Oleh : Misbahudin
Kekuatan dan amanah adalah dua syarat mutlak
terwujudnya sebuah kepemimpinan yang ideal, dengan kekuatan seorang pemimpin,
ia dapat menjaga harga diri dan kedaulatan sebuah Negara, dengan kekuatan yang
dia miliki, maka tidak ada Negara atau
sekelompok oknum yang menginterpensi kebijakan-kebijakannya.
Dan dengan keamanahan seorang pemimpin, dia
akan memaksimalkan segala tanggung jawab dipundaknya agar terlaksana dengan
maksimal, mengedapankan kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya daripada
kepentingan yang lainnya. Dan pemimpin muslim yang amanah akan berusaha
mewujudkan sebuah nilai yang _rahmatalil ‘alamain_ dengan segala perbedaan
keyakinan dan keragama budaya. Membawa negeri tersebut menuju negeri yang
_baldatun warabbul ghafur_
Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menegaskan dua
syarat mutlak tersebut yaitu *kekuatan
dan keamanahan pemimpin* dalam kitabnya, _siasah syariyyah fi ishlahi raa’I wa
ro’iyyah_ dengan landasan teologis yang
bersumber dari firman-firman Allah sebagai sumber hujjah.
إِنَّ خَيْرَ مَنِ
اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya" (QS. Al-Qashash : 26).
إِنَّكَ
الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ
"Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
(QS. Yusuf : 54)
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ () ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ
ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ () مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ
“Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar
firman'(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai
kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy,
yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”. (QS. At-Takwir : 19-21)
*Kontektualisasi kekuatan dan keamanahan
dalam sebuah jabatan*
Kekuatan yang yang harus dimiliki seorang
pemimpin disesuaikan dengan karakter tugas dan medan laganya, parameter
kekuatan dalam kepemimpinan perang adalah berdasarkan keberanian jiwanya dalam
bertempur, pengalaman peperangannya, kepandaiannya mengatur strategi dan taktik,
karena pada hakikatnya peperangan adalah sebuah pertarungan tipu daya dan
siasat.
Kekuatan-kekuatan yang lain yang menunjang
dalam kepemipinan dalam sebuah pertempuran adalah memiliki skill memanah
(menembak), menikam, memukul, menggunakan peralatan tempur, mengatur strategi
pasukan maju dan mundur dan skill-skill yang lainnya dalam dibutuhkan dalam
sebuah pertempuran.
Allah berfirman
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ
عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ
اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya.
(Al-Anfal : 60)
Rasulullah Bersabda
“ Tembaklah, dan paculah kendaraan, dan
menembak lebih aku sukai dari pada
memacu kendaraan, barang siapa yang
belajar menembak lalu melupakannya maka ia bukan termasuk golongan kami”. (HR. Ahmad : 17300)
Dalam riwayat lain
“ Barang siapa yang belajar menembak, lalu
melupakanya hal itu merupakan nikmat yang dikufuri”. (HR. Muslim).
Kontek kekuatan (power) dalam dunia hukum
berbeda dengan konteks kekuatan dalam dunia peperang, dalam dunia hukum, kontek
kekuatan disini adalah mengangkat hakim yang kuat dalam segi keluasan ilmunya
bagaimana Al-qur’an dan as-sunnah mengkonsepsikan sebuah keadilan, dan point
kedua adalah kekuatan dalam arti si hakim mempunya keberanian untuk
mengeksukusi keputusan-keputusan hukum tersebut _(tanfidzul ahkam)_.
Dan
amanah dalam kontek kepemimpinan secara umum adalah dikembalikin kepada
kadar ketakutan kepada Allah dan mengabaikan rasa takutnya kepada manusia. Dan tidak menjual belikan
ayat-ayat Allah demi sebuah kepentingan dunia.
Ketiga hal tersebut adalah janji Allah yang diambil
dalam setiap pembuatan keputusan atau kebijakan.
فَلَا
تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Karena itu janganlah kamu takut kepada
manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku
dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah : 44).
Oleh karena itu Nabi ShalaLLahu ‘Alahi
wasalam bersabda, “hakim (qadhi) itu ada tiga, dua hakim masuk ke neraka dan
satu hakim ke surga, barang siapa yang mengetahui sebuah kebenaran tetapi
memutuskan dengan menyelisihi dengan kebenaran tersebut maka dia masuk neraka,
dan hakim yang memutuskan perkara atas dasar kebodohan maka dia masuk neraka,
dan hakim yang mengetahui kebenaran dan
memutuskan hukum berdasarkan atas
kebenaran tersebut maka dia masuk surge. (HR. Ahlu Sunan).
*Etika Pemimpin Dalam Mengangkat Para
Pejabat*
Hakim (qadhi) adalah sebuah istilah barang
siapa saja yang memutuskan perkara di tengah-tengah manusia, sama saja baik itu khalifah, sulthan, wakil sulthan,
gubernur, atau petugas khusus yang ditunjuk untuk memutuskan hukum, atau
wakilnya, bahkan termasuk orang yang menilai
tulisan anak-anak untuk sebuah lomba. Demikianlah yang diceritakan sahabat
RasuluLLah, sedangkan itu merupakan sesuatu yang jelas.
Maka jika pempimpin disebuah negeri terpilih,
maka seyogyanya dia tidak mengangkat pebajat kecuali yang pantas secara skill dan kompetensi
dibidangnya dari yang ada, jika ia tidak mendapatkan seorang yang ideal untuk
sebuah jabatan, maka angkatlah yang kriteria yang lebih mendekati, kemudian
berikutnya dan berikutnya dalam setiap tugas diberbagai bidang.
Jika seorang pemimpin telah melakukan ijtihad
yang sempurna dan kemudian dia memberikan sebuah tugas jabatan kepada yang lebih berhak, maka sungguh
pemimpin itu telah menunaikan amanah dan kewajibanya selaku seorang pemimpin.
Maka pemimpin tersebut disisi Allah dipandang
sebagai pemimpin yang adil, meskipun ada
beberapa hal yang tidak sempurna karena
sebab diluar kemampuan kontrol dirinya dan dia tidak mampu berbuat apapun
selain itu.
Hal ini tentulah bukan sebuah aib, tetapi
inilah sebuah batas dari kemampuan manusia yang tidak sempurna, Allah
mengindikasikan hal ini dalam firmanNya.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. (QS.
At-Taghabun : 16)
لَا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqarah : 286).
فَقَاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ ۚ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah,
tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah
semangat para mukmin (untuk berperang). (QS. An-Nisa : 84).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ
إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian
apabila kalian telah mendapat petunjuk (QS. Al-Maidah : 105)
#Disarikan Dari
Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah Bareng Syekh DR. Jeje Zainudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar