Minggu, 30 Juni 2019

*SYARAT MUTLAK SEBAGAI PEMIMPIN IDEAL*




Oleh : Misbahudin


Kekuatan dan amanah adalah dua syarat mutlak terwujudnya sebuah kepemimpinan yang ideal, dengan kekuatan seorang pemimpin, ia dapat menjaga harga diri dan kedaulatan sebuah Negara, dengan kekuatan yang dia miliki, maka  tidak ada Negara atau sekelompok oknum yang menginterpensi kebijakan-kebijakannya.

Dan dengan keamanahan seorang pemimpin, dia akan memaksimalkan segala tanggung jawab dipundaknya agar terlaksana dengan maksimal, mengedapankan kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya daripada kepentingan yang lainnya. Dan pemimpin muslim yang amanah akan berusaha mewujudkan sebuah nilai yang _rahmatalil ‘alamain_ dengan segala perbedaan keyakinan dan keragama budaya. Membawa negeri tersebut menuju negeri yang _baldatun warabbul ghafur_

Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menegaskan dua syarat mutlak  tersebut yaitu *kekuatan dan keamanahan pemimpin* dalam kitabnya, _siasah syariyyah fi ishlahi raa’I wa ro’iyyah_  dengan landasan teologis yang bersumber dari firman-firman Allah sebagai sumber hujjah.

 إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS. Al-Qashash : 26).

إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

"Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami". (QS. Yusuf : 54)

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ () ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ () مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ

“Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman'(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”.  (QS. At-Takwir : 19-21)

*Kontektualisasi kekuatan dan keamanahan dalam sebuah  jabatan*

Kekuatan yang yang harus dimiliki seorang pemimpin disesuaikan dengan karakter tugas dan medan laganya, parameter kekuatan dalam kepemimpinan perang adalah berdasarkan keberanian jiwanya dalam bertempur, pengalaman peperangannya, kepandaiannya mengatur strategi dan taktik, karena pada hakikatnya peperangan adalah sebuah pertarungan tipu daya dan siasat.

Kekuatan-kekuatan yang lain yang menunjang dalam kepemipinan dalam sebuah pertempuran adalah memiliki skill memanah (menembak), menikam, memukul, menggunakan peralatan tempur, mengatur strategi pasukan maju dan mundur dan skill-skill yang lainnya dalam dibutuhkan dalam sebuah pertempuran.
Allah berfirman

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. 
(Al-Anfal : 60)

Rasulullah Bersabda
“ Tembaklah, dan paculah kendaraan, dan menembak  lebih aku sukai dari pada memacu kendaraan,  barang siapa yang belajar menembak lalu melupakannya maka ia bukan termasuk golongan kami”.  (HR. Ahmad : 17300)

Dalam riwayat lain
“ Barang siapa yang belajar menembak, lalu melupakanya hal itu merupakan nikmat yang dikufuri”. (HR. Muslim).

Kontek kekuatan (power) dalam dunia hukum berbeda dengan konteks kekuatan dalam dunia peperang, dalam dunia hukum, kontek kekuatan disini adalah mengangkat hakim yang kuat dalam segi keluasan ilmunya bagaimana Al-qur’an dan as-sunnah mengkonsepsikan sebuah keadilan, dan point kedua adalah kekuatan dalam arti si hakim mempunya keberanian untuk mengeksukusi keputusan-keputusan hukum tersebut _(tanfidzul ahkam)_.

Dan  amanah dalam kontek kepemimpinan secara umum adalah dikembalikin kepada kadar ketakutan kepada Allah dan mengabaikan rasa takutnya  kepada manusia. Dan tidak menjual belikan ayat-ayat Allah demi sebuah kepentingan dunia.

Ketiga hal tersebut adalah janji Allah yang diambil dalam setiap pembuatan keputusan atau kebijakan.

فَلَا تَخْشَوُا۟ ٱلنَّاسَ وَٱخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا۟ بِـَٔايَٰتِى ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.  (Al-Maidah : 44).

Oleh karena itu Nabi ShalaLLahu ‘Alahi wasalam bersabda, “hakim (qadhi) itu ada tiga, dua hakim masuk ke neraka dan satu hakim ke surga, barang siapa yang mengetahui sebuah kebenaran tetapi memutuskan dengan menyelisihi dengan kebenaran tersebut maka dia masuk neraka, dan hakim yang memutuskan perkara atas dasar kebodohan maka dia masuk neraka, dan hakim yang mengetahui  kebenaran dan memutuskan hukum berdasarkan  atas kebenaran tersebut maka dia masuk surge. (HR. Ahlu Sunan).

*Etika Pemimpin Dalam Mengangkat Para Pejabat*

Hakim (qadhi) adalah sebuah istilah barang siapa saja yang memutuskan perkara di tengah-tengah manusia, sama saja  baik itu khalifah, sulthan, wakil sulthan, gubernur, atau petugas khusus yang ditunjuk untuk memutuskan hukum, atau wakilnya,  bahkan termasuk orang yang menilai tulisan anak-anak untuk sebuah lomba. Demikianlah yang diceritakan sahabat RasuluLLah, sedangkan itu merupakan sesuatu yang jelas.

Maka jika pempimpin disebuah negeri terpilih, maka seyogyanya dia tidak mengangkat pebajat kecuali yang  pantas secara skill dan kompetensi dibidangnya  dari yang ada, jika  ia tidak mendapatkan seorang yang ideal untuk sebuah jabatan, maka angkatlah yang kriteria yang lebih mendekati, kemudian berikutnya dan berikutnya dalam setiap tugas diberbagai bidang.

Jika seorang pemimpin telah melakukan ijtihad yang sempurna dan kemudian dia memberikan sebuah tugas jabatan  kepada yang lebih berhak, maka sungguh pemimpin itu telah menunaikan amanah dan kewajibanya selaku  seorang pemimpin.

Maka pemimpin tersebut disisi Allah dipandang sebagai pemimpin  yang adil, meskipun ada beberapa hal yang tidak sempurna  karena sebab diluar kemampuan kontrol dirinya dan dia tidak mampu berbuat apapun selain itu.
Hal ini tentulah bukan sebuah aib, tetapi inilah sebuah batas dari kemampuan manusia yang tidak sempurna, Allah mengindikasikan hal ini dalam  firmanNya.

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ 

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.  (QS. At-Taghabun : 16)

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.  (Al-Baqarah : 286).

فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ ۚ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ 
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang).  (QS. An-Nisa : 84).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ 

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk (QS. Al-Maidah : 105)

#Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah Bareng Syekh  DR. Jeje Zainudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar