Minggu, 30 Juni 2019

*THE EFFECT OF LEADERSHIP POWER*




OLeh : Misbahudin


Jika ketaatan seorang hamba memberikan sebuah pengaruh terhadap meningkatnya kualitas iman, dan begitu juga sebaliknya, kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang akan memberikan sebuah pengaruh melemahnya Iman. Hal itu sama seperti kekuatan kemepemimpian mempengarui kualitas diri dan orang-orang yang dipimpinya.

Contoh sederhana, ketika seorang  pejabat yang shaleh di suatu wilayah, pasti dia akan  membuat kebijakan-kebijakan yang menshalehkan masyakatnya dan akan menciptakan atmospir kedamaian dan kerukunan  antar masyarakat yang berbeda ras, suku dan agama.

Dan sebaliknya, jika seorang pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak memperhatikan agama, maka pasti tidak akan melahirkan kebijakan-kebijakan dan atauran-atauran yang tidak Islami, atau bahkan mungkin akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam, ruang gerak umat Islam dibatasi, masjid-masjid dipantau dan dimata-matai, para ustadznya akan diseleksei sesuai dengan standar pemerintah.

Bahkan kepempimpinan yang dipimpin yang pemimpin yang tidak adil,_islam phobia_ akan bertindak lebih dari itu, menolak segala hal-hal yang berbau keislaman, atau bahkan tokoh-tokoh agama Islam dikrimnalisasi dan orang-orang yang tidak pro kepemimpinan satu persatu diabsen untuk dimasukan kedalam jeru besi secara massif. 

Berbicara kekuatan kepemimpian, Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa kekuatan tersebut terbagi menjadi dua kekuatan, yaitu kekuatan memimpin diri sendiri _*(self leadership power)*_   dan kekuatan memimpin dan mengatur orang lain _*( outside leadership power)*_.

Ibnu Taimiyyah mememaparkan bahawa Kekuatan memimpin diri sendiri dihasilkan dari mengasah kepribadian  dengan kelembutan hati dan kesabaran dalam kegala hal yang mewarnai dinamika kepemimpinanya.  Dan kekuatan kepempimpinan atas orang lain dihasilkan menggapai kekuatan kepemimpinan  yang bisa mempengaruhi orang lain adalah  dengan cara,

*Pertama*, keberanian jiwanya dalam segala hal untuk memenghadapi segala halangan dan rintangan dari sebuah tugas dan kewajibannya. 

*Kedua* adalah dengan sebuah *skill* , tentunya skill disni adalah skill kepemimpinan, skill untuk mengatur strategi dan taktik  bagaimana bisa mencapai sebuah target yang dituju dan mengkordinasikan semua anggota tim agar tetap solid satu hati.

*Pengaruh dari Sebuah Kekuatan Kepemimpinan*

Ibnu Taimiyyah _rahimahuLLah_ mengatakan bahwa keuatan yang pertema, _self leadership power _ akan menghasilkan pribadi-pribadi yang melakukan sebuah hijrah _”change”_  ke arah yang lebih baik dan meninggalkan apa-apa yang Allah _subhanahu wata’ala_

Kekuatan ini juga akan membentuk pribadi-pribadi yang  bersungguh-sungguh _(mujaahid)_ menerpa diri dan jiwa menuju tujuan yang utama dan pertama dalam kehidupannya, yaitu keridhaan Allah. 

Objek yang menjadi sasaran dari kekuatan kepemimpin diri ini adalah musuh-musuh yang merongrong keimanan dalan hati,  yaitu dari bisikan-bisikan setan yang menipu dan dari hawa nafus yang terus memburu.

Kekuatan kedua, *Outside Leadership Power* , sebuah kekuatan  dan skill untuk memimpin orang lain, hal ini akan menghasilkan karakter kepribadian yang siap siaga berjuang di jalan Allah dengan mengorbakan jiwa dan raganya hanya untuk memburu pahala dan keridhaan-Nya.

Mereka akan siap berjihad melawan  musuh-musuh Allah secara fisik dimana pun dan kapan pun, siap menolong Agama Allah dan Rasul-Nya. Dan dengan perantara tangan-tangan mereka lah, agama Islam tegak berdiri  dengan kokoh.

*Sinergitas Yang  Menghasilakn Kualitas*

Allah menciptakan manusia dengan kelebihan-kelebihannya dan juga kekurangan-kekurangnya, antara pribadi yang satu dengan yang lain pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Maka Rasulullah memberikan sebuah analogi bahwa muslim yang satu dengan yang lainnya layaknya seperti bangunan yang saling menguatkan.

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا.

“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari  481).


Maka suatu rencana  tidak akan terealisasikan dengan maksimal jika tidak ditopang dengan kekuatan kepemimpinan yang baik dari penguasa atau pejabat. Oleh karena itu,  ulama memberikan nasihat  kepada para hakim dan jabatan-jabatan yang lainnya  agar mereka memiliki karakter  yang kuat  tanpa yang bersikap kasar, dan karakter lembut tanpa menjadi lemah ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang berkaiatan dengan manusia yang lain.

Bersinerginya antara kekuatan dan kelembutan, bukan sebuah kekuatan yang keras seperti  tulang atau batu, bukan juga kelemahan atau kelembuatan seperti air. Barang siapa yang mempunyai kekuatan untuk memimpin dan mengatur orang lain tetapi tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dirinya sendiri maka dia akan  menjadi sosok yang pleksibel , supel kepada orang lain dan memiliki keshabaran  terhadap gangguan mereka. Tetapi dia akan mengalami sebuah kesulitan untuk menguasai dirinya sendiri, sehingga dia menjadi pemimpin yang dhalim, dan hal ini akan membinasakan dirinya karena mampu  menyuruh dan menggerakan orang lain, tetapi tidak mamu menggerakan diri sendiri untuk beramal-amal kebaikan.

Sebaliknya, jika seseorang pemimpin mempunyai kendali kemimpinan  diri sendiri untuk menundukan hawa nafsu tetapi dia tidak mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk mengatur dan memimpin orang lain, maka pasti masyarakat atau orang-orang yang dipimpinnya  akan  semakian menjauh dari kebenaran karena tidak ada yang memberikan “warning” kepada mereka, dan mereka juga bisa jadi meninggalakn semua kewajiban-kewajiban , dan tidak meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah _subhanahu wata’ala_.

*Para Sahabat Nabi Yang saling Bersinergi*

Terkadang ada dalam sebuah kepemimpinan  dalam ranah apapun, ada dua sosok yang memiliki karakter yang memiliki keunggulan yang berbeda yang menyempurnakan satu dengan yang lainnya,  sehingga menghasilkan kepemimpinan yang lebih baik dan lebih membawa kemaslahatan.

Begitu juga dalam diri para sahabat RasuluLLah _shallahu ‘alahi wasalam_, lebih khusus para _khulaful rasyidin_ mereka memiliki keunggulan masing-masing yang saling menguatkan dan saling melengkapi sehingga menghasilkan kepemimpinan yang sempurna dalam teori politik Ibnu Taimiyyah.

Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib _radhiyallahu ‘anhuma_, mereka memiliki keutamaan dan keunggulan antara kelembutan dan keberanian, antara juhud dalam harta dan juhud dalam kepemimpian, antara jihad diri jiwa raga dan jihad dengan harta,  Maka nampaklah keutamaan dan keunggulan yang satu dengan yang lainnya yang saling melengkapi. Sebagaimana Abu Bakar dan Umar bin khattab yang memilki keunggulan masing-masing yang saling melengkapi.

Maka empat sosok sahabat Nabi ini patut untuk diekplorasi keutamaan dan keunggulannya oleh kaum  muslimin, para ulama dan lebih spesifik adalah oleh para pemimpin umat sehingga tergali lautan inspirasi sehingga tergerak hati mereka untuk mengikuti mereka dalam keutamaan dan keunggulannya.

Sebagaimana RasuluLLah washiatkan kepada ummatnya untuk mengikuti _sunnah rasuluLLah_  dan sunnah Khulafau _Arraasyidien_

قَالَ الْعِرْبَاضُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَناَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْناَ فَقَالَ: أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.


Berkata al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati takut, maka seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah kami wasiat.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertakwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigit-lah dia dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat. HR. Ahmad (IV/126-127)

Dari Sufyan, pembantunya Nabi _shalullahu ‘alahi wasalam_, dari Nabi, sesunguhnya ia bersabda, “ kekhilafan setelahku sekitar 300 tahun kemudian menjadi kerajaan-kerajaan”. (HR. Ahmad)

Kemudian kaum muslimin bersaksi bahwa  Umar Bin Abdul Aziz adalah seorang _khalifah arraasyidah_, dia berkata, “ RasuluLLah _shallahu ‘alahi wasalam_  menetapkan bahwa akan ada pemimpin-pemimpin yang muslim setelah beberapa tahun yang dimana dia menjadikan kepemimpinannya untuk menegakan Al_Qur’an, menyempurnakan ketaatan kepada Allah dan untuk memperkuat agama Allah. Tidak akan bisa seorang pun dapat merubahnya, menggantinya  dan tidak aka nada ide untuk mengalahkannya dari para penentangnya”.

Barang siapa yang mendapatkan petunjuk dengannya maka sungguh dia telah diberi petunjuk yang nyata dan barang siapa yang meminta pertolongan kepadanya, maka sungguh dia akan ditolong. Dan barang siapa yang menyelisihinya dan mengikuti  selain jalan-jalan kaum muslimin sungguh Allah menolong pemimpin tersebut dari orang-orang yang berpaling darinya dan tempat mereka adalah neraka jahanam, dan jahanam merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.

Al-Qur’an, sunnah RasuluLLah dan jalan-jalan orang beriman merupakan sebuah landasan pokok bagi agama Allah, jalan Islam yang lurus dan tali Islam yang kuat.  Yang menjadikannya agama yang Allah ridhai, dan menjadikan pemeluknya menjadi umat yang paling mulia, dan menjadi sebaik-baiknya umat, dan diwajibkan bagi  seluruh penduduk bumi untuk masuk kedalam Islam  dengan Ilmu dan amal. Dimana tidak akan dikeluarkan dari Islam siapa yang memasukinya dan dan tidak bisa masuk  kedalamnya siapa yang keluar dari Islam.

Kita memohon kepada Allah yang maha agung agar Allah memberikan hidayah agar bisa mengamalkan islam secara totalitas dan mengokohkan  hati kita untuk berada diatas islam secara bathin dan dhahir, dan untuk seluruh saudara-saudara kita yang baik hatinya.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)





*LEADERSHIP POWER*




Oleh : Misbahudin


Sungguh RasuluLLah yang mulai, sang kekasih Allah, sosok inspirator sepanjang masa sampai akhir zaman, merupakan sosok yang sempurna, sebuah visualisasi yang real dari Al-Qur’an dalam alam nyata.  Oleh karena itu RasuLLah menjadi sebuah teladan dalam segala aspek kehidupan.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.(QS. al Ahzaab : 21).


Salah satu keteladannya adalah kepemimpinan _(leadership)_ beliau adalah sosok pemimpin yang kedatagannya dirindukan dan kepergiannya diratapi. Salah satu faktor yang harus kita ekplorasi  dari kepemimpinan RasuluLLah _shallau ‘alahi wasalam_ adalah bagaimana faktor-faktor yang menjadikan beliau bisa menjadi pemimpin yang sejati dan memiliki sebuah kekuatan kepemimpinanyan sehingga dapat memberikan pengaruh yang kuat sepajang masa?.

Sehingga salah satu penulis Barat, Michael Heart dalam bukunya 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia menempatkan Nabi Muhammad  di posisi pertama.

Ibnu Taimiyyah dalam Ibnu Taimmiyyah menjelaskan dalam kitabnya _siasah syariyyah_ ,  wajib bagi seorang pemimpin memiliki dua kemampaun ini sebagai landasan utama dalam kepemimpinannya, dua hal tersebut adalah pertama, Kekuatan dalam kepemimpinan mencakup dua aspek, ada kekutan kepemimpinan diri _*(self leadership power)*_ yang memberikan sebuah pengaruh kekuatan kepada diri sendiri, kedua adalah  kekuatan untuk mengatur orang lain _*( outside leadership power)*_.

*Self leadership Power*

Ibnu Taimiyyah menegaskan  bahawa kepemimpin diri  _(self leadership power)_ dihasilan dengan mengasah kepribadian  dengan kelembutan hati dan kesabaran dalam kegala hal yang mewarnai dinamika kepemimpinanya.  Sebagaimana  diriwayatkan dari Nabis shalaLLahu ‘alahi wasalm dalam sebuah hadits

« لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ »

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. (HR. Bukhari Muslim)

*Maka karakter utama dari sebuah kekuatan pemimpin diri adalah kekuatan untuk tetap berhati lembut ketika orang-orang disekeling keras dan kasar dan berbudi pekerti yang mendamaikan ketika orang-orang disekitar berhati panas dam emosi membakar. Tetap berjiwa yang luhur _(sayyid)_ dan penuh dengan kesadaraan dan keseimbangan.*

Sebagaimana firman Allah _subhanahu wata’ala_

 فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh". (QS. Ali Imran : 39)

Nabi Muhammad _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ bersabda tentang cucunya Hasan, “

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya anakku ini (yaitu cucu Beliau) adalah sayyid (pemimpin). Mudah-mudahan Allâh akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin dengan sebabnya. (HR. Bukhari 2704)


Maka Nabi Muhammad menekankan akan hakikat sesungguhnya dari sebuah kekuatan seorang manusia, yang menjadi parameter kekuatan bukanlah kekuatan fisik, bukanlah otot yang meliuk-liuk atau bahkan dapat membanting musuh dengan sangat mudahnya dan mengalahkan banyak orang dalam sebuah pertarungan bebas, akan tetapi kekuatan yang sesungguhnya adalah kekuatan untuk bisa menguasai dirinya tetap seimbang secara emosi ketika marah dan tidak mengikuti hawa nafsunya ketika membara.

*Outside Leadership Power*

*Adapun kekuatan seorang pemimpin untuk mengatur dan mencengkram orang-orang di yang dipimpinnya dengan sebuah intruksi yang yang jelas dan tidak samar _(absurd)_,  dengan sebuah inpirasi yang menyemangati, dan dengan sebuah keteladan yang membersamai, bukan hanya sebuah intruksi perintah sambil _uncang-uncang_ kaki.*

Sebuah kekuatan Pemimpin untuk mempengaruhi orang lain untuk mencangan  target-target dan berusaha mewujdukan dengan solidaritas dan sinergitas. Kekuatan  pemimpian yang menyatukan yang dipimpian menjadi sebuah *good team work_ untuk mencapai sebuah visi misi yang jelas yang diuraikan dalam sebuah program-program dan rencana yang lebih spesifik.
 
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa untuk menggapai keuatan kepemimpinan  yang bisa mempengaruhi orang lain adalah  dengan cara,


*Pertama*, keberanian jiwanya dalam segala hal untuk memenghadapi segala halangan dan rintangan dari sebuah tugas dan kewajibannya. 

*Kedua* adalah dengan sebuah *skill* , tentunya skill disni adalah skill kepemimpinan, skill untuk mengatur strategi dan taktik  bagaimana bisa mencapai sebuah target yang dituju dan mengkordinasikan semua anggota tim agar tetap solid satu hati.

Terakhir Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa kekuatan kepemimpin harus dikuatkan oleh faktor-faktor yang lainnya yang menjadikannya menjadi karakter yang lebih berkualitas daripada bawahannya dan faktor kekuatan harta, untuk menjaga idealismenya agar tetap kokoh tidak luluh lantah dan bertekuk lutut dibawah kepentingan para manusia yang berharta. Dan menjual harga dirinya demi sebuah kesenangan sesaat dan semu.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ


Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu (QS. Al-Anfal : 60)

Dan dalam sebuah riwayat dari Imam Muslim dari sahabat Nabi Abu Hurairah _radhiyaLLahu ‘anhu_ dia berkata, telah bersabda RasuluLLah, “

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ



“*Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah* dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.

# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)









*TUJUAN HAKIKI DARI SEORANG PEMIMPIN SEJATI*





Oleh : Misbahudin


Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah mengungkapkan akan hakikat dari tujuan yang hakiki bagi seorang pemimpin yang sejati, dan dia harus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mewujudkannya dalam roda kepempimpinannya. Tujuan hakiki itu adalah,  


Pertama, memperbaiki agama manusia. Maka barang siapa yang menjadi pemimpin dan tidak bisa mewujudkan sebuah perbaikan _(ishlah)_ dalam tatanan agama rakyatnya, maka sungguh pempimpin tersebut telah menjadi manusia yang sungguh merugi. Walaupun rakyatnya ada dalam kelimpahan dan kenikmatan dunia.


Kedua, melakukan sebuah perbaikan _(ishlah)_ dalam perkara-perkara dunia yang membantu tegaknya urusan agama rakyatnya. Dan perbaikan dalam tatanan urusan dunia ini meliputi dua hal, yaitu : Pertama, melakukan distribusi   harta kepada yang berhak mendapatkannya,  dan kedua, menghukum dan mengeksekusi orang-orang yang melakukan pelanggaran.


Maka dua hal tersebut harus menjadi sebuah “goal” bagi seorang pemimpin dalam roda kekuasaannya dan mengurai tujuan hakiki itu kedalam program-program yang lebih spesifik dan rencana-rencana yang lebih detail.


Seorang pemimpin yang sejati tidak hanya membangung visi misi keduniawian  saja, tetapi pemikiran dan idenya menembus ruang dan waktu dalam mewujudkan sebuah target-target kepemimpinannya yaitu kebahagiaan rakyatnya di dunia dan di akhirat. Membawa rakyat  kedalam tatanan  peradaban negeri yang _baldatun thoyyibun warabbul ghafur_


*Carut Marut Kehidupan akibat kemaksiatan*


Ibnu Taimiyyah _rahimahuLLah_ melanjutkan afirmasi pemikirannya, Ia berkata, *“Maka tatkala masyarakat berpaling dari jalan kebenaran dan juga para pemimpimpinya, maka pasti akan lahirlah tatanan hidup dan kehidupan yang semraut tidak teratur.  Maka barang siapa yang menjadi pemimpin dan berusaha melakukan sebuah perbaikan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya dengan kemampuan totalitas yang dimiliki oleh dirinya, Maka sungguh dia telah menjadi sebaik-baiknya manusia di zamannya dan menjadi sebaik-baiknya mujahid fisabiliLLah”*.


Maka barang siapa yang tidak melakukan sebuah pelanggran maka hal itu merupakan sebuah visualisasi dari bagusnya agama dan dunianya,  oleh karena itu Umar Bin Khattab berkata, “ sesungguhnya aku mengutus para pekerjaku kepada kalian adalah untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada kalian, sunnah nabi kalian, dan membagikan fai (pajak orang kafir) kepada kalian”. (HR. Ahmad)


Semimpin yang adil pasti akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi masyarakatnya, urusan kepemimpinan itu amatlah penting dalam politik Islam, karena jika pemimpin yang shaleh maka dia akan membuat program-program yang akan menshaleh rakyatnya agar lebih dekat kepada Allah, dan sebaliknya, jika pemimpin yang dhalim dipilih tentua segala kebijakan dan program-program kerjanya akan menggambarkan pola pikir dan pola kehidupanya.

Program-program pemimpin yang  tidak shaleh pasti akan merugikan masarakat itu sendiri, lebih khususnya kaum muslimin. Tata kehidupannya akan jauh dari nilai-nilai spiritual dan jauh dari tujuan-tujuan keakhiratan, dan tentunya kebijakan-kebijakannya hanya akan menggring manusia semakin jauh dari Allah.

Maka tidaklah mengherankan, Rasulullah pernah bersabda,


*“sehari diatur oleh pemimpin yang adil lebih baik daripada beribadah 60 tahun”*. (HR. Thabranie).


*Buah Manis Untuk Pemimpin Idealis*


Tidak main-main pahala dan ganjaran bagi pemimpin yang idealis yang berusaha keras mewujudkan nilai-nilai ilahiyyah dalam kepempimpinannya, membuka segala pintu-pintuku kebaikan bagi banyak orang  dalam urusan dunia dan agamanya.


Maka janji manis itu ada dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi, sesungguhnya beliau bersabda, “ manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah imam yang adil, dan manusia yang paling dimurkai oleh Allah adalah pemimpin yang dhalim”.



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Imam yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”( HR. Bukhari Muslim).


Dalam riwayat lain, di dalam shahih Muslim dari ‘Iyadh Bin Hammad RadiyaLLahu ‘anhu dia berkata, telah bersabda RasuluLLah shallahu ‘alahi wasalam, “


وَأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ


Ahli surga ada tiga golongan, yakni: Penguasa yang adil, jujur dan sesuai dengan syariat, orang yang penyayang, hatinya lemah lembut, baik kepada kerabat ataupun kepada orang Muslim, dan orang yang menahan diri (tidak meminta-minta) dan menjaga keluarganya. (HR. Muslim).




*Niat yang suci sebagai pondasi segala amal kebaikan*


Niat yang tak kasat mata, tidak bisa dinilai secara alam lahiriyyah karena dia tersembunyi dalam kedalam hati, maka hanya sang ilahi yang mampu menilai segala gerak gerik hati. Maka tidak setiap manusia yang beramal akan diterima oleh Allah, karena syarat diterimanya amal adalah lurusnya niat karena Allah dan  mengikuti sunnah-sunnah RasululaLLah didalam praktek pelaksanaanya.

Pada suatu hari pernah ditanyakan kepada Nabi ShallaLLahu ‘alahi wasalam, “wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan seseorang yang perperang dengan gagah berani, dan seseorang yang berperang dengan fanatisme golongan dan yang berperang karena ria, manakah diantara mereka yang nilai  berjihad fisabiliLLah?. Nabi bersabda,” maka barang siapa yang perperang agar kalimat Allah menjadi paling tinggi, maka dialah yang fisabiliLLah”. (HR. Bukhari dan Muslim).



Dan dalam sunan Ahmad diriwayatkan dari Nabi ShallaLLahu ‘alahi wasalam, sesungguhnya beliau bersabda, “ orang yang bertugas mengambil harta shadaqah dengan cara yang benar adalah seperti mujahid fiisabiliLLah”.


Allah berfirman  dalam surat al-Anfal


وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Anfal:39)




Ibnu Taimiyyah menegaskan bawah tujuan hakiki dari sebuah peperangan adalah menjadikan seluruh agama untuk Allah dan kalimat Allah sebagai yang tertinggi. Maksud dari Kalimat Allah adalah ungkapan yang mencakup  seluruh firman Allah yang terkandung di dalam kitabnya.


Demikianlah sebuah nilai yang berharga dalam sebuah niat. Niat menjadi pintu pembuka untuk segala amal-amal yang dilakukan agar berbuah pahala dan diterima oleh Allah. Sebagaimana ungkapan Abdullah Ibnu Mubarak,


“Amal yang besar bisa hilang pahalanya karena niatnya, dan sebaliknya, amal yang kecil bisa bernilai pahala besar karena niatnya”


*Al-Qur’an Sebagai Pondasi Kepemimpinan Yang Berkeadilan*

Demikianlah Allah berfirman,


لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ


Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid : 25).


Dan maksud dari diutusnya para Rasul dan diturunkannya Al-Qur’an  adalah agar manusia bisa melaksankan hak-hak Allah dan hak-hak sesama mahluk dengan adil.


Maka barang siapa yang menyimpang dari ajaran-ajaran Al-Qur’an maka luruskanlah dengan besi.  Oleh karena itu tiang penopang agama adalah Al-Qur’an dan pedang.


Dan riwayatkan Jabir Bin AbdiLLah, semoga Allah meridhai keduanya dia berkata, “ kami diperintahkan oleh RasuluLLah shallahu ‘alahi wasalam agar kami memenggal leher dengan pedang ini siapa yang menyimpang dari ajarannya”. _(Taarikh adimisyqi 25/279)_.


Jika tujuan inti sudah diketahui, maka mewujudkannya dengan hal-hal yang terjangkau dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Dan dipilihlah orang yang paling memiki kompentensi diantara dua calon yang lebih layak dan pantas untuk mewujudkan tujuan yang mulia ini. Karena pemimpin akan memberikan pengaruh yang besar dalam tatanan hidup dan kehidupan masyakat.



# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)













*SIAPAKAH YANG PALING BERHAK MENJADI PEMIMPIN NEGERA?*




Oleh : Misbahudin



*Seleksi Ketat Seorang Calon Pemimpin*


Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menekankan dalam masalah pengangkatan pemimpin dalam kitabnya _sisasah syariyyah_ . menurut beliau, *“Yang terpenting dalam masalah ini adalah mengetahui siapa yang lebih layak dan kompeten untuk menjadi seorang pemimpin, maka indikator untuk mengetahui layak-tidaknya seseorang menjadi pemimpin adalah   dengan mengetahui tujuan dari sebuah kekuasaan dan jabatan itu sendiri dan mengetahui bagaimana cara untuk mencapai tujuan kekuasaan itu”*.


Maka jika para pemimpin atau penguasa cendrung hanya untuk mengejar ambisi dunia dan kekuasaan semata, maka tipikal kepemimpinan ini,  mereka akan lebih mengetutaman untuk mengangkat pejabat dari para kawan-kawan politik  yang akan mendukung dan mengamankan agar segala ambisi dunia, ambisi diri dan kelompoknya berjalan mulus, aman terkendali, terlapas apakah yang diangkatnya itu layak ataupun tidak dari segi kompetensinya.


Maka ada dua point yang kita dapat dari pertakataan Ibnu taimiyyah dalam menyeleksi pemimpin yang terbaik.


Pertama, melihat tujuan dari sebuah kekuasan atau jabatan. Maka jika sudah nampak jelas oleh mata hati masyarakat dan data-data hasil riset yang murni yang  tidak ada intimidasi kekuasaan. Seorang pemimpin sudah gagal dalam mewujudkan negara yang sejahtera dan terwujudnya persatuan antara agama, suku dan ras dan indikator-indikator lainnya. Maka tidak pantas baginya untuk memimpin kembali.


Dan pemimpin yang terbukti dengan nyata  tidak  menepati janji-janji manis politiknya, janji politiknya hanya seperti patamorga yang indah menggoda di padang pasir yang tandus, maka dengan logika sederhana saja, dia tidak layak untuk menjadi pemimpin. Bagiamana bisa membahagiakan rakyatnya, toh janji-janji manisnya hanya omongan belaka.


Selanjutnya, layak tidaknya seorang pemimpin dilihat dari  medan tantangannya dari jabatan kepimpinan dan  kekuasaan tersebut, sebagaimana yang sudah diulas, katagori pemimpin di dunia pertempuran, berbeda dengan pemimpin atau jabatan di dunia hukum dan jabatanyang lainnya.

Kedua, untuk melihat pantas tidaknya seseorang p menjadi pemimpin, dilihat dari cara dan taktik menggapai tujuan tersebut. Jika seseorang mengejar jabatan kepemimpinan dan kekuasaan dengan cara-cara yang licik dan curang, maka secara moral dan agama, sugguh dia tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin yang sejati di sebuah negeri.


*Bagaimana bisa mengemban amanah kememimpinan dengan benar?, jika toh untuk  mendapatkannya saja dengan cara yang tidak benar yang bertentangan dengan moral kebenaran dan ajaran agama*.


*Aturan Main para Pemimpin atas rakyatnya*


Ibnu Taimiyyah rahumahuLLah menegaskan bahwa salah satu sunnah  adalah  pemimpin  dalam peperangan harus mengimami shalat jum’at dan shalat berjamaah untuk  para pasukan yang dipimpinnya, karena pemimpin perang/komandan perang merupakan kepanjangan tangan dari kepala Negara.


Sebagimana Nabi Muhammad shallaLLahu ‘alahi wasalam suatu hari menunjuk Abu Bakar menjadi imam shalat mengganti beliau, maka setelah itu kaum muslimin lebih mengutamakan dan mendahulukan Abu Bakar menjadi pemimpin perang dan pemimpin dalam hal-hal yang lainnya.


Nabi apabila mengutus seorang pemimpin perang, maka dialah yang akan mengimami shalat sahabat-sahabtnya, demikian juga jika Nabi mengangkat seorang kepala daerah untuk wilayah-wilayah tertentu, sebagaimana Nabi mengutus ‘Ataab Ibnu asiid di Mekah, ‘Utsman bin Abi Al-‘Ashi di thaif, ‘Ali, Muadz dan Abu Musa di Yaman, Abi sufyan dan ‘Amr Bin Hajm di Najraan.


Para gubernur itulah yang memipin shalat rakyatnya, dan melaksanakan hukum hudud dan mengeksekusi  hal-hal yang lainnya seperti halnya apa yang dilakukan para pemimpin perang kepada para pasukannya.


Maka tradisi dalam kepemimpinan Nabi ini selaku pemimpin agama dan Negara dilanjutkan oleh para khalifah-khalifah setelahnya, dan dilakukan juga oleh penguasa-penguasa yang datang setelahnya seperti penguasa-penguasa Umawiyah dan sebagian  penguasa ‘Abasiah.


Hal itu karena hal terpenting dalam urusan agama adalah shalat dan Jihad. Maka apalabi menjenguk orang sakit, Nabi mengucapkan, “Ya Allah sembuhkanlah hambamu ini, sehingga engkau dapat menyaksikan  dia mendirikan shalat dan bertempur melawan musuh-musuhmu”. (HR. Ahmad).


Dan begitu juga ketika Nabi mengutus Muadz ke Yaman, beliau berpesan, *“Wahai Muadz  sesungguhnya hal yang terpenting dalam urusanmu disisiku adalah Shalat”*.


Demikian juga ketika Umar Bin Khattab menulis surat kepada para bawahannya, *“sesungguhnya yang paling penting dalam urusan kalian  bagiku adalah shalat, Barang siapa yang menunaikan shalat dan  menjaga keistiqomahan dalam melaksanakannya, maka sungguh dia telah menjaga agamanya, dan barang siapa yang meremehkannya, maka bagaimana terhadap urusan-urusan yang lainnya dari tugas dan tanggung jawabnnya, pasti  akan lebih menyepelekan”*


Antara keistiqomahan dalam mendirikan shalat dan kepemimpin dalam sebuah jabatan memiliki sebuah mata rantai yang kuat yang saling berhubungan dan menguatkan, Nabi bersabda, “Shalat adalah tiang agama”.  Maka apabila seorang pemimpin atau penguasa mendirikan shalatnya dengan sebenar-benarnya shalat,  maka sungguh dia telah mengokohkan tiang-tiang agamanya dan  membangun tiang-tiang yang kuat dalam kepemimpinan.


Karena sesunguhnya shalat mencegah diri dari perbuatan yang fahsya dan munkar. Dan shalat juga menjadi sebuah jembatan untuk kemudahan-kemudahan dalam melaksanan  ketaatan-ketaatan yang lainnya.


Sebagaimana Allah berfirman,


وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ


“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS. Al-baqarah :45)



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ


“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 153)


Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya,



وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ


Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS. Thaha : 132).



وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ-

“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”
(QS: adz-Dzariyat;56)




مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ () إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ


Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.  (QS. Adzariyat : 57-58).


# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)