Oleh : Misbahudin
*Kolaborasi
Kepemimpinan Abu Bakar Dan Umar*
Ada sebuah hal menarik yang menjadi bahan renungan yang ‘renyah,
ketika Abu Bakar RadhiaLLahu ‘anhu menjadi khalifah pertama yang melanjutkan estapeta
dakwah ketauhidan dan tugas kepemerintahan,
beliau mengangakat Khalid Bin Walid sebagai wakilnya dalam kancah
pertempuran untuk memerangi kaum murtadien dan melakukan penaklukan Iraq dan
Syam. Sebuah kolaborasi kepemimpinan yang seimbang anatara Abu Bakar yang lembut dengan Khalid Bin Walid
yang Keras.
Berbeda ketika umar bin khatab radiaLLahu ‘anhu menjadi khalifah,
beliau memecat Khalid Bin Walid dan mengangat Ubaidah bin jarah. Maka disini
ada sebuah kolaborasi dan racikan kepemipinan yang berbeda. Abu Bakar yang memiliki tipikal lembut
membutuhkan sosok yang keras dan kuat seperti Khalid bin walid.
Tetapi berbeda dengan Umar Bin Khottab, umar yang memiliki tipikal
keras dan tegas jika disandingkan dengan
Khalid bin walid maka roda kepemimpinan tidak akan berjalan beriringan, harmonis dan
jauh dari sinergitas. Karena mereka kedua-duanya memiliki tipikal yang
sama-sama keras.
Maka Umar Bin Khottob memilih Ubaidah Bin Jarah sebagai wakilnya
dengan alasan Ubaidah adalah sosok yang berhati lembut seperti Abu Bakar,
sehingga Ubaidah bisa menyeimbangan jiwa kepemimpinan umar yang keras.
Masing-masing dari keduanya mengangkat wakil yang berbeda secara
tipikal karakter agar roda kepemerintahan berjalan seimbang, harmonis dan
saling sinergis.
Maka Nabi pun bersabda, “ Sesungguhnya aku adalah Nabi yang begitu
berkasih sayang tetapi aku juga seorang nabi yang punya jiwa bertempur”. (HR.
Bukhari)
Maka sungguh kolaborasi
yang PAS antara sosok yang berjiwa petarung lapangan yang menguasai konsep
dunia militer, intelejen, berjiwa
ksatria, berwibawa dan kebapak-bapaan bersanding
dengan sosok muda, gesit, lincah dan menjiwai
nilai rasa generasi milineal yang siap menyongsong segala perubahan dan
tangtangan zaman.
*Ijtihad Politik Kepemimpinan*
Ibnu Taimiyyah RahimahuLLah dalam kitabnya _siasah syariyyah fie
islaahi raa’I wa ro’iyyah_ menegaskan bahwa terkumpulnya dua syarat mutlak
menjadi pemimpin yang ideal sungguh sangat langka ada dalam diri seseorang,
yaitu amanah dan kekuatan.
Oleh karena itu Umar bin khattab berdoa, “ Ya Allah, aku mengadu
kepada Mu dari orang yang kuat tapi sering maksiat (fajir) dan orang yang shaleh
tapi lemah”.
Maka wajib mengangkat pemimpin adalah orang yang terbaik yang
memberi banyak manfaat, maka jika sudah terleseksi dua kandidat
pemimpin/pejabat, yang satu sangat amanah dan satu lagi mempunyai karakter yang
kuat. Maka dahulukan orang yang lebih sesuai dan pas sesuai dengan halangan dan tangtangan yang
dihadapi dalam tugas tersebut. Dan
memilih pemimpin/pejabat yang madharat
yang lebih sedikit.
Jika dihadapkan dengan medan laga peperangan, maka seseorang yang
punya karakter yang kuat dan pemberani didahulukan walaupun dia seorang yang
fajir daripada seorang berkarakter lemah walaupun dia shaleh.
Sebagaimana Imam bin Ahmad RahimahuLLah ditanya tentang dua
laki-laki yang akan diseleksi untuk pemimpin peperangan, yang satu dia kuat dan
pemberani tetapi yang suka maksiat (fajir) dan yang satu lagi shaleh tetapi
karakternya lemah, maka siapakah yang berhak memipin peperangan?.
Maka Imam Ahmad pun memberikan nasihat, *“berperanglah dengan
laki-laki yang kuat dan pemberani walaupun fajir, karena laki-laki yang kuat
dan pemberani, maka kekuatan dan keberaniannya akan memberikan manfaat yang
banyak bagi kaum muslimin, sedangkan kefajirannya pasti merugikan dirinya
sendiri. Berbeda dengan seorang yang shaleh tetapi lemah karakternya. Maka kelemahan karakternya adalah sebuah
malapetaka dan kerugian bagi kaum muslimin seutuhnya dalam sebuah pertempuran,
tetapi keshalehannya hanya membawa manfaat untuk dirinya sendiri”*
Maka Nabi Bersabda, *_“sesungguhnya Allah akan menguatkan agama
ini dengan seorang lelaki yang fajir”_* (HR. Tirmidzi)
Maka sosok laki-laki yang kuat tetapi fajir lebih utama dalam
kancah pertempuran daripada seorang yang shaleh tetapi lemah, hal ini berlaku
jika tidak ada alternative lain yang bisa menggantikan posisi laki-laki yang
kuat tetapi fajir tersebut dalam segi kekuatan.
Oleh karena itu, Nabi mengangkat Khalid bin walid dalam kancah
peperangan sejak dia masuk Islam, Nabi bersabda, “sesungguhnya Khalid adalah
pedang yang Allah hunuskan kepada kaum musyrikin”. (HR. Ahmad).
Padahal ternyata, Khalid Bin walid kadang berbuat apa yang diingkari Nabi, sehingga Nabi
ShalaLLahu ‘alahi asalam pernah berdoa, “ Ya Allah aku berlepas diri kepadamu
dari apa-apa yang diperbuat Khalid”. (HR. Bukhari).
Diantara contoh perbuatan tersebut adalah ketika Khalid diutus ke
bani Jadziimah, Khalid memerangi kaum tersebut dan mengambil harta-harta mereka
karena sebab sesuatu yang subhat. Dan Khalid tidak diperbolehkan melakukan hal
tersebut. Dan para sahabat rasuluLLah pu mengingkari perbuatan tersebut.
Sehingga Nabi pun membayar diyat dan meganti rugi harta-harta mereka.
Tetapi kesalahan ini, tidak membuat Khalid dipecat, Khalid tetap
menjabat sebagai panglima pasukan yang memimpin pertempuran, karena untuk
kepempimpinan dalam kancah pertempuran Khalid lebih baik dari yang lainnya. Kesalahan yang dia
lakukan karena sebuah kesalahan ta’wil.
*Ijtihad Politik, Abu Dzar seorang Sosok Yang Lembut*
Berbeda dengan Khalid bin walid yang keras dan tegas, Abu Dzar
adalah sosok yang lembut, orang yang paling amanah dan jujur, sehingga Nabi pu
mewanti-wantikan Abu Dzar, *“Hai Abu Dzar!, sesungguhnya aku melihat mu sebagai
sosok yang lemah”, sesungguhnya aku suka bagimu apa yang aku suka untuk diriku
sendiri, janganlah kamu menjadi pemimpin diantara dua orang dan janganlah kamu
mengurus harta anak yatim.”* (HR. Muslim).
Nabi melarang Abu Dzar untuk menjadi pemimpin dan penguasa karena
Nabi melihatnya sebagai sosok yang berkarakter lemah, padahal Nabi bersabda, “
tidaklah pohon hijau nan rindah menaungi dan tidaklah tanah menyokong orang yang paling jujur ucapannya daripada
Abu dzar”. (HR. Ahmad).
Maka parameter pengangkatan pemimpin atau pejabat dilihat dari
seberapa besar manfaatnya untuk kaum muslimin daripada kemanfaatan yang hanya
dirasakan untuk personal dirinya belaka, oleh karena itu Nabi ShallaLLahu
‘alahi wasalam pernah suatu ketika mengangkat Amr Bin ‘As dalam sebuah
pertempuran _dzatu salaasil_ dengan tujuan untuk menarik simpati para kaum
kerabatnya yang akan diperangi.
Nabi pernah juga mengangkat panglima perang Usamah Bin Zaid dengan
alasan untuk menuntu balas dendam atas kematian bapaknya. Oleh karena itu Nabi
mengangkat seorang pemimpin adalah dengan alasan sebuah kemaslahatan yang
pasti. Walaupun ternyata ada seseorang yang lebih berhak dengan posisi tersebut
karena keilmuan dan keimamanan mereka.
#Disarikan Dari
Kajian Kitab Siasah Syariyyah Ibnu Taimiyyah Bareng Syekh DR. Jeje Zainudin, M.Ag_(WAKETUM PERSIS)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar