Kamis, 07 Januari 2021

TANGTANGAN METODOLOGI ANALISA TEKS

 _(Sebuah Upaya Dekontruksi konsep Wahyu dan Tafsir)_

 

 

Materi kelima dalam kegiatan *KADERISASI ULAMA MIUMI (KUM-1)* adalah membahas tema *“TANGTANGAN METODOLOGI ANALISA TEKS”* yang disampaikan oleh *DR. Henri Shalahuddin. MA*, beliau mengungkapkan bahwa para intelektual dan ulama sebagai ujung tombak agama Islam yang menjaga pondasi keislaman agar tetap kokoh dan kuat berdiri secara praktek maupun secara konseptual menghadapi sebuah tantangan dan hambatan sangat banyak didepan mata dengan berbagai warna dan berbagai variasi.

 

Diantaranya, adalah tantangan metodologi analisa sebuah teks.  Sebuah upaya yang massif di gencarkan untuk menyebarkan virus dalam konsep berfikir agar khittab Keislaman menjadi kabur dan buyar. Sebuah analisa teks yang akan mendekontruksi konsep kesakralan wahyu dan tafsir.

 

Upaya-upaya yang massif yang bertujuan untuk mendekontruksi keimanan dan mindset seorang muslim tidak hanya terjadi di jaman modern saja, tetapi embrio-embiro tersebut sudah menggeliat, tumbuh, hidup dan berkembang.

 

*Tantangan Klasik*

 

Tantang klasik yang mencoba untuk mereduksi kesucian dan kesakralan Al-Qur’an mulai terjadi pada Zaman Nabi _shaluLLahu ‘alahi wasalam_, tantang ini sangat mudah untuk dipatahkan, kecakapan para sahabat dalam bahasa arab dan tata bahasanya bisa mengidentifikasi kepalsuan wahyu yang buat oleh Musailah Al-Kadab. Seperti percakakapan antara Amru Bin Ash dengan Musailah Al-kadab ketika dia  membaca surat hasil perenunganya. 

يا وَبَرُ يا وبَرُ، إنّمَا أنتَ إيْرَادٌ وَصَدَرٌ، وسَائِرُكَ نَفْرٌ نَقْرٌ

Wahai bulu, wahai bulu,  sesungguhnya kamu hanyalan sebutan dan muncul, 
sedangkan keseluruhanmu adalah lubang.”

 

Kemudian Musailamah bertanya, “Bagaimana menurutmu wahai Amru?” Amru berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kamu sendiri tahu bahwa sesungguhnya aku mengetahui kalau kamu berdusta.”

 

Ada beberapa surat dan ayat palsu bikinan Musailamah yang terekam dalam beberapa literatur:

 

a.       Surat al-Fil (سورة الفيل), yang berarti gajah.

الفيلُ مَا الفيل,وما أدْراكَ مَالفِيل,له دنب وَبِيل وخُرطُوم طَويلٌ ,وإنَّ ذلك مِن خَلق رَبنا لقَليلٌ.

 

b.      Surat ad-Difda’ (سورة الضفدع), yang berarti kodok.

يا ضِفداَعة بنت الضفدعين، نَقِي لَكُمْ تنقين، نصفك في الماء ونِصفُك فِي الطين، لا الماء تكدرين، ولا الشراب تمنعين.

 

c.       Surat as-Syams (سورة الشمس), yang berarti matahari

والشمس وضحاها،في ضوءها ومجلاها،والليل إذا عدّاها،يطلبها ليغشاها،أدركها حتى أتاها،واطفأ نورها فحماها.

d.      Surat at-Thahinat (سورة الطاحنات)

 

والطاحنات طحنا، والعاجنات عجنا،والخابزات خبزا،والثاردات ثردا،واللاقمات لقما،اهالة وسمنا،لقد فضلتم على أهل الوبر، وما سبقكم أهل المدر،ريفكم فامنعوه،والمقبر فآووه،والباغي فناوئوه.

e.       Surat as-Syat (سورة الشاة), yang berarti kambing.

والشاة وألبانها،وأعجبها السود وألبانها، والشاة السوداء، واللبن الأبيض، انه لعجب محض، وقد حرم المدق فما لكم لا تمعجون.

 

f.        Surat al-Jamahir (سورة الجماهير)

 

انا أعطيناك الجماهر، فصل لربك وجاهر ، إن شَانئك هُو الكافر.

 

*TANTANGAN KONTERPORER*

 

Tantangan yang merdeksi kesakralan Al-Qur’an pada zama komtemporer lebih dahsyat, karena tantangan ini lebi bersifat pemikiran, orang yang sudah terjangkir virus pemikiran ini mengaanggap dirinya muslim modernis tidak kaku, karena mereka mempunyai perfektif bahwa mereka yang sudah melampaui para ulama dalam menggali isi, sejarah dan metodologi penyusunan Al-Qur’an, sehingga hasil akhir dari pemikirah ini adalah Al-Qur’an adalah produk budaya yang tidak memiliki kesakralan dan yang lebih dahsyat dari itu adalah wacana merekontruksi hukum-hukum Islam karena Al-Qur’an yang tidak relevan dengan perkembangan dan tantangan zaman.

 

Diantara virus-virus pemikiran kontemporer itu adalah :

 

1.      Hermenetika Al-Qur’an

 

Hermenetika al-qur’an adalah sebuah metode penafsiran,  teknik penafsiran atau seni menafsirkan.  Sehingga hermenetika ini menjadi disiplin ilmu  yang berkepentingan dengan upaya memahami ma’na atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan.

 

Sehingga wahyu akan terikat tidak akan lepas dengan  kondisi dan waktu,  kritik sejarah Al-Qur’an, teks linguistic , teks manusiawi.  Sehingga lahirlah tafsir Hermenetika Al-Qur’an Abu Zayd yang puncak dari pemikiranya adalah Al-Qur’an termasuk produk budaya.

 

Ke sakralan Al-Qur’an pun akan mengalami Humanisasi (teks manusia, relativisme, manusia sebagai sumber kebenaran, anti otoritas dalam tafsir),  Lokalitas  (Teks lingustik, berbahasa arab,  terpengaruh budaya dan produk budaya), Realisme teks  (Teks/phenomena sejarah, tunduk pada sejarah, konteks lebih utama daripada teks).

 

Sehingga dari frame work  humanisasi, lokalitas dan realism dari Al-Qur’an  ini menghasilkan dualistic antara tekstual-kontekstual, normative-historis, symbol-subtansi, absolut-relatif.

 

*AL-QUR’AN MUNHAJ TSAQAFIE *

 

Menurut abu zayd Al-Qur’an adalah  produk budaya karena ketika wahyu dari lauhil mahfudz disampaikan oleh jibril, menurutnya hal ini masih original, Al-Qur’an belum tersentuh dengan nilai kemanuisaan,  tetapi ketika wahyu itu sampai kepada Nabi Muhammad disinilah menurut Abu zayd, Humanisasi Al-Qur’an dimulai.

 

Karena Nabi Muhammad sebagia Nabi tidak akan terlepas dari bahasa manusia yaitu bahasa arab, budaya yang hidup dimana Nabi Muhammad tinggal, factor latar belakang suku juga menjadi bagian penting dari pola piker, karakter yang tercipta dan Nabi Mummad pun tidak lepas dari keinginan dan kepentingan.

 

Oleh karena itu ketika Al-Qur’an sudah masuk ke ranah jiwa,  pikiran dan tabiat yang ada dalam diri Nabi Muhammad maka Al-Qur’an sudah tidak murni lagi, tatapi Al-Qur’an sudah terpenaruh dengan hal-hal diatas.

 

Oleh karena itu, tafsir hermenetika adalah sebagai sebuah system scaning yang mengurai subtansi dari wahyu itu sendiri dengan melepaskan factor-faktor kemanusia RasuluLLah. Agar Al-Qur’an senantiasa up todate dengan perkembangan dan tantangan zaman.

 

*MENDUDUKAN TEKS*

 

Para pemikir hermenetika mengangap  Setiap maslahah mengandung  syariah, setiap perbuatan baik menurut manusia modern dianggap punya nilai syari’ah.  Acuran conclution mereka adalah Rasionalitas (Al-Aqlaniyyah), Liberal (al-hurriyyah), keadilan (al-adl).

 

Dari pola pikir ini, maka lahirlah Islam dengan berbagai corak yang terikat dan diwarnai oleh tradisi lokal setempat,  seperti Islam Arab, Islam jawa, Islam abad klasik,  Islam pertengahan dan islam modern dan Islam Nusantara.

 

*AL-QUR’AN SEBAGAI TEKS MANUSIA*

 

Al-Qur’an sebagai teks manusia bukan lagi teks Tuhan yang sacral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi dan maknanya selalu berubah, karena telah  masuk dalam pemahaman manusia relative.

 

Yang mutlaq dan sacral adalah al-qur’an  yang mentah  dalam metafisik (lawhil mahfudz) yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri.

 

Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, Al-qur’an telah bergeser kedudukannya dari teks Tuhan menjadi teks manusia . hal ini disebabkan Al-Qur’an telah berubah dari wahyu  menjadi interpretasi.  (QD. 34-35)

 

Kita tidak pernah melaksanakan Al-Qur’an, tetapi kita hanya melaksanakan pemahaman kita terhadap Al-Qur’an. Tapi hanya melaksanakan pemahaman  kita terhadap Al-Qur’an (paramadina 19/9/06)

 

*RELATIVITAS WAHYU*

 

Beberapa tulisan mereka yang menyatakan akan relativisme wahyu seperti dala kolom opini republika, “ Iman saya mengatakan bahwa Al-Qur’an itu mengandung kebenaran mutlaq,  karena ia berhulu  dari yang maha mutlaq , tetapi sekali lagi ia memasuki otak  dan hati manusia  yang serba-serbi  maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlaq benar, siapa pun manusianya, termasuk muafassir yang dinilai punya otoritas  tinggi, apalgi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya”.   (kolom opini, rebpublika 29/12/06)

 

Resiko penutupan dari sebuah teks adalah bahwa teks akan dipandang tidak relevan lagi. Penetepan  makna terakhir  yang dilekatkan  pada teks akan menyegel makna teks untuk selamnya. Teks menjadi tidak relevan lagi.  Dalam arti bahwa para pembaca tidak punya alasan untuk kembali merujuk  kepada teks dalam mengelutinya.

 

Menutup teks adalah bentuk kesombongan  intelektual. Pembaca mengklaim , bahwa ia memiliki sesuatu pengetahuan identic  dengan pengetahuan Tuhan,  akibatnya, teks asli kehilangan  otonominya, dan ia menjadi teks  yang bergantung kepada pihak lain.

 

Tuhan, Al-Qur’an  dan Nabi adalah yang berhak  memegang otoritas dalam Islam,  maksudnya adalah jika adaseseorang yang mengklaim  bahwa pendapatnya  yang paling benar  maka secara tidak langsung  ia sudah “menyamakan” dirinya  dengan pemegang otoritas yang sebenarnya. (khaled M. Abou El Fadl, 2004, 213).

 

 Islam doktrin dan peradaban nur khalis majid mengatakan, “  barang siapa yang melakukan usaha  penuh kesungguhan itu, maka Allah akan menunjukan berbagai jalan (tidak satu) jalan menuju kepada-Nya (Q. 29-39)

 

Perkembangan sebagai ide tidaklah  asing bagi kaum muslimin, akidah Islam mengenal sebuah  formula  bahwa segala  sesuatu  berubah kecuali  wajah Tuhan, (Q, 28.88). meskipun ulama tidak sampai kepada kesimpulan tentang  adanya hukum antopologi  menurut fisika  modern, namun mereka menyadari bahwa ciri  dari semua eksistensi  selain eksistensi Ilahi ialah perubahan (taghayur) . justru hukum perubahan  menunjukan bahwa segala yang ada ini tidak abadi, tercipta dari tiada.

 

*RELATIVISME DAN PLURALISME AGAMA*

 

Setiap agama sebenarnya merupakan ekpresi keimanan  terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda , pusat roda  itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan  dari berbagai agama.

 

Filsafat perennial juga membagi agama pada level esoteric (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengana agama lain dalam level eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoteriknya. Oleh Karena itu, ada istilah  satu TUhan banyak jalan. (tiga agama satu Tuhan, hal xix).

 

*MANUSIA SEBAGAI SUMBER KEBENARAN*

 

Jika pemikiran keagamaan pada umumnya menjadikan pencipta teks sebagai landasan berpijaknya, maka kami memposisikan pembaca teks (manusia) dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya sebagai kuncinya. (QD. 19-23)

 

Dilemma pemikiran keagamaan berangkat dari pandangan-pandangan dogmatis  sectarian (tasawuf aqidah madhabiyyah) tetntang tabita TUhan  dan tabiat manusia  serta hubungan antara satu dengan lainnya, kemudian menjadikan teks-teks agama sebagai hakim yang berbicara tentang pandangan dan dogma tersebut. (QD. 19-23)

 

*TEKS LINGUSTIK*

 

“  Sesungguhnya teks-teks agama bukanlah analisis akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks lingustik, yang berarti  bahwa teks-teks  tersebut bersandar pada kerangka  kebudayaan terbatas yang sempurna perbuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai system pemaknaanya yang sentral”.

 

*BAHASA MENUNJUKAN BUDAYA*

 

Bahasa apa yang digunakan tuhan untuk berkomunikasi dengan manusia ?, jadi ketika kita berbicara tentang tuhan yang berkomunikasi dengan manusia, apa yang ada dalam Al-Qur'an adalah bahasa manusia. (What kind of language did god  use to communicate with humanity?, so when  we talk about  god communicating with humanity, what wa have  in the Qur’an is human language) (Voice ; 97)

 

Apakah tuhan benar-benar berbicara melalui malaikat kepada Muhammad ?, jika demikian, kita tidak tahu bahasa apa yang digunakan malaikat itu. (Did god really speak though an angel to Muhammad?, if so, we have no idea what kind of language the angel used) . Voice, hal. 95)

 

*PENGARUHNYA DI INDONESIA*

 

“Al-Qur’an disampaikan dan sekaligus terbentuk dalam ruang dan waktu. Dalam kontek ini teks Al-Qur’an dapat dikatakan  sebagai produk budaya, dalam pengertian bahwa terbentuk dengan melibatkan aspek-aspek budaya dimana ia diturunkan.

 

Oleh karena itu, tidaklah mengerankan apabila bahasa dan situasi  makna yang terkandung  dalam aspek Al-Qur’an  senantiasa berubah-rubah  sesuai dengan siapa yang menjai penerimanya dalam konteks komunikasinya. Dalam bingkai  ini tidaklah mengejutkan apabila al-Qur’an  sebagai sebuah  proses komunikasi pada dasarnya  bersifat spesifik bagi bahasa arab.

 

Diluar ruang dan waktu tersebut tekh kehilangan diri sendiri secara otomatis. Sebab teks  yang sama tidak akan pernah muncul  dalam situasi yang berbeda. Kalaupun terjadi makna pasti akan berubah dengan sendirinya.  (AL-Qur’an Hermenetik dan kekuasaan, hal 12-13).

 

*REALISM, KRITIK BIBLIS*

 

Kritik biblis bearti pengujian  atas buku-buku  dalam al-kitab yang menggunakan sarana-sarana  yang disediakan melalui penelitian sejarah, arkeologi, paleontology,  dan linguistic, kritik tersebut  mulai dari premis  bahwa al-kitab adalah kumpulan buku-buku, kumpulan dari jenis buku  berbeda dan ditulis untuk berbagai tujuan  oleh pengarang  yang dikenal , dan sering kali tidak dikenal. Kritik biblis menggunakan sarana-sarana yang tersedia untuk memberi terang pada apa yang ingin dikatakan oleh pengarang asli. Meskipun sering bernada negatfi, kritik biblis  tetap merupakan aktivitas yang diperlukan .

 

*PERJANJIAN LAMA*

 

Kritik biblis  berhadapan dengan berbagai pertanyaan seperti misalnya kepengarangan, zaman penulisan, sumbangan pada editor kemudian pada teks dan kecendrungan ajaran. Dan pengaruh yang didapat dilihat di dalam teks, kritik biblis paling awal, pada abad ke 17.

 

Kritik biblis telah menjadi  bidang kajian yang dinami, berbagai pendekatan dan perspektif  baru terus menerus muncul, karya serius pada al-kitab dapat dilakukan hanya dalam kelangsungan  dengan tradisi kritik biblis. (james, ahli perjanjian lama).

 

*TEKSTUAL-KONTEKSTUAL*

 

Realitas peristiwa-peristiwa yang melatar belakangi  turunnya teks dasar utama atau subtansi teks wahyu. Mendahulukan  teks wahyu yang baku diatas  realitas- mitos teks berubah menjadi mitos disebabkan mengabaikan sisi kemanusiaannya. (QD. Hal 23).

 

*PENGARUHNYA DI INDONESIA*

 

Penulisan tafsir juga memberikan peran yg sangat besar dalam menjadikan al Qur’an kitab suci yg sempurna Pada mulanya, wahyu bersifat oral dan tdk pernah diniatkan secara sengaja sebagai sebuah kitab suci Kapan & bagaimana al-Qur’an menjadi Kitab Suci.

 

*Dualisme Normatif & Historis*

 

al-Quran yg memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi mutlak, Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yg termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yg harus diaplikasikan? Voice, 174-5

 

By : Misbahudin

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar