Minggu, 30 Juni 2019

*MENGGALI SENI KEPEMIMPINAN DALAM DIRI RASULULLAH*



Oleh : Misbahudin



RasuluLLah adalah inspirator abadi dalam hidup dan kehidupan, sosok teladan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk keteladan beliau dalam kepemimpinan, Beliau mengkader sahabat-sahabat disekitarnya menjadi pribadi-pribadi yang berkualiatas yang akan menjadi tunas-tunas baru yang akan melanjutkan estapeta dakwah ketauhidan dan melanjutkan roda kepemerintahnnya.


Ibnu Taimiyyah menukil Salah satu ungkapan yang menarik yang meluncur dari lisan nan mulia, Nabi Muhammad ShalaLLahu ‘Alahi wasalam. *“Aku adalah seorang Nabi yang murah senyum, berhati lembut, tetapi aku juga seorang nabi yang tak segan membunuh”*.


Ada sebuah bahan renungan yang menarik dalam ungkapan nabi Muhammad shalaLLahu ‘alahiwasalam diatas, yang dimana sewaktu-waktu nabi adalah sosok yang lembut, murah senyum, tetapi sewaktu-waktu bisa berubah menjadi sosok yang berbeda 180 derajat menjadi pribadi yang tidak segan untuk membunuh atau berperang. Ini adalah sebuah bukti bahwa Nabi Muhammad menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran dan sumber acuan dalam  perkataan dan perbuatan. 


Allah dijadikan sebagai rujukan utama dalam setiap gerak geriknya, keridhaan Allah menjadi satu-satunya tujuan yang ditanamkan dalam diri-diri para shabata-sahabatnya. Maka dari sini lahir karakter yang unik, para sahabatnya begitu lembut dalam tutur kata dan perbuatannya,  tetapi sikap tersebut bisa langsung berubah drastis, menjadi sosok-sosok yang keras dan tegas ketika menghadapi musuh-musuh Allah.


Ummat Nabi Muhammad pun lahir menjadi ummat yang pertengahan _(tawazun)_ yang seimbang dalam perkataaan dan perbuatan. Bisa memainkan emosi dan bersikap yang elegan sesuai dengan medan juang dan objek yang dihadapi.


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ 


*”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”*.  (QS.Al-fath:29)



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي للهُ  بِقَوْمٍ  يُحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّونَهُ  أَذِلَّةٍ  عَلَى  الْمُؤْمِنِينَ  أَعِزَّةٍ  عَلَى الْكَافِرِينَ  يُجَاهِدُونَ فِي  سَبِيلِ اللهِ  وَلاَ  يَخَافُونَ  لَوْمَةَ  لآَئِمٍ ذَلِكَ  فَضْلُ  اللهِ  يُؤْتِيهِ  مَن  يَشَآءُ  وَاللهُ  وَاسِعٌ
 عَلِيمٌ 


*“Wahai sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”*.(QS. Al-Maidah : 54).


Oleh karena itu ketika Abu Bakar dan umar menjadi pemimpin dan memegang kendali estapeta dakwah dan politik pemerintahan, maka mereka berdua menjadi sebuah pasangan yang sempurna, Hal ini menciptakan sebuah konsep kepemimpinan yang saling menyeimbangkan.  sebuah “Duet Maut” diantara sahabat Nabi yang terbaik.  Yang dimana satu dengan yang lainnya memiliki tipikal karakter yang berbeda yang saling menguatkan, saling bersinergi, antara karakter yang keras dan kuat dengan pribadi yang lembuh dan teguh.


Hal ini merupakan sebuah seni kaderisasi kepemimpinan RasuluLLah, yang dapat kita lihat dalam lembaran sejarah dan peradaban Islam, manusia-manusia yang hidup dan senantiasa berinteraksi dengan RasuluLLah, tumbuh berkembang menjadi pribadi-pribadi yang hebat, luar bisa dan  mengagumkan. Termasuk Abu bakar dan Umar, sehingga RasuluLLah pernah bersabda.


*“Teladanillah dua sosok orang setelah ku yaitu Abu Bakar dan Umar Bin Khattab”.  (HR. Ahmad: 23276)*.


Para sahabat yang lain juga tidak bisa dipungkiri, mereka adalah generasi terbaik umat, generasi terbaik yang lahirkan (be Born) dan dikaderisasi ( be made) oleh Nabi Muhammad ShalaLLahu ‘alahi wasalam secara langsung untuk menjadi generasi yang terbaik dalam rentetan sejarah panjang peradaban Islam.


Hal ini jelas dan tegas tergambar dalam sabdanya.

*”Sebaik-baik zaman adalah pada zamanku (yaitu generasi para sahabat Nabi), kemudian zaman setelahnya dan kemudian zaman setelahnya”* (HR al-Baihaqi, ath-Thabrani, Ahmad).


*Seni kepemimpinan dalam mengangkat pejabat*


Ibnu Taimiyyah _rahimahuLLah menegaskan dalam kitabnya _siasah syariyyah_  bahwa jika sebuah posisi jabatan  membutuhkan sosok yang amanah karena tugasnya menuntut keamanahan, seperti menjaga kas keuangan, atau hal-hal yang lain yang menuntut sikap amanah yang lebih. Maka diutaman adalah sosok yang lebih amanah.


Tetapi jika tugasnya menagih uang, mencatatanya, mengelolanya, maka seorang pemimpin harus perjabat yang bukan saja amanah tetapi juga seorang yang kuat, pemberani dan memiliki kemampuan.


Maka pengangakatan seorang pemimpin atau pejabat harus disesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Sama halnya dengan kepemimpinan dalam kancah pertempuran, apabila seorang pemimpin mengeluarkan sebuah intruksi perintah setelah meminta masukan dari ahli ilmu stratak (strategi dan taktik) dan ahli agama, dia kolaborasikan menjadi sebuah konsep yang sempurna untuk menjadi bahan menentukan kebijakannya, maka sungguh dia telah tengah mengumpulkan dua kebaikan dan kemaslahatan.


Maka seyogyanya dalam segala hal yang berkaiatan dengan kepemimpinan dan kekeuasaan  jika sebuah target tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu orang,  maka hendaklah mengumpulkan beberapa orang menjadi sebuah _team work_  untuk saling bahu membahu, saling menguatkan dan saling bersinergi untuk mengeksekusi sebuah  rencana dan target.


Adapun seni kepemimpinan dalam mengangkat seorang hakim, maka pemimpin Negara _(amiir)_ harus mendahulukan seorang yang berilmu, wara, dan mempunyai kemampuan lebih _(al-akfau)_. Maka jika salah satunya adalah seorang yang alim,  dan yang lainnya adalah sosok yang wara. Maka untuk sebuah kasus perkara yang hukumnya Nampak jelas tetapi dikhawatirkan keputusan kasus perkaranya terpengaruhi oleh desakan godaam hawa nafsu.  Maka disini seorang pemimpin harus lebih mendahulukan seseorang yang wara daripada seorang yang alim.


Berbeda halnya dengan perkara kasus yang berat dan rumit yang membutuhkan kejeliaan akal yang tajam dan ilmu yang luas dan mendalam, maka dalam hal ini, pemipimpin harus mendahulukan seserang yang paling alim daripada seseorang yang wara.


Karena Nabi bersabda, *“Sesungguhnya aku menyukai seseorang yang mempunyai pandangan analis yang jeli ketika menghadapi perkara kasus yang penuh subhat, dan aku menyukai  akal sempurna yang penuh dengan kesadaran ketika menghadapi kasus perkara yang  berbalut godaan dari kenikmatan syahwat”* (HR. Baihaqi dalam az-zuhud alkabiir).


Tetapi dalam situasi kondisi yang berbeda, seorang pemimpin harus mendahulukan seseorang yang punya kemampuan _(akfau)_, dan berkompetensi dalam bidangnya,  jika didukung penuh oleh tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri.  Dan ketika proses peradilan lebih membutuhkan kepada sosok yang kuat dan tegas karena ada faktot-faktor pendorong hal tersebut. Maka sosok yang kuat dan tegas lebih didahulukan dari pada sosok hakim yang berilmu dan wara.


Beberapa ulama ditanya, “ jika tidak seseorang untuk diangkat sebagai hakim kecuali orang yang fasik tapi berilmu atau orang jahil tapi shaleh, maka manakah diantara keduanya yang didahulukan?, jika tuntutan dari kasus perkara membutuhkan kepada sosok hakim yang shalaeh untuk membuat keputusan hukum yang akan dijadikan acuan memberantas kerusakan dalam  tatanan masyarakat maka dahulukanlah orang yang shalih walaupun jahil.


Dan jika suatu kasus perkara membutuhkan kejelian analisis dan keilmuan  karena masalahnya begitu pelik, komplek dan begitu samar benang merahnya dari hukum kasus tersebut,  maka dahuluklah seorang yang alim walaupun dia fajir (suka berbuat dosa).


Dan kebanyakan ulama mendahulukan orang yang beragamanya kuat, dan para ‘aimah telah bersepakat  bahwa hakim itu harus seorang yang adil dan diterima kesaksiannya. Maka seorang yang adil dan diterima kesaksiannya adalah orang yang kuat agamanya.



 # Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :

 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar