Materi kesepuluh
dalam kegiatan *KADERISASI
ULAMA MIUMI (KUM-1)*, membahas tema tentang *”FIQIH IKHTILAF DAN PERSATUAN ISLAM”* yang disampaikan oleh *DR. Muhammad Zaitun Rasmin*, beliau mengungkapkan bahwa perbedaan itu akan
senantiasa ada selama hidup dan kehidupan masih ada dunia, perbedaan merupakan sunatuLLah yang tidak
bisa dihindarkan yang keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan.
Menghilangkan
perselisihan dan tidak ada masalah dengan
sebuah perbedaan, karena perbedaan itu untuk saling mengenal, sampai tingkat
saling memahami (tafahum) dan saling
melengkapi segala kekurangan yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi
atau kelompok memiliki kelebihan masing-masing yang bisa menjadi pelengkap bagi
yang lain.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allâh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal [al-Hujurât/49:13]
Saling mengenal sampai tarap yang memahami dan melengkapi, ini lah dimensi yang
paling tinggi dari ayat tersebut sebuah simbiosis mutualisme, hal tersebut
tidak akan terjadi jika tarafnya hanya saling mengenal dalam dimensi luar saja
(eksoteris). Dan simbiosis mutualisme itu akan terjadi jika kita saling
mengenal dan memahami sampai tarap terdalam (esoteris).
Hal ini
tergambar secara ekplisit dalam sabda RasuluLLah shallaLLahu ‘alahi wasalam
المؤمن
مرآة أخيه، والمؤمن أخو المؤمن؛ يكف عليه ضيعته، ويحوطه من ورائه
“Seorang
Mu’min adalah cermin bagi saudaranya. Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin
yang lain. Dia tidak merusak harta miliknya dan menjaga kepentingannya.”
(Hasan) Ash Shahihah (6/923): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 49-Bab Fin
Nashihah]
Maka setelah
umat Islam antara satu kelompok dengan yang lainya, saling mengenal, saling memahami
dan mengerti, maka Allah memberi sebuah “clue” agar mereka melakukan sebuah
simbiosus mutualisme. saling memberikan manfaat dan dalam kebaikan dan
ketaqwaan.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.
Al Maidah: 2)
Maka ketika
karakter saling mengenal sampai dengan saling mengerti dan memahami, sehingga
umat muslim terbangun kesadarannya secara kolektif untuk saling tolong menolong
dalam kebaikan.
Maka
RasuluLLahpun memberikan sebuah gambaran yang jelas, sejelas mentari di siang
hari, bahwa perbedaan-perbedaan yang ada, jangan sampai mejadikan umat Islam
berpecah belah, tetapi dengan perbedaan itu harus saling melengkapi dan
menguatkan seperti layaknya bangunan.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا
“Orang
mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian
menguatkan sebagian yang lain.” [Shahih Muslim No.4684].
Bangunan
yang terdiri dari bahan-bahan yang berbeda, tetapi perbedaan itu saling
menguatkan dan mengokohkan karena memiliki sebuah kesamaan visi dan misi,
sehinga bangunan yang megah dan kokoh pun berdiri kuat.
Di lain
waktu, RasuluLLah menganalogikan muslim dengan muslim lainya seperti satu
tubuh, yang jika satu bagian tubuh sakit, maka semua pun merasakan kesakitan
tersebut. Inilah gambaran yang diharapkan oleh RasuluLLah hadir dalam atmosfir kehidupan umat Islam.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ،
وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan
kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama
tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah
tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]
Persatuan
Yang Akan Menghasilkan Kekuatan
Seperti
halnya sapi lidi, jika lidi itu digerakan satu-satu, maka tentu kita akan
kewalahan untuk membersihkan
sampah-sampah yang berserakan, tetapi
jika lidi-lidi itu kita satukan, maka insyaAllah kita dengan mudahnya
membersihkan sampah-sampah tersebut.
Hal tersebut
merupakan sebuah analogi yang sederhana yang memberikan sebuah ibrah bahwa
persatuan akan menghasilakn sebuah kekuatan. Dan jangan diharapkan jika umat
Islam tidak bersatu, umat Islam terus menerus dalam perselelihian dan
percekcokan antar sesama muslim, maka kelemahan dan kehancuran umat Islam
sebuah keniscyaan.
Maka tidak
heran, jika Umat Islam yang banyak itu, bak Buih dilautan, bantak tetapi tidak memiliki kekuatan, banyak tetapi
tidak punya prinsip yang kuat. Maka disinilah pentingnya sebuah kualitas
keislaman bukan kuantitas keislaman.
Perselisihan
yang menghasilkan perpecahan sesama umat Islam adalah sebuah angin segar untuk
musuh-musuh Islam, mereka tidak menghendaki umat Islam bersatu, karena mereka
menyadari bahwa persatuan umat Islam adalah sebuah kekuatan yang akan menjadi
jembatan bangkitnya Islam dan umat Islam.
Semakin
bersatu umat Islam, semakin kuat mereka, semakin kuat umat Islam maka semakin kuat juga perjuangan dakwah mereka,
semakin kutat perjuangan mereka, maka potensi kebangkitan umat Islam pun besar.
$¯RÎ) $oYóstFsù y7s9 $[s÷Gsù $YZÎ7B ÇÊÈ tÏÿøóuÏj9 y7s9 ª!$# $tB tP£s)s? `ÏB Î7/Rs $tBur t¨zr's? ¢OÏFãur ¼çmtFyJ÷èÏR y7øn=tã y7tÏökuur $WÛºuÅÀ $VJÉ)tFó¡B ÇËÈ x8tÝÁZtur ª!$# #·óÇtR #¹Ítã ÇÌÈ uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#ÿrß#y÷zÏ9 $YZ»yJÎ) yì¨B öNÍkÈ]»yJÎ) 3 ¬!ur ßqãZã_ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 tb%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÍÈ @ÅzôãÏj9 tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur ;M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»pk÷XF{$# tûïÏ$Î#»yz $pkÏù tÏeÿx6ãur óOßg÷Ztã öNÍkÌE$t«Íhy 4 tb%x.ur y7Ï9ºs yZÏã «!$# #·öqsù $VJÏàtã ÇÎÈ
“
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, Supaya Allah
memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang
serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang
lurus, Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak),
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi
dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Supaya Dia
memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia
menutupi kesalahan-kesalahan mereka. dan yang demikian itu adalah keberuntungan
yang besar di sisi Allah, (QS. Al-Fath :
1-5)
Kekuatan
umat Islam yang kuat dan terorganisir akan mengalahkan kebatilan, lihatlah
prang badar dimana jumlah umat Islam berbeda jauh kuantitas pasukannya dengan
orang kafir, tetapi jumlah tidak mengkerdilkan jiwa mereka, kualitas keimanan
dan kualitas ketaatan mereka kepada pemimpin begitu besarnya. Sehingga jumlah
yang kalah jauh dari kaum kafir itupun, dapat melibas dan meluluh lantakan
pasukan dan strategi perang mereka.
Berbeda dengan
perang uhud, kaum muslimin hampir saja memenangan pertarungan, tetapi karena
keimanan sebagian pasukan luluh dan mencair melihat harta ghanimah yang
menyilaukan, mereka pun lupa pada intruksi-intruksi RasuluLLah untuk tetap
stand by di bukit uhud apapun yang terjadi.
Maka
kualitas iman yang menghasilakn kekuatan kolektif dan kepatuhan terhadap
intruksi pemimpin menjadi factor penentu yang menjadi sebuah kunci dari sebuah
kemenangan, sebagaimana sebuah ungkapan, Kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan
oleh kebatilan yang terorganisir.
الحق بلا نظام يغلبه الباطل
بنظام
Kebersamaan
Imam-Imam Madhab dalam perbedaan
Perbedaan pendapat biasa terjadi sejak dahulu hingga
sekarang. Begitu juga dengan para Ulama’ terdahulu, terkadang beliau-beliau
memiliki perbedaan pendapat antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula
yang terjadi terhadap keempat Imam Madzhab yang hari ini paling banyak diikuti
oleh umat muslim.
Terkadang para Imam Madzhab ini memiliki sudut pandang
yang berbeda dalam menghadapi suatu kasus. Meski mendapati perbedaan di antara
mereka, para Imam ini tetaplah saling menghargai satu sama lain.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, pada suatu hari Imam
Syafi’i datang ke Madinah dengan tujuan untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik.
Imam Malik pun memuliakannya sebagaimana ia memuliakan orang berilmu lainnya.
Kemudian di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i
melantunkan bait-bait al-Muwaththa’ dengan
cara menghafal dan sungguh fasih. Bacaannya membuat Imam Malik terkagum-kagum
sambari memujinya, sambil meminta Syafi’i untuk memperbanyak lagi hafalannya.
Saat Imam Syafi’i tinggal di Irak, beliau mulai
menyusun kitab qadim(lama)nya yang
berjudul Al-Hujjah. Di dalam
kitab Al-Hujjah inilah,
beliau banyak memasukkan fatwa-fatwa atau ajaran-ajaran dari imam-imam
sebelumnya, yakni imam Abu Hanifah dan Imam Maliki.
Dalam kisah yang lain diceritakan saat Imam Syafi’i
dan Imam Maliki saling berkunjung ke rumah masing-masing, Imam Syafi’i yang
dalam ajarannya mensunnah–ab’adkan qunut dan setiap mendirikan solat subuhnya
beliau selalu menggunakan qunut.
Namun, tiba saat beliau menginap di rumah Imam Malik
lantas ketika solat subuh diminta menjadi Imam, beliau tidak menggunakan qunut,
sebab Imam Maliki dikenal dalam ajarannya tidak pernah memakai qunut dalam
solat subuhnya.
Begitu juga saat Imam Maliki menginap di rumah Imam
Syafi’i, dan diminta untuk mengimami solat subuh maka Imam Maliki akan
menggunakan qunut dalam solat subuhnya untuk menghormati Imam Syafi’i yang
sedang berposisi sebagai ma’mun.
Sekalipun ada beberapa perbedaan antar Imam Madzhab
yang satu dengan yang lain, namun tidak akan mengurangi rasa saling menghormati
di antara mereka. Hal inilah yang menjadi tauladan bagi kita, saling mencintai,
menghargai, dan mengasihi di dalam perbedaan.
Perbedaan
ijtihad dalam masalah fiqih, sebetulnya memberikan sebuah keringan bagi umat Islam dalam menjalankan
keislaman, karena pasti fatwa mereka itu
spesifik terikat oleh tempat, kondisi, kebutuhan jaman.
Jangan membicarakan
perbedaan di tempat publik, di mimbar-mimbar jum’at, dakwah fiqih furu’iyyah harus dilakukan
secara ekskusif untuk alangan sendiri. Untuk menghindari perselisihan dan
gesekan antar umat Islam,
Menjaga
atmosfir perdamaian dan kerukunan penting di tengah-tengah umat Islam, sebagaimana Imam yang tidak mau menerima
murid dari suatu wilayah yang wilayahnya
itu sudah ada imam yang lain yang menjadi rujukan masyarakat dalam beragama,
hal ini dianggap penting agar di wilayah
itu tidak menimbulan perseteruan, perselisihan dan percekcokan sehingga akan
menjadikan energy, waktu yang terkuras
tidak untuk hal-hal yang produktif dalam membanguan kekuatan dan kemajuan
Islam.
Perang Saudara
Di Afganistan
Peperangan
yang terjadi di afganistan adalah peperangan dengan saudara sendiri, mereka
sama-sama sunni dan sama-sama bermadhab
hanafi, tetapi mereka tidak mau saling
memahami, tidak mau bersatu demi sebuah kekuatan Islam secara umum. Sebagian
mereka saling menuduh dan saling mencurigai.
Jika dalam diri
umat Islam sudah terjadi saling menuduh dan saling mencurigai maka sangat mudah sekali untuk mengalah umat
Islam, musuh-musuh Islam tidak tidak perlu cape-cape mengeluarkan tenaga,
menguras fikiran, dan menggelontorkan materi untuk menggempur dan menghancurkan
umat Islam.
Biarlah
mereka berselisih dan perperang dengan saudara sendiri, sehingga mereka
kelehan, kehabisan materi, hancurnya
segala pasilitas kehidupan, jika ada yang menang diantara mereka, maka musuh
Islam pasti dengan sangat mudahnya
menghancurkan umat Islam, karena Umat Islam sudah kelelahan berperang
dengan saudaranya sendiri.
Peperangan
di Afganistan adalah peperangan antara
kaum Islam demokratis realistis dengan
mereka yang mutsaydidin ( para mujahidin). Andaikan mereka
bertemu dan berbicara dari hati ke hati, menurunkan ego dan menguburkan segala
emosi dan kecurigaan dan berfikir futuristik demi kemaslahatan Islam dan Umat
Islam pasti peperangan itu tidak perlu terjadi. Sungguh sangat disayangkan.
Mencermati Embrio Perpecahan Di Dalam Diri
Umat Islam
Perbedaan merupakan sebuah hukum alam, merupakan sebuah sunnatuLLah yang tidak bisa
dipungkiri, keberadaanya merupakan sebuah keniscayaan. Jika perbedaan ini, disikapi dengan dewasa,
kepala dingin dan lebih mengutamakan ukhuwwah islamiah, maka
perbedaan-perbedaan itu tidak menjadi alasan untuk mereka salih berselih apalagi perpecah belah.
Tetapi jika perbedaan itu terus diperuncing,
digoreng dan dijajadikan top issue, maka dari berbedaan itu pasti akan
melahirkan perselisihan satu dengan yang lainnya, maka jika perselisihan itu tidak ademkan,
tidak diselesaikan, maka akan terus menjalar dan menggurita sehingga seperi putaran saltu yang jatuh dari
lereng bukit, terus berputar yang lama ke lamaan jika tidak dihentikan yang
akhirnya membesar dan menghancurkan apapun yang ada dihadapannya.
Pase puncak dari perselisihan adalah sebuah
perpecahan, maka dari perpecahan umat Islam tidak ada yang bisa diharapkan,
selain menunggu waktu kehancuran.
Perpecahan yang ada di tubuh umat Islam dari sudut pandang apapun tidak ada
yang menghasilkan keuntungan bagi Islam dan umat Islam itu sendiri,
satu-satunya yang diuntungkan adalah orang kafir yang membenci Islam dan ingin
menghancurkan Islam sampai ke akar-akarnya.
Memahmi Istilah Ikhtilaf Dan Iftiraq
Kontek istilah Ikhtilaf itu adalah perbedaan
dalam wilayah furu'iyyah, bukan ushuliyyah. Perbedaan fiqhiyyah yang sangat
mungkin wilayah ijtihadiyyah, memungkinkan setiap mujtahid untuk berbeda
pendapat, karena ini adalah wilayah ijtihadiyyah, bukan wilayah ushuliyyah (aqidah)
yang bersifat taufiqiyyah. Klaim dalam wilayah ini adalah antara justifikasi benar dan salah ( baina al-khatha'
wa al-shawab ) bukan wilayah justifikasi takfier.
Berbeda dengan istilah Ifitiraq, iftiraq
adalah perbedaan dalam wilayah ushuliyyah, bukan furu'iyyah. Perbedaan ini
dalam wilayah prinsip-prinsip akidah. Klaimnya antara sesat dan lurus (
tadhlil ), jika secara dhahir dia masih
muslim dan klaim takfir sudah keluar
dari Islam, jika sudah keluar secara dhahir dari prinsip aqidah muslim. Sebagaimana dijelaskan dalam Konsep Iftiraq dan ikhtilaf (Abdul Karim
al-'Aql; Qadhaya 'Aqdiyyah Mu'ashirah ) dan
Konsep Takfir, Tadhlil dan Takhthi' (Abdul Fath al-Bayanuni).
BY. Misbahudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar