Oleh :
Misbahudin
*Seleksi Ketat Seorang Calon Pemimpin*
Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah menekankan dalam masalah pengangkatan
pemimpin dalam kitabnya _sisasah syariyyah_ . menurut beliau, *“Yang terpenting
dalam masalah ini adalah mengetahui siapa yang lebih layak dan kompeten untuk
menjadi seorang pemimpin, maka indikator untuk mengetahui layak-tidaknya
seseorang menjadi pemimpin adalah dengan mengetahui tujuan dari sebuah
kekuasaan dan jabatan itu sendiri dan mengetahui bagaimana cara untuk mencapai
tujuan kekuasaan itu”*.
Maka jika para pemimpin atau penguasa cendrung hanya untuk mengejar
ambisi dunia dan kekuasaan semata, maka tipikal kepemimpinan ini, mereka akan lebih mengetutaman untuk
mengangkat pejabat dari para kawan-kawan politik yang akan mendukung dan mengamankan agar segala
ambisi dunia, ambisi diri dan kelompoknya berjalan mulus, aman terkendali,
terlapas apakah yang diangkatnya itu layak ataupun tidak dari segi
kompetensinya.
Maka ada dua point yang kita dapat dari pertakataan Ibnu taimiyyah
dalam menyeleksi pemimpin yang terbaik.
Pertama, melihat tujuan dari sebuah kekuasan atau jabatan. Maka jika
sudah nampak jelas oleh mata hati masyarakat dan data-data hasil riset yang
murni yang tidak ada intimidasi
kekuasaan. Seorang pemimpin sudah gagal dalam mewujudkan negara yang sejahtera
dan terwujudnya persatuan antara agama, suku dan ras dan indikator-indikator
lainnya. Maka tidak pantas baginya untuk memimpin kembali.
Dan pemimpin yang terbukti dengan nyata tidak
menepati janji-janji manis politiknya, janji politiknya hanya seperti
patamorga yang indah menggoda di padang pasir yang tandus, maka dengan logika
sederhana saja, dia tidak layak untuk menjadi pemimpin. Bagiamana bisa
membahagiakan rakyatnya, toh janji-janji manisnya hanya omongan belaka.
Selanjutnya, layak tidaknya seorang pemimpin dilihat dari medan tantangannya dari jabatan kepimpinan
dan kekuasaan tersebut, sebagaimana yang
sudah diulas, katagori pemimpin di dunia pertempuran, berbeda dengan pemimpin
atau jabatan di dunia hukum dan jabatanyang lainnya.
Kedua, untuk melihat pantas tidaknya seseorang p menjadi pemimpin,
dilihat dari cara dan taktik menggapai tujuan tersebut. Jika seseorang mengejar
jabatan kepemimpinan dan kekuasaan dengan cara-cara yang licik dan curang, maka
secara moral dan agama, sugguh dia tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin
yang sejati di sebuah negeri.
*Bagaimana bisa mengemban amanah kememimpinan dengan benar?, jika
toh untuk mendapatkannya saja dengan
cara yang tidak benar yang bertentangan dengan moral kebenaran dan ajaran
agama*.
*Aturan Main para Pemimpin atas rakyatnya*
Ibnu Taimiyyah rahumahuLLah menegaskan bahwa salah satu
sunnah adalah pemimpin
dalam peperangan harus mengimami shalat jum’at dan shalat berjamaah
untuk para pasukan yang dipimpinnya,
karena pemimpin perang/komandan perang merupakan kepanjangan tangan dari kepala
Negara.
Sebagimana Nabi Muhammad shallaLLahu ‘alahi wasalam suatu hari
menunjuk Abu Bakar menjadi imam shalat mengganti beliau, maka setelah itu kaum
muslimin lebih mengutamakan dan mendahulukan Abu Bakar menjadi pemimpin perang
dan pemimpin dalam hal-hal yang lainnya.
Nabi apabila mengutus seorang pemimpin perang, maka dialah yang
akan mengimami shalat sahabat-sahabtnya, demikian juga jika Nabi mengangkat
seorang kepala daerah untuk wilayah-wilayah tertentu, sebagaimana Nabi mengutus
‘Ataab Ibnu asiid di Mekah, ‘Utsman bin Abi Al-‘Ashi di thaif, ‘Ali, Muadz dan
Abu Musa di Yaman, Abi sufyan dan ‘Amr Bin Hajm di Najraan.
Para gubernur itulah yang memipin shalat rakyatnya, dan
melaksanakan hukum hudud dan mengeksekusi
hal-hal yang lainnya seperti halnya apa yang dilakukan para pemimpin
perang kepada para pasukannya.
Maka tradisi dalam kepemimpinan Nabi ini selaku pemimpin agama dan
Negara dilanjutkan oleh para khalifah-khalifah setelahnya, dan dilakukan juga
oleh penguasa-penguasa yang datang setelahnya seperti penguasa-penguasa
Umawiyah dan sebagian penguasa ‘Abasiah.
Hal itu karena hal terpenting dalam urusan agama adalah shalat dan
Jihad. Maka apalabi menjenguk orang sakit, Nabi mengucapkan, “Ya Allah
sembuhkanlah hambamu ini, sehingga engkau dapat menyaksikan dia mendirikan shalat dan bertempur melawan
musuh-musuhmu”. (HR. Ahmad).
Dan begitu juga ketika Nabi mengutus Muadz ke Yaman, beliau
berpesan, *“Wahai Muadz sesungguhnya hal
yang terpenting dalam urusanmu disisiku adalah Shalat”*.
Demikian juga ketika Umar Bin Khattab menulis surat kepada para
bawahannya, *“sesungguhnya yang paling penting dalam urusan kalian bagiku adalah shalat, Barang siapa yang
menunaikan shalat dan menjaga
keistiqomahan dalam melaksanakannya, maka sungguh dia telah menjaga agamanya,
dan barang siapa yang meremehkannya, maka bagaimana terhadap urusan-urusan yang
lainnya dari tugas dan tanggung jawabnnya, pasti akan lebih menyepelekan”*
Antara keistiqomahan dalam mendirikan shalat dan kepemimpin dalam
sebuah jabatan memiliki sebuah mata rantai yang kuat yang saling berhubungan
dan menguatkan, Nabi bersabda, “Shalat adalah tiang agama”. Maka apabila seorang pemimpin atau penguasa
mendirikan shalatnya dengan sebenar-benarnya shalat, maka sungguh dia telah mengokohkan tiang-tiang
agamanya dan membangun tiang-tiang yang
kuat dalam kepemimpinan.
Karena sesunguhnya shalat mencegah diri dari perbuatan yang fahsya
dan munkar. Dan shalat juga menjadi sebuah jembatan untuk kemudahan-kemudahan
dalam melaksanan ketaatan-ketaatan yang
lainnya.
Sebagaimana Allah berfirman,
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS.
Al-baqarah :45)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah
: 153)
Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya,
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ
نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertakwa. (QS. Thaha : 132).
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ-
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
untuk menyembah kepada-Ku”
(QS: adz-Dzariyat;56)
(QS: adz-Dzariyat;56)
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ () إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat
Kokoh. (QS.
Adzariyat : 57-58).
#
Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah_ Bareng :
Syekh
DR. Jeje Zaenudin, M.Ag_(Sekjen Ikatan Ulama Asia Tenggra dan waketum PERSIS)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar