram, seperti menenggakan minuman keras atau menyodomi.
Walalpun
sebagian ulama ada yang mengatakan “ tidak boleh melakukan qisas selain dengan
tebasan pedang, tetapi pendapat pertama lebih dekta kepada petunjuk Al-Qur’an,
as-sunnah dan asas keadilan”.
# Disarikan
Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh
An-Nahala Research Forum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar