Minggu, 30 Juni 2019

*TUJUAN HAKIKI DARI SEORANG PEMIMPIN SEJATI*





Oleh : Misbahudin


Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah mengungkapkan akan hakikat dari tujuan yang hakiki bagi seorang pemimpin yang sejati, dan dia harus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mewujudkannya dalam roda kepempimpinannya. Tujuan hakiki itu adalah,  


Pertama, memperbaiki agama manusia. Maka barang siapa yang menjadi pemimpin dan tidak bisa mewujudkan sebuah perbaikan _(ishlah)_ dalam tatanan agama rakyatnya, maka sungguh pempimpin tersebut telah menjadi manusia yang sungguh merugi. Walaupun rakyatnya ada dalam kelimpahan dan kenikmatan dunia.


Kedua, melakukan sebuah perbaikan _(ishlah)_ dalam perkara-perkara dunia yang membantu tegaknya urusan agama rakyatnya. Dan perbaikan dalam tatanan urusan dunia ini meliputi dua hal, yaitu : Pertama, melakukan distribusi   harta kepada yang berhak mendapatkannya,  dan kedua, menghukum dan mengeksekusi orang-orang yang melakukan pelanggaran.


Maka dua hal tersebut harus menjadi sebuah “goal” bagi seorang pemimpin dalam roda kekuasaannya dan mengurai tujuan hakiki itu kedalam program-program yang lebih spesifik dan rencana-rencana yang lebih detail.


Seorang pemimpin yang sejati tidak hanya membangung visi misi keduniawian  saja, tetapi pemikiran dan idenya menembus ruang dan waktu dalam mewujudkan sebuah target-target kepemimpinannya yaitu kebahagiaan rakyatnya di dunia dan di akhirat. Membawa rakyat  kedalam tatanan  peradaban negeri yang _baldatun thoyyibun warabbul ghafur_


*Carut Marut Kehidupan akibat kemaksiatan*


Ibnu Taimiyyah _rahimahuLLah_ melanjutkan afirmasi pemikirannya, Ia berkata, *“Maka tatkala masyarakat berpaling dari jalan kebenaran dan juga para pemimpimpinya, maka pasti akan lahirlah tatanan hidup dan kehidupan yang semraut tidak teratur.  Maka barang siapa yang menjadi pemimpin dan berusaha melakukan sebuah perbaikan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya dengan kemampuan totalitas yang dimiliki oleh dirinya, Maka sungguh dia telah menjadi sebaik-baiknya manusia di zamannya dan menjadi sebaik-baiknya mujahid fisabiliLLah”*.


Maka barang siapa yang tidak melakukan sebuah pelanggran maka hal itu merupakan sebuah visualisasi dari bagusnya agama dan dunianya,  oleh karena itu Umar Bin Khattab berkata, “ sesungguhnya aku mengutus para pekerjaku kepada kalian adalah untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada kalian, sunnah nabi kalian, dan membagikan fai (pajak orang kafir) kepada kalian”. (HR. Ahmad)


Semimpin yang adil pasti akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi masyarakatnya, urusan kepemimpinan itu amatlah penting dalam politik Islam, karena jika pemimpin yang shaleh maka dia akan membuat program-program yang akan menshaleh rakyatnya agar lebih dekat kepada Allah, dan sebaliknya, jika pemimpin yang dhalim dipilih tentua segala kebijakan dan program-program kerjanya akan menggambarkan pola pikir dan pola kehidupanya.

Program-program pemimpin yang  tidak shaleh pasti akan merugikan masarakat itu sendiri, lebih khususnya kaum muslimin. Tata kehidupannya akan jauh dari nilai-nilai spiritual dan jauh dari tujuan-tujuan keakhiratan, dan tentunya kebijakan-kebijakannya hanya akan menggring manusia semakin jauh dari Allah.

Maka tidaklah mengherankan, Rasulullah pernah bersabda,


*“sehari diatur oleh pemimpin yang adil lebih baik daripada beribadah 60 tahun”*. (HR. Thabranie).


*Buah Manis Untuk Pemimpin Idealis*


Tidak main-main pahala dan ganjaran bagi pemimpin yang idealis yang berusaha keras mewujudkan nilai-nilai ilahiyyah dalam kepempimpinannya, membuka segala pintu-pintuku kebaikan bagi banyak orang  dalam urusan dunia dan agamanya.


Maka janji manis itu ada dalam musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi, sesungguhnya beliau bersabda, “ manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah imam yang adil, dan manusia yang paling dimurkai oleh Allah adalah pemimpin yang dhalim”.



عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
(1) Imam yang adil,
(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan
(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”( HR. Bukhari Muslim).


Dalam riwayat lain, di dalam shahih Muslim dari ‘Iyadh Bin Hammad RadiyaLLahu ‘anhu dia berkata, telah bersabda RasuluLLah shallahu ‘alahi wasalam, “


وَأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ


Ahli surga ada tiga golongan, yakni: Penguasa yang adil, jujur dan sesuai dengan syariat, orang yang penyayang, hatinya lemah lembut, baik kepada kerabat ataupun kepada orang Muslim, dan orang yang menahan diri (tidak meminta-minta) dan menjaga keluarganya. (HR. Muslim).




*Niat yang suci sebagai pondasi segala amal kebaikan*


Niat yang tak kasat mata, tidak bisa dinilai secara alam lahiriyyah karena dia tersembunyi dalam kedalam hati, maka hanya sang ilahi yang mampu menilai segala gerak gerik hati. Maka tidak setiap manusia yang beramal akan diterima oleh Allah, karena syarat diterimanya amal adalah lurusnya niat karena Allah dan  mengikuti sunnah-sunnah RasululaLLah didalam praktek pelaksanaanya.

Pada suatu hari pernah ditanyakan kepada Nabi ShallaLLahu ‘alahi wasalam, “wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan seseorang yang perperang dengan gagah berani, dan seseorang yang berperang dengan fanatisme golongan dan yang berperang karena ria, manakah diantara mereka yang nilai  berjihad fisabiliLLah?. Nabi bersabda,” maka barang siapa yang perperang agar kalimat Allah menjadi paling tinggi, maka dialah yang fisabiliLLah”. (HR. Bukhari dan Muslim).



Dan dalam sunan Ahmad diriwayatkan dari Nabi ShallaLLahu ‘alahi wasalam, sesungguhnya beliau bersabda, “ orang yang bertugas mengambil harta shadaqah dengan cara yang benar adalah seperti mujahid fiisabiliLLah”.


Allah berfirman  dalam surat al-Anfal


وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ


Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Anfal:39)




Ibnu Taimiyyah menegaskan bawah tujuan hakiki dari sebuah peperangan adalah menjadikan seluruh agama untuk Allah dan kalimat Allah sebagai yang tertinggi. Maksud dari Kalimat Allah adalah ungkapan yang mencakup  seluruh firman Allah yang terkandung di dalam kitabnya.


Demikianlah sebuah nilai yang berharga dalam sebuah niat. Niat menjadi pintu pembuka untuk segala amal-amal yang dilakukan agar berbuah pahala dan diterima oleh Allah. Sebagaimana ungkapan Abdullah Ibnu Mubarak,


“Amal yang besar bisa hilang pahalanya karena niatnya, dan sebaliknya, amal yang kecil bisa bernilai pahala besar karena niatnya”


*Al-Qur’an Sebagai Pondasi Kepemimpinan Yang Berkeadilan*

Demikianlah Allah berfirman,


لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ


Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hadid : 25).


Dan maksud dari diutusnya para Rasul dan diturunkannya Al-Qur’an  adalah agar manusia bisa melaksankan hak-hak Allah dan hak-hak sesama mahluk dengan adil.


Maka barang siapa yang menyimpang dari ajaran-ajaran Al-Qur’an maka luruskanlah dengan besi.  Oleh karena itu tiang penopang agama adalah Al-Qur’an dan pedang.


Dan riwayatkan Jabir Bin AbdiLLah, semoga Allah meridhai keduanya dia berkata, “ kami diperintahkan oleh RasuluLLah shallahu ‘alahi wasalam agar kami memenggal leher dengan pedang ini siapa yang menyimpang dari ajarannya”. _(Taarikh adimisyqi 25/279)_.


Jika tujuan inti sudah diketahui, maka mewujudkannya dengan hal-hal yang terjangkau dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Dan dipilihlah orang yang paling memiki kompentensi diantara dua calon yang lebih layak dan pantas untuk mewujudkan tujuan yang mulia ini. Karena pemimpin akan memberikan pengaruh yang besar dalam tatanan hidup dan kehidupan masyakat.



# Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_  Bareng :
 Syekh  DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar