Materi kedua
belas dalam kegiatan *KADERISASI
ULAMA MIUMI (KUM-1)*, membahas tema tentang *”POLITIK DAN KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM”* yang disampaikan oleh *Ust. Arta
Wijaya*, beliau
mengungkapkan bahwa dalam teori
sosial manusia dikenal dengan istilah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain
dalam memenuhi segala kebutuhanya hidupnya untuk saling bekerjasama dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya _(basic needs)_.
Dimensi lain
dari manusia adalah makhluk politik _(zoon politicon)_, mempunyai hasrat
dan kepentingan untuk bersiasat dan berkuasa demi tercapainya kebutuhan hidup
tersebut. Dan Manusia
membutuhkan kerja sama yang terorganisir dalam
organisasi kemasyarakatan atau institusi yang berwenang untuk mengatur
itu semua, agar terciptanya harmonisasi dan terwujudnya hajat kebutuhan.
Maka
Kebutuhan akan kebersamaan dalam sebuah cita-cita untuk terpenuhinya hajat
manusia tersebut inilah yang akan membentuk sebuah institusi bernama Negara atau pemerintahan.
Dalam Sabda
RasuluLLah hal ini sudah disampaikan secara ekplisit tentang fitrah manusia
yang hidup dalam kekurangan dan kelebihan masing-masing untuk hidup bersama dan
saling melengkapi satu dengan yang lain dalam sebuah tatatnan kehidupan.
RasuluLLah mengumpakan kaum muslimin seperti suatu bangun yang saling menguatkan, terdiri
dari elemen-elemen yang berbeda, tetapi memiliki
visi dan misinya sama, untuk menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh, maka
segala kekurangan dan kelebihan masing-masing diolah dan dikelola menjadi
sebuah tatanan peradaban yang berbentuk bangunan. Sebagaimana sabda Rasulullah _shalaLLahu
‘alahi wasalam_.
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ
كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang
Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi,
sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Bukhari).
Sabda
RasuluLLah ini, diperkuat oleh teori Ibnu Kaldum, seorang tokoh terkenal dalam bidang historiografi, sosiologi dan ekonomi. Beliau
mengatakan :
_“Al-insanu
madaniyyun bith-thabi’iy; manusia tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Dia
memerlukan kepada selainnya, lantaran
kebutuhannya yang bermacam-macam rupa. Kebutuhan-kebutuhan ini
memerlukan adanya pembagian kerja dan memerlukan adanya bermacam-macam aturan,
sehingga terwujud kemakmuran. Masyarakat manusia akan kacau jika dibiarkan
tanpa pengendali.”_
Maka hidup
bersama dalam sebuah tatanan sosial,
perpu adanya bermacam aturan, pembagian kerja, dan yang lebih penting adanya
orang yang memimpin yang bertujuan untuk merencanakan _(planning)_, mengatur _(organizing)_, mengaktualisasikan
_(actuating)_ dan untuk mengontrol
dan mengevaluasi _(controlling)_ dari sebuah konsep, aturan dan
kebijakan yang disepakati bersama, sehingga cita-cita bersama pun terwujud
yaitu lahirnya sebuah hidup dan kehidupan yang makmur dan berkeadilan.
Konsep
kepemimpian Islam, bukanlah konsep baru lahir di era modern, Rasulullah bahkan sudah memberikan sebuah
indikasi akan pentingnya kepempinan, bahkan dalam hal yang sederhana, seperti
RasuluLlah memerintahkan pengangkatan
pemimpin ketika dalam sebuah perjalanan _(safar)_,
logika sederhananya, dalam urusan perjalan RasuluLLah memerintahkan untuk
mengangkat pemimpin, apalagi dalam urusan-urusan besar yang berkaitan dengan
hajat orang banyak.
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ
فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ
.
“Jika
tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah
seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Daud)
*Pengertian
Politik Islam*
Maka
kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hajat
yang besar yang berakitan dengan
kebutuhan khalayak ramai demi mewujudkan hidup dan kehidupan yang tenang,
makmur dan berkeadilan, maka kebutuhan
tersebut menggiring manusia untuk
mengatur strategi politik bersama.
Maka para
manusia pun berfikir untuk membuat sebuah tatanan politik kekuasaan. Maka
lahirkan system politik sekularisme, kapitaslisme, sosialisme dan pemikiran
politik lainnya, sebuah system kehidupan politik yang lahir dari dorongan jiwa
manusia untuk berpolitik agar tercipta tatanan kehidupan yang mereka inginkan.
Tetapi
system politik hasil olah piker manusia pasti banyak kekurangan, karena hal itu
lahir dari pemikiran manusia yang terbatas, berbeda dengan system politik yang
Allah sendiri turunkan kepada utusannya untuk menjadi sbeuah pedoman kehidupan
_”way of life”.
System
politik yang bernafaskan Islam. Akan menjadi sebuah sitem politik dalam hidup dan kehidupan yang syumulillah, mencakup
semua dimensi kehidupan dari yang kecil sampai disemnsi kehidupan yang besar.
Lalu apa
yang dimaksud dengan politik Islam?, sebuah system politik berketuhanan yang
pernah Berjaya beratus-ratus tahun lamanya, yang merubah warna kehiudpan dunia yang gelap menjuju kepada peradaban
dunia yang maju dan tinggi.
Imam
As-Syari’I _rahimahuLLah_ memberikan definisi tentang politik Islam, kata
beliau politik Islam adalah tidak ada
siasah atau strategi politik kecuali yang berkesesuaian dan tidak melanggar aturan-aturan syariat.
Imam Syafi’i
memberikan definisi yang luas tentang pengertian dan ruang lingkup politik
Islam, adalah segala hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan public, kekuasan dan tata kelola pemerintah yang
tidak keluar dari rambu-rambu ajaran Islam.
Maka ketika melanggar batasan-batasan tersebut, maka hal itu tidak
pantas dinamakan dengan politik Islam.
Ibnu ‘Aqil Al-Hambali
memberikan pengertian politik Islam menekankan kepada dua point penting
yaitum mewujudkan kemaslahan dan
menjauhkan dari kerusakan, beliau mengatakan, “ politik Islam adalah Kebijakan yang menjadikan manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan menjauhkan dari
kerusakan (mafsadat), meskipun tidak ada ketetapannya dari Rasulullah dan
tidak ada pada wahyu yang diturunkan”
Partai
Masyumi, partai besar Islam pada zamanya, yang memperjuangkan nilai-nilai
keislamannya dalam kancah politik Indonesia, Mempunyai definisi yang spesifik,
politik Islam adalah Kegiatan mengatur
masyarakat yang dilakukan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam, di dalam
kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara, menuju keridhaan Ilahi.”
Dari
definisi-definisi politik Islam diatas, dapat disimpulan bahwa poltik Islam
adalah tata kelola pemerintah dan kekuasaan dengan tujuan untuk mewujdukan
kemaslahatan bersama dan menghindarkan masyakat daru kerusakan _(mafasadat)_
dari berbagai dimensi kehidupan. Dengan tata cara pengaflikasian program-program
yang tidak keluar aturan-aturan pokok syariat Islam.
*Tugas
Pemimpin dalam perfektif Islam*
Jika
diklasifikasikan tugas pokok seorang
pemipimpin dalam perfektif Islam, maka tugas pemimpin hanya mencakup dua
hal yang pokok, yaitu, peratama Menjaga agama _(hiraasah ad-din/himayah
ad-din)_ dan mengatur urusan dunia _(siyasah
ad-dunya)_.
A. Tugas
Hirasah Ad-Dien
Hirasah
ad-dien adalah penjagaan terhadap nilai-nilai agama yang mempunyai sebuah
tujuan-tujuan syariat, tujuan-tujuan syariat ini dalam istilah ushul fiqih
disebut _“maqashidu syariaah”_,
maqashidu syariah ini yang menjadi target utama adalah umat Islam itu
sendiri, tetapi dalam tatanan pemerintahan umat selain Islam pun akan merasakan
nilai-nilai ketuhanan ini akan menjadi rahmat untuk semesta alam.
Tugas
pemimpin sebagai penjaga agama ini mencakup lima hal, yaitu : menjaga agama
_(hifdh ad-din)_, menjaga jiwa _(hifdz Nafs)_, menjaga akal _(hifdz aql)_,
menjaga harta _(hidz maal)_ dan menjaga keturunan _(hifdz an-Nasl)_.
1. Menjaga
agama _(Hifzh Ad-din)_
Tugas
menjaga agama _(hirasah ad-dien)_ mencakup agama apapun terutama agama
Islam, sebagaimana RasuluLLah _shalaLLahu ‘alahi wasalam_ ketika menjadi
pemipin agama dan Negara, beliau betul-betul menjaga para pemeluk agama tenang
melakukukan ritual ibadahnya dengan tenang dan damai dengan konsekuensi membayayar ji’yah, jika
mereka non muslim.
Oleh karena
itu dalam tugas pemimpin untuk menjaga agama ini, dikenal dengan konsep kafir harbi dan kafir
dimmi, kafir harbi adalah kafir yang memerangi umat Islam, tidak ada genjatan
sejata dengan kaum muslimin, maka dalam konteks peperangan mereka wajib diperfangi,
berbeda dengan orang kafir yang memberi pajak keamanan atau jiz’yah dalam
konsep politik Islam, mereka wajib dilindungi oleh pemimpin muslim dalam hidup
dan kehidupannya, dalam hubungannya sesame manusia atau bahkan kegiatan mereka
yang berkaitan dengan kepercayaan mereka.
2. Menjaga jiwa_( Hifzh An-nafs)_
Menjaga jiwa
adalah termasuk hal yang urgent di dalam
kehidupan, karena jiwa merupakan sebuah anugrah yang besar, oleh karena itu,
Pemimpin Islam wajib untuk menjaga jiwa masyaraknya.
Sebagaimana
firman Allah,
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºs $oYö;tF2 4n?tã ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) ¼çm¯Rr& `tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ Ï9ºs Îû ÇÚöF{$# cqèùÎô£ßJs9 ÇÌËÈ
“Oleh karena
itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya . dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah
itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. (QS. Al-Maidah :32)
3. Menjaga akal
_( Hifzh Al-aql )_
Manusia
adalah mahluk yang paling sempurna dibandingakn dengan mahluk-mahlkuk lainnya,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي
أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ -٤-
“Sungguh,
Kami telah Menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
(At-Tin 4).
Maka keutaman manusia adalah karena mereka
diberikan anugrah akal untuk menjadi alat mencari sebuah fakta kebenaran, akal
lah yang membedakan antara manusia dan hewan.
Akal begitu
berharga dalam kehidupan manusia, karena dengan akalah manusia dapat memikirkan
kebesaran dan keagungan ciptaan Allah, sebagaimana firman Allah _subhanahuwata’ala_
“
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Ali-Imran : 190-191).
4. Menjaga
harta _( Hifzh Al-maal)_
Harta merupakan salah satu yang berharga dalam kehidupan
untuk bekal hidupnya beribadah dan berjuang dijalan Allah, tetapi kadang
manusia yang dibutakan dengan dunia, mencari harta dengan jalan yang tidak
benar, dengan jalan yang haram, sehingga merampas hak orang lain.
Disinilah
syariat Islam mencegah hal tersebut terjadi, karena bisa menimbulkan suasa
kehidupan yang tidak tenang penuh dengan kehawatiran karena jiwanya dihinggapi rasa was-was.
Allah
_subhanahu wata’ala_ Melarang perbuatan kedzaliamn terhadap hak milik orang
lain
“
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 188).
5. Menjaga
regenerasi _(Hifzh An-Nasl)_
Selanjutnya,
tujuan dari pemimpin adalah menjaga keturunan, karena keturunan merupakan
sebuah regenerasi, sebuah penyambung estapeta hidup dan kehidupan. Keturuan adalah termasuk hal yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Segala ikhtiar pasti akan dilakukan untuk
menjaga keturunan.
Oleh karena
itu Allah menjaga agar keturuan itu terjaga dengan baik, sebuah regenerasi yang
baik dan berkualitas. Maka salah satu hal yang dapat merusak kualitas keturunan
adalah sebuah perzinahan. Oleh karena itu Allah melarang perbuatan tersebut.
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur : 2).
Maka dari sini, dapatlah kita pahami, kenapa
Islam itu menjadi agama yang rahmatalil’alamin, karena dengan menjaga aturan-aturan
syariat atau dalam istilah ushul fiqih disebut dengan _ maqashid asy-syariah _ yaitu Menjaga
keberlangsungan tujuan-tujuan diberlakukannya syariat.
Ketika syariat Islam dijalankan, maka
sebetulnya tidak ada kaum minoritas yang terdzalimi dan teraniyaya, justru
mereka juga akan merasakan hidup dalam ketenangan dan kedamaian.
Maka tidak heran setelah terjadi
penaklukan negeri andalusi oleh thariq
bin jiyad, banyak setelah itu Negara-negara
jajahan romawi pada saat itu ingin bergabung dengan negari Muslim,
karena mereka mendapai perbedaan yang jauh, ketika mereka hidup dalam kekuasaan
muslim dan ketika mereka hidup dalam
kekuasaan penjajahan romawi.
Sejarah sudah membuktikan bahwa, ketika Islam
berkuasa tidaka di negeri atau wilayah tersebut terjadi penumpahan darah,
penindasan yang bengis yang tidak berperi kemanusiaan, justru sebaliknya, Islam
yang berkuasa di suatu wilayah atau
negeri, maka akan memberikan keamanan dan kedamaian, tidak ada paksaan untuk
pindah agama. Semua mengalir dalam tuntuan syariat Islam yang rahmatal
lil’alamin.
B. Tugas
Mengatur kehidupan dunia _(Siyasah
Ad-Dunya)_
Tugas selanjutnya bagi seorang pemimpin
setelah menjaga _(defender)_ agama dengan memelihara _maqashidu
syari’ah_ adalah tugas untuk mengatur
kehidupan dunia masyarkat adalah Menegakkan keadilan sosial (al’-adalah
al-ijtima’iyah) bagi seluruh rakyat, makna keadilan disini cakupannya luas,
keadilan dalam bidang hukum, pemeritaan social, lapangan pekerjaan dan dimensi-dimensi
kehidupan lainnya yang semua harus bermuara kepada unsur keadialan.
Masyarakat
akan hidup tenang, damai dan sejahtera jika nilai-nilai keadilan dapat
implementasikan oleh pemimpin dalam amanah kekuasaanya, dan apabila nilai-nilai
jauh dari kebijakan-kebijikan yang dibuat oleh pemimpin, maka jangan bermimpin
rakyat akan hidup damai dan tenang. Hilannya unsur keadilan akan menjadi sebuah
bom waktu bagi Negara tersebut, karena akan timbulah pergesekan-pergesekan
social, demontrasi menuntut keadilan dan
efek yang paling besar adalah pemerintah akan kesulitan untuk melakukan
terobosan-terobosan untuk memajukan negaranya.
Oleh karena itu, Allah _subhanahutaala_ memerintahkan kepada setiap manusia untuk
berbuat adil atau menegakkan keadilan
“
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat “. (Qs. an-Nisaa (4): 58):
Dalam firman yang lain Allah menegaskan akan urgensi dari
penegakan keadilan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
“ Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa : 135).
Ruang lingkup
keadilan bukan hanya ditegakan dilakangan muslim sendiri, tetapi keadilan itu
harusditegakan dengan tanpa memandang perbedaan suku, bangsa atau agama
sekalipun. Sebagaimana firman Allah.
“ Maka
karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah[1343] sebagai mana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
Katakanlah: "Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku
diperintahkan supaya Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan
kamu. bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada
pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)" (QS. As-syuuara : 15).
Allah dan
Rasulnya sangat menjujung tinggi nilai keadilan, sehingga tidak heran Jika
Islam jika dimanifestasikan secara _kaaffah_ akan menjadi sebuah system
kehidupan yang rahmatalil ‘alamien.
Allah
memerintahkan kaum muslimin, pemimpin atau hakim agar jangan menghukumi dengan
landasan emosi, underestimet, dan kebenciaan yang membutakan mata hati untuk
melihat keadalin.
Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah : 8).
Maka jika
seorang pemimpin telah menegakan
keadilan terlepas dari kepercayaan agamanya, maka cendrung Negara atau wilayahnya akan hidup dalam
ketenangan, kedamaian dan kesejateraan. Karena semua elemen masyarakat
merasakan perasaan yang sama tidak ada perbedaan sikap, kesenjangan social dan
lain sebagainya.
Jika semua elemen masyarakat hidup dalam nuansa
keadilan maka pasti akan tercipta sebuah produktifitas masyarakat, dan ketika sebuah masyarakat hidup dalam
produktifitas yang positif maka akan secara langsung mendorong Negara untuk
lebih maju.
Dari
keadilan yang ditegakan seadil-adilnya tanpa pandang bulu, maka akan lahirlah
yang dalam istilah Ibnu Kaldum
“At-Takaful Al-Ijtima’iy” yaitu Saling menanggung dalam kebutuhan hidup masyarakat
dan “At-Takaful Al-Amniy” yaitu Saling menanggung untuk terciptanya
keamanan agar tidak saling menindas untuk terpenuhinya kebutuhan dasar
tersebut.
Maka menurut
beliau Dua sebab pokok ini menyebabkan manusia bersatu untuk hidup dalam satu
masyarakat yang teratur (civil society). Sebagaimana Ketika Rasulullah membuat piagam madinah,
maka nilai-nilai keislaman yang rahmatalil’alamien beliau internalisasilan
kedalam piagam madinah tersebut. Seperti nilai
Keadilan _(Al-’adalah)_, Persamaan _(Al-Musawah)_,
Kebebasan _(Al-Hurriyah)_ dan
Musyawarah _(Asy-Syura)_ sehinga Islam menjadi Rahmatal
lil’alamin, dirasakan keberkahan islam bukan hanya untuk umat Islam tetapi
untuk non muslim juga karena Islam mengemabngan nilai-nilai tersebut diatas.
*ASAS POKOK
KEPEMIMPINAN POLITIK ISLAM*
Ibnu
Taimiyyah _RahimahuLLah_ dalam kitab _siasah syariyyah_ menekankan dalam masalah asas-asa pokok dalam
mengangkat pemimpin dalam kitabnya, _siasah syariyyah fi ishlahi raa’I wa
ro’iyyah_ diantaranya adalah :
*Pertama*, Kekuatan
dan amanah, dua hal tersebut adalah dua
syarat mutlak terwujudnya sebuah kepemimpinan yang ideal, dengan kekuatan
seorang pemimpin, ia dapat menjaga harga diri dan kedaulatan sebuah Negara,
dengan kekuatan yang dia miliki, maka
tidak ada Negara atau sekelompok oknum yang menginterpensi
kebijakan-kebijakannya.
Dan dengan
keamanahan seorang pemimpin, dia akan memaksimalkan segala tanggung jawab
dipundaknya agar terlaksana dengan maksimal, mengedapankan kepentingan dan
kemaslahatan rakyatnya daripada kepentingan yang lainnya. Dan pemimpin muslim
yang amanah akan berusaha mewujudkan sebuah nilai yang _rahmatalil ‘alamain_
dengan segala perbedaan keyakinan dan keragama budaya. Membawa negeri tersebut
menuju negeri yang _baldatun warabbul ghafur_
Sebagaimana firman Allah _subhanahuwata’ala_
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS. Al-Qashash : 26).
إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ
أَمِينٌ
"Sesungguhnya
kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai
pada sisi kami". (QS. Yusuf : 54)
إِنَّهُ
لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ () ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ () مُطَاعٍ
ثَمَّ أَمِينٍ
“Sesungguhnya
Al-Qur'an itu benar-benar firman'(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia
(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi
Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi
dipercaya”. (QS. At-Takwir : 19-21)
*Kedua*, melihat
tujuan dari sebuah kekuasan atau jabatan. Maka jika sudah nampak jelas oleh
mata hati masyarakat dan data-data hasil riset yang murni yang tidak ada intimidasi kekuasaan. Seorang
pemimpin sudah gagal dalam mewujudkan negara yang sejahtera dan terwujudnya
persatuan antara agama, suku dan ras dan indikator-indikator lainnya. Maka
tidak pantas baginya untuk memimpin kembali.
Dan pemimpin
yang terbukti dengan nyata tidak menepati janji-janji manis politiknya, janji
politiknya hanya seperti patamorga yang indah menggoda di padang pasir yang
tandus, maka dengan logika sederhana saja, dia tidak layak untuk menjadi
pemimpin. Bagiamana bisa membahagiakan rakyatnya, toh janji-janji manisnya hanya
omongan belaka.
Selanjutnya,
layak tidaknya seorang pemimpin dilihat dari
medan tantangannya dari jabatan kepimpinan dan kekuasaan tersebut, sebagaimana yang sudah
diulas, katagori pemimpin di dunia pertempuran, berbeda dengan pemimpin atau
jabatan di dunia hukum dan jabatanyang lainnya.
*Ketiga*, untuk melihat
pantas tidaknya seseorang menjadi pemimpin, dilihat dari cara dan taktik
menggapai tujuan tersebut. Jika seseorang mengejar jabatan kepemimpinan dan
kekuasaan dengan cara-cara yang licik dan curang, maka secara moral dan agama,
sugguh dia tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin yang sejati di sebuah
negeri.
*Bagaimana
bisa mengemban amanah kememimpinan dengan benar?, jika toh untuk mendapatkannya saja dengan cara yang tidak
benar yang bertentangan dengan moral kebenaran dan ajaran agama*.
*Keempat*, mengambil
keputusan secara musyawarah, hal ini pernah dicontohkan oleh RasuluLLah Sebagai
seorang panglima sekaligus komandan perang, kepiawaian Rasulullah saw tidak
perlu diragukan. Ukurannya sederhana saja, yaitu bahwa hampir seluruh
peperangan yang beliau lakukan mendapatkan kemenangan. Sejak keterlibatan
beliau secara langsung di dalam perang Badar dan hamper diseluruh target
militer dan politik yang disusun oleh beliau, semuanya tercapai.
Selain
karena sebuah idzin pertolongan Allah, tetapi RasuluLLah melakukan
ikhtiar-ikhtiar yang bersifat taktik dan stretegi, Salah satu instrument yang dipakai untuk
menyusun strategi, taktik dan maneuver militer itu adalah musyawarah.
Sebgaimana
firman Allah _subhanahu wata’ala_
“ Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
(Ali-Imran:159).
*Kelima* adalah
menetapkan hukum dalam bermasyarakat berdasarkan syariat Islam. Sebagaimana
Allah menegaskan, jika kalian masuk Islam, maka masuk Islamlah secara totalitas
tidak sebagian-sebagian, tidak dipilih mana yang enak mana yang tidak enak.
Sebagaimana
Firman Allah _Subhanawuwa’taala_
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
Disisi lain,
Allah memberikan sebuah ancaman (punishment) bagi mereka yang tidak mau
menjalankan hukum Allah, Allah mencap mereka dengan sebutan kafir, fasiq dan
dhalim,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” [Al-Maidah/5 : 44]
*Landasan Perjuangan Politik*
Ibnu
Taimiyyah _RahimahuLLah_ menjelaskan tentang landasan perjuangan politik yang
menjadi dasar dan pegangan bagi seorang memimpin. Allah _subhanahu wata’ala_ berfirman :
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّايَعِظُكُم بِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sungguh,
Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya
dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”. ( QS. An-Nisa : 58)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُإِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59).
Ulama
berkata “ ayat pertama diturunkan
berkaitan dengan pemimpin pemerintahan _(wulatul amri)_, maka
para pemangku jabatan wajib menunaikan amanah kepada orang-orang yang berhak
mendapatkannya. Dan apabila menghukumi rakyat maka hukumlah mereka dengan adil
tanpa tebang pilih atau seperti pisau yang dimana tajam kebawah tetapi tumpul
keatas.
Ayat kedua
berkaitan dengan bawahan yang dipimpin, baik sebagai rakyat biasa ataupun
sebagai pasukan kepemerintahan, agar mereka mentaati kebijakan pemerintah _(ulil
amri)_ yang menjalan roda
kepemerintahan, baik pada pembagian harta, keputusan-keputusan hukum, pengaturan
peperangan dan lain sebagainya.
Ketika
seorang pemimpin pemangku jabatan menyuruh kepada kemaksiatan dan kepada
kedurhakaan kepada Allah, maka tidak wajib bagi mereka untuk mentaati segala
kebijakan dan intruksinya. Karena tidak
ada kewajiban taat kepada mahluk untuk sebuah kedurhakaan kepada sang khalik.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيْنَ مَا
ثُقِفُوٓا۟ إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ٱلنَّاسِ
“Akan
ditimpakan kehinaan kepada mereka di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
menjaga tali Allah (hablumminallah) dan menjaga tali (perjanjian)
hubungan dengan sesama manusia (hablumminannaas).” (QS. Ali-Imran : 112)
By: Misbahudin