Jumat, 13 September 2019

QISAS PADA PADA KEHORMATAN



(Oleh : Misbahudin)

Qisas dalam untuk menjaga kehormatan juga ditetapkan oleh syariat. Yakni ketika  seseorang melaknat orang lain, atau mendoakan keburukan baginya, yang dilaknat dan didoakan itu boleh membalasnya.

Begitu juga ia mencarinya dengan cacian yang bebas dari unsur kedustaan ,ia boleh membalas  cacian tersebut, walaupun memaafkan itu lebih baik. Allah berfirman

{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40) وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ (41)

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (QS. Asy-Syura : 40-41)

الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

“Apabila ada dua orang yang saling mencaci-maki, maka cacian yang diucapkan oleh keduanya itu, dosanya akan ditanggung oleh orang yang memulai, selama orang yang dizalimi itu tidak melampaui batas.” (HR. Muslim no. 2587 dan Abu Dawud no. 4894)




Hal ini merupakan sebuah pembelaan diri (al-intishar), cacian yang tidak mengandung unsur  kedustaan itu contohnya menceritakan keburukan-keburukan  yang terdapat dalam  dalam diri seseorang, atau menyebut anjaing, keledai dan lainnya.

Adapun jika menuduhnya dengan tuduhan dusta, ia tidak boleh membalas dengan tuduhan dusta pula. Kalau orang itu mengkafirkan dirinya atau memvonis dirinya fasik tanpa alasan  yang benar, ia tidak boleh membalas  megkafirkannya atau memvonisnya sebagai fisik tanpa alasan yang benar.

Jika dia melaknat bakapnya, kabilah, susuknya,  penduduk negerinya, dan misalnya, maka tidak halal membalas dengan melaknat mereka semua, sebab mereka tidak ikut mendzalimi dirinya. Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS. Al-Ma’idah : 8)

Disini Allah memerintah kaum muslimin untuk tetap berbuat adil kepada orang-orang kafir  meskipun mereka membenci kaum muslimin. Allah berfirman  “berlaku adilakah, karena adil itu lebih dekat dengan ketaqwaan”.

Jika melanggar kehormatan itu terkait hak pribadinya, boleh ia membalasnya, seperti mendoakan  keburukan kepada orang orang yang  mendoakan keburukan  untuk dirinya. Adapun jika melanggar kehormatan itu terkait hak Allah, seperti berdusta, ia sama sekali tidak boleh membalas dengan balasan yang sama.


Begitu juga dikatakan oleh banyak fuqaha:  jika seseorrang membunuh dengan cara membakar, menenggelamkan  dalam air, mencekiki, dan lainnya. Maka ia boleh dibalas dengan perlakuan yang sama selagi cara pembunuhan itu bukan sesuatu yang haram, seperti menenggakan minuman keras atau menyodomi.

Walalpun sebagian ulama ada yang mengatakan “ tidak boleh melakukan qisas selain dengan tebasan pedang, tetapi pendapat pertama lebih dekta kepada petunjuk Al-Qur’an, as-sunnah dan asas keadilan”.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Pengasuh  An-Nahala Research Forum)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar