Minggu, 30 Juni 2019

*Kolaborasi Kepemimpinan dan Ijtihad Politik*




Oleh : Misbahudin



*Kolaborasi Kepemimpinan Abu Bakar Dan Umar*


Ada sebuah hal menarik yang menjadi bahan renungan yang ‘renyah, ketika Abu Bakar RadhiaLLahu ‘anhu menjadi khalifah pertama yang melanjutkan estapeta dakwah ketauhidan dan tugas kepemerintahan,  beliau mengangakat Khalid Bin Walid sebagai wakilnya dalam kancah pertempuran untuk memerangi kaum murtadien dan melakukan penaklukan Iraq dan Syam. Sebuah kolaborasi kepemimpinan yang seimbang anatara Abu  Bakar yang lembut dengan Khalid Bin Walid yang Keras.


Berbeda ketika umar bin khatab radiaLLahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau memecat Khalid Bin Walid dan mengangat Ubaidah bin jarah. Maka disini ada sebuah kolaborasi dan racikan kepemipinan yang berbeda.  Abu Bakar yang memiliki tipikal lembut membutuhkan sosok yang keras dan kuat seperti Khalid bin walid.


Tetapi berbeda dengan Umar Bin Khottab, umar yang memiliki tipikal keras dan tegas  jika disandingkan dengan Khalid bin walid maka roda kepemimpinan  tidak akan berjalan beriringan, harmonis dan jauh dari sinergitas. Karena mereka kedua-duanya memiliki tipikal yang sama-sama keras.


Maka Umar Bin Khottob memilih Ubaidah Bin Jarah sebagai wakilnya dengan alasan Ubaidah adalah sosok yang berhati lembut seperti Abu Bakar, sehingga Ubaidah bisa menyeimbangan jiwa kepemimpinan umar yang keras.


Masing-masing dari keduanya mengangkat wakil yang berbeda secara tipikal karakter agar roda kepemerintahan berjalan seimbang, harmonis dan saling sinergis.


Maka Nabi pun bersabda, “ Sesungguhnya aku adalah Nabi yang begitu berkasih sayang tetapi aku juga seorang nabi yang punya jiwa bertempur”. (HR. Bukhari)


Maka sungguh  kolaborasi yang PAS antara sosok yang berjiwa petarung lapangan yang menguasai konsep dunia militer,  intelejen, berjiwa ksatria, berwibawa  dan kebapak-bapaan bersanding dengan sosok muda, gesit, lincah dan menjiwai  nilai rasa generasi milineal yang siap menyongsong segala perubahan dan tangtangan zaman.


*Ijtihad Politik Kepemimpinan*


Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah dalam kitabnya _siasah syariyyah fie islaahi raa’I wa ro’iyyah_ menegaskan bahwa terkumpulnya dua syarat mutlak menjadi pemimpin yang ideal sungguh sangat langka ada dalam diri seseorang, yaitu amanah dan kekuatan.


Oleh karena itu Umar bin khattab berdoa, “ Ya Allah, aku mengadu kepada Mu dari orang yang kuat tapi sering maksiat (fajir) dan orang yang shaleh tapi lemah”.


Maka wajib mengangkat pemimpin adalah orang yang terbaik yang memberi banyak manfaat, maka jika sudah terleseksi dua kandidat pemimpin/pejabat, yang satu sangat amanah dan satu lagi mempunyai karakter yang kuat. Maka dahulukan orang yang lebih sesuai dan pas  sesuai dengan halangan dan tangtangan yang dihadapi dalam tugas tersebut.  Dan memilih pemimpin/pejabat yang  madharat yang lebih sedikit.


Jika dihadapkan dengan medan laga peperangan, maka seseorang yang punya karakter yang kuat dan pemberani didahulukan walaupun dia seorang yang fajir daripada seorang berkarakter lemah walaupun dia shaleh.


Sebagaimana Imam bin Ahmad RahimahuLLah ditanya tentang dua laki-laki yang akan diseleksi untuk pemimpin peperangan, yang satu dia kuat dan pemberani tetapi yang suka maksiat (fajir) dan yang satu lagi shaleh tetapi karakternya lemah, maka siapakah yang berhak memipin peperangan?.


Maka Imam Ahmad pun memberikan nasihat, *“berperanglah dengan laki-laki yang kuat dan pemberani walaupun fajir, karena laki-laki yang kuat dan pemberani, maka kekuatan dan keberaniannya akan memberikan manfaat yang banyak bagi kaum muslimin, sedangkan kefajirannya pasti merugikan dirinya sendiri. Berbeda dengan seorang yang shaleh tetapi lemah karakternya.  Maka kelemahan karakternya adalah sebuah malapetaka dan kerugian bagi kaum muslimin seutuhnya dalam sebuah pertempuran, tetapi keshalehannya hanya membawa manfaat untuk dirinya sendiri”*



Maka Nabi Bersabda, *_“sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan seorang lelaki yang fajir”_* (HR. Tirmidzi)


Maka sosok laki-laki yang kuat tetapi fajir lebih utama dalam kancah pertempuran daripada seorang yang shaleh tetapi lemah, hal ini berlaku jika tidak ada alternative lain yang bisa menggantikan posisi laki-laki yang kuat tetapi fajir tersebut dalam segi kekuatan.


Oleh karena itu, Nabi mengangkat Khalid bin walid dalam kancah peperangan sejak dia masuk Islam, Nabi bersabda, “sesungguhnya Khalid adalah pedang yang Allah hunuskan kepada kaum musyrikin”. (HR. Ahmad).


Padahal ternyata, Khalid Bin walid kadang berbuat  apa yang diingkari Nabi, sehingga Nabi ShalaLLahu ‘alahi asalam pernah berdoa, “ Ya Allah aku berlepas diri kepadamu dari apa-apa yang diperbuat Khalid”. (HR. Bukhari).



Diantara contoh perbuatan tersebut adalah ketika Khalid diutus ke bani Jadziimah, Khalid memerangi kaum tersebut dan mengambil harta-harta mereka karena sebab sesuatu yang subhat. Dan Khalid tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut. Dan para sahabat rasuluLLah pu mengingkari perbuatan tersebut. Sehingga Nabi pun membayar diyat dan meganti rugi harta-harta mereka.


Tetapi kesalahan ini, tidak membuat Khalid dipecat, Khalid tetap menjabat sebagai panglima pasukan yang memimpin pertempuran, karena untuk kepempimpinan dalam kancah pertempuran Khalid lebih baik  dari yang lainnya. Kesalahan yang dia lakukan  karena sebuah kesalahan ta’wil.


*Ijtihad Politik, Abu Dzar seorang Sosok Yang Lembut*


Berbeda dengan Khalid bin walid yang keras dan tegas, Abu Dzar adalah sosok yang lembut, orang yang paling amanah dan jujur, sehingga Nabi pu mewanti-wantikan Abu Dzar, *“Hai Abu Dzar!, sesungguhnya aku melihat mu sebagai sosok yang lemah”, sesungguhnya aku suka bagimu apa yang aku suka untuk diriku sendiri, janganlah kamu menjadi pemimpin diantara dua orang dan janganlah kamu mengurus harta anak yatim.”* (HR. Muslim).


Nabi melarang Abu Dzar untuk menjadi pemimpin dan penguasa karena Nabi melihatnya sebagai sosok yang berkarakter lemah, padahal Nabi bersabda, “ tidaklah pohon hijau nan rindah menaungi dan tidaklah tanah menyokong  orang yang paling jujur ucapannya daripada Abu dzar”. (HR. Ahmad).


Maka parameter pengangkatan pemimpin atau pejabat dilihat dari seberapa besar manfaatnya untuk kaum muslimin daripada kemanfaatan yang hanya dirasakan untuk personal dirinya belaka, oleh karena itu Nabi ShallaLLahu ‘alahi wasalam pernah suatu ketika mengangkat Amr Bin ‘As dalam sebuah pertempuran _dzatu salaasil_ dengan tujuan untuk menarik simpati para kaum kerabatnya  yang akan diperangi.


Nabi pernah juga mengangkat panglima perang Usamah Bin Zaid dengan alasan untuk menuntu balas dendam atas kematian bapaknya. Oleh karena itu Nabi mengangkat seorang pemimpin adalah dengan alasan sebuah kemaslahatan yang pasti. Walaupun ternyata ada seseorang yang lebih berhak dengan posisi tersebut karena keilmuan dan keimamanan mereka.



#Disarikan Dari Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah Bareng Syekh  DR. Jeje Zainudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar