Senin, 26 April 2021

FAIDAH MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN-2

*FAIDAH MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN-2*

Oleh : Misbahudin

 

 

Tanpa mengenal dan memahami _asbabunuzul_ atau kronolis suatu ayat turun, Maka bisa jadi suatu ayat bisa dipelintir atau “diolah” sedemikian rupa agar ayat tersebut bisa mendukung argument dan pendapatnya. Maka disini, ayat Al-Qur’an mengalami “ekploitasi” dan “pemerkosaan” terhadap kesakralan Al-Qur’an.

 

Al-Qur’an tidak dijadikan sebagai landasan dalil untuk beramal, sebagaimana dari tujuannya diturunkan kepada manusia.  Tapi sebaliknya, ayat Al-Qur’an tersebut dijadikan untuk “mendalili” amal perbuatan yang  lahir dorongan keinginan hati dan ambisi hawa nafsu semata. Hal ini dilakukan agar mendapatkan sebuah “pembenaran” dari Al-Qur’an.  

 

Peristiwa ini pernah terjadi ketika Muawiyyah ingin menjadikan anaknya Yazid sebagai penerus kepemimpinannya, sebagaimana yang akan dipaparkan dalam point keempat dari manfaat mengetahui asbabuzunul.

 

 

Keempat, Asbabunuzul dapat menjelaskan secara spesifik  kepada siapa ayat itu ditujukan dan diturunkan, sehingga hal ini menjadi sebuah Langkah prefentif agar tidak ada pemelintiran dalil atas dorongan ambisi diri dan ambisi politik dalam menyerang musuh dan lawan politiknya. Hal ini pernah terjadi ketika Muawiyyah hendak menjadikan anaknya Yazid sebagai penerusnya sebagai khalifah, Maka Yazid menyuruh gubernur Mekah pada saat ini yang ada dibawah kekuasaannya yaitu Marwan untuk mengumpulkan orang-orang dan mengajak mereka untuk berbaiat kepada yazid.

 

Maka Abdurahman ibnu Abu Bakar enggan untuk berbai’at, Maka Marwan naik pitam dan hendak berbuat jahat kepada Abdurahman, jika dia tidak masuk ke rumah Aisyah untuk meminta perlindungan dari niat Jahatnya. Marwan pun sekonyong-konyong memcakan ayat Al-Qur’an

 

وَالَّذِيْ قَالَ لِوَالِدَيْهِ اُفٍّ لَّكُمَآ اَتَعِدَانِنِيْٓ اَنْ اُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُوْنُ مِنْ قَبْلِيْۚ وَهُمَا يَسْتَغِيْثٰنِ اللّٰهَ وَيْلَكَ اٰمِنْ ۖاِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّۚ فَيَقُوْلُ مَا هٰذَآ اِلَّآ اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ

 

“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, “Ah.” Apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu? Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah (seraya berkata), “Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah itu benar.” Lalu dia (anak itu) berkata, “Ini hanyalah dongeng orang-orang dahulu”.  (QS. Al-Ahqaf:17).

 

Ayat ini kata Marwan Turun kepada  orang ini,  Abdurahman yang enggan untuk berba’ait kepada Yazid, Maka Aisyah membantah Statement dari  Marwan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam hadits  yang diriwayatkan imam Bukhari

 

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ قَالَكَانَ مَرْوَانُ عَلَى الْحِجَازِ اسْتَعْمَلَهُ مُعَاوِيَةُ فَخَطَبَ فَجَعَلَ يَذْكُرُ يَزِيدَ بْنَ مُعَاوِيَةَ لِكَيْ يُبَايَعَ لَهُ بَعْدَ أَبِيهِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ شَيْئًا فَقَالَ خُذُوهُ فَدَخَلَ بَيْتَ عَائِشَةَ فَلَمْ يَقْدِرُوا فَقَالَ مَرْوَانُ إِنَّ هَذَا الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ} وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي {فَقَالَتْ عَائِشَةُ مِنْ وَرَاءِ الْحِجَابِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِينَا شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ عُذْرِي

 

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah dari Abu Bisyr dari Yusuf bin Mahik dia berkata; Mu'awiyah mengangkat Marwan untuk pemimpin di Hijaz. Lalu Marwan menyebut-nyebut kebaikan Yazid bin Mu'wiyah agar ia dibai'at setelah bapaknya. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakr berkata sesuatu kepadanya yang membuat ia marah. Maka Marwan berkata; Tangkaplah ia. Abdurrahman pun masuk ke rumah Aisyah hingga mereka tidak mampu menangkapnya. Marwan berkata; Rumah ini adalah rumah yang di dalamnya Allah menurunkan ayat: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?, (Al Ahqaf: 17). Maka Aisyah pun berkata dibalik tabir; Allah tidak menurunkan sesuatu pun dari Al Qur'an kepada kami, kecuali Dia hanya menurunkan tentang udzurku (pembebasanku) mengenai berita bohong. (HR. Bukhari : 4453).

 

Dalam Riwayat yang lain dikatakan, bahwa sesungguhnya Marwan meminta agar masyarakat Mekah untuk berba’iat kepada Yazid sebagai penerus khalifah yang sebelumnya, tiada lain tiada bukan adalah bapaknya, yaitu Muawwiyah. Marwan mengatakan bahwa ini adalah sebuah tradisi Abu Bakar dan Umar. Maka Abdurahman menimpalnya dengan mengatakan,”tidak!, itu adalah tradisi Heraklius dan Kaisar. Maka Marwan berkata, “Sesungguhnya Allah  berfirman, dan sungguh orang yang mengatakan “Ahh” kepada orang tuanya ……….(sampai akhir ayat)”. Maka hal ini sampai kepada Aisyah, sehingga Asiyah pun berkata, “sungguh telah berdusta Marwan, Maksud ayat tersebut tidaklah demikian, jikalau aku hendak menyebutkan tentang siapa ayat ini turun, sungguh aku akan menyebutkannya”.

 

 

Kelima, Mengetahui asbabunuzul Al-Qur’an adalah metode yang terbaik untuk memahami dan menghayati secara mendalam Al-Qur’an. Menyingkap tabir kesamaran maksud sebenarnya dalam sebuah redaksi suatu ayat  yang tidak dapat dijelaskan tafsirannya selama tidak mengetahui asbabunuzulnya.

 

Al-Wahidi berkata, _*”Tidak mungkin memahami  tafsir ayat  tanpa memahami  bagaimana  kronologisnya dan  bagaimana ayat tersebut turun”*_.  Berkata juga Ibnu Dakikil ‘Idh, _*”Penjelasan asbabunzul Al-Qur’an  adalah metode yang terbaik untuk memahami lebih dalam ayat Al-Qur’an”*_.

 

Ibnu Taimiyyah juga tidak ketinggalan memberikan sebuah afirmasi terkait urgensi dari memahami asbabunuzul, menurut beliau _*“mengatahui asbabunuzul  membantu untuk memahami ayat . karena ilmu pengetahuan tentang sebab akan melahirkan akan pengetahuan tentang musabab (akibat)”*_.

 

Contohnya  kebingungan  Marwan Bin Hakam  dalam memhami surat Ali -Imran ayat 188.  Dia baru benar-benar “ngeh” maksudnya setelah Ibnu Abbas menjelaskan maksud dari ayat tersebut.

 

Contoh yang lain dalam surat Al-Baqarah ayat 158

 

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

 

“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi‘ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui”.

 

 

Secara dhohir teks ayat tersebut memberikan sebuah gambaran bahwa sesungguhnya  Sa’i itu tidaklah wajib,  karena terdapat sebuah kalimat dalam ayat tersebut  “la junaha” alias tidak berdosa, maka kata ini seolah memberikan konsekuensi logis sa’i itu mubah tidak wajib. Dan Sebagian ulama juga perpendapat seperti ini, karena  berpegang kepada kontek kalimatnya.  Seperti  ibnu Abbas, Ibnu Zubai dan Anas Bin Malik.

 

Sungguh Aisyah telah melurukan pendapat ‘Urwah bin Zubair dengan menyampaikan sebab kronologis dari turunnya ayat tersebut agar tidak keliru dalam memahami ayat tersebut.  Sesungguhnya para sahabat merasa berat hati, takut tejatuh dalam jurang dosa  jika mereka harus melakukan sa’I  antara safa dan marwah, karena ini adalah tradisi kaum jahiliyyah, dimana ada berhala yang bernama  “Asaf” dan di Marwan ada berhala “Nailah”.

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ عُرْوَةُ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ لَهَا أَرَأَيْتِ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى } إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوْ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا { فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ بِئْسَ مَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّ هَذِهِ لَوْ كَانَتْ كَمَا أَوَّلْتَهَا عَلَيْهِ كَانَتْ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَتَطَوَّفَ بِهِمَا وَلَكِنَّهَا أُنْزِلَتْ فِي الْأَنْصَارِ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا يُهِلُّونَ لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ الْمُشَلَّلِ فَكَانَ مَنْ أَهَلَّ يَتَحَرَّجُ أَنْ يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَلَمَّا أَسْلَمُوا سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نَطُوفَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى } إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ { الْآيَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتْرُكَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ أَخْبَرْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ إِنَّ هَذَا لَعِلْمٌ مَا كُنْتُ سَمِعْتُهُ وَلَقَدْ سَمِعْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّاسَ إِلَّا مَنْ ذَكَرَتْ عَائِشَةُ مِمَّنْ كَانَ يُهِلُّ بِمَنَاةَ كَانُوا يَطُوفُونَ كُلُّهُمْ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَذْكُرْ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ فِي الْقُرْآنِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنَّا نَطُوفُ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَإِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ فَلَمْ يَذْكُرْ الصَّفَا فَهَلْ عَلَيْنَا مِنْ حَرَجٍ أَنْ نَطَّوَّفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى } إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ { الْآيَةَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَأَسْمَعُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي الْفَرِيقَيْنِ كِلَيْهِمَا فِي الَّذِينَ كَانُوا يَتَحَرَّجُونَ أَنْ يَطُوفُوا بِالْجَاهِلِيَّةِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَالَّذِينَ يَطُوفُونَ ثُمَّ تَحَرَّجُوا أَنْ يَطُوفُوا بِهِمَا فِي الْإِسْلَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَذْكُرْ الصَّفَا حَتَّى ذَكَرَ ذَلِكَ بَعْدَ مَا ذَكَرَ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ

 

“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhriy, berkata, 'Urwah: Aku bertanya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha, kataku kepadanya: "Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah Ta'ala (QS Al Baqarah 158) yang artinya: ("Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian dari syi'ar-syi'ar Allah, maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'iy antara keduanya"), dan demi Allah tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak ber thawaf (sa'iy) antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah". 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Buruk sekali apa yang kamu katakan itu wahai putra saudariku. Sesungguhnya ayat ini bila tafsirannya menurut pendapatmu tadi berarti tidak berdosa bila ada orang yang tidak melaksanakan sa'iy antara keduanya. Akan tetapi ayat ini turun berkenaan dengan Kaum Anshar, yang ketika mereka belum masuk Islam, mereka berniat hajji untuk patung Manat Sang Thoghut yang mereka sembah di daerah Al Musyallal. Waktu itu, barangsiapa yang berniat hajji, dia merasa berdosa bila harus sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah (karena demi menghormatii patung mereka itu). Setelah mereka masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam tentang masalah itu, mereka berkata: "Wahai Rasulullah, kami merasa berdosa bila melaksanakan sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah". Maka kemudian Allah Ta'ala menurunkan ayat ("Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian dari syi'ar-syi'ar Allah"). 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Sungguh Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah mencontohkan sa'iy antara kedua bukit tersebut dan tidak boleh seorangpun untuk meninggalkannya". Kemudian aku kabarkan hal ini kepada Abu Bakar bin 'Abdurrahman, maka katanya: "Sungguh ini suatu ilmu yang aku belum pernah mendengar sebelumnya, padahal aku sudah mendengar dari orang-orang ahli ilmu yang menyebutkan bahwa diantara manusia, selain orang-orang yang diterangkan oleh 'Aisyah radliallahu 'anha itu, ada yang dahulu melaksanakan ihram untuk Manat, mereka juga melaksanakan sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah. Ketika Allah menyebutkan thawaf di Ka'bah Baitullah tapi tidak menyebut sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah dalam Al Qur'an, mereka bertanya kepada: "Wahai Rasulullah, dahulu kami melaksanakan thawaf (sa'iy) antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah dan Allah telah menurunkan ayat tentang thawaf di Ka'bah Baitullah tanpa menyebut Ash-Shafaa, apakah berdosa bagi kami bila kami sa'iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah?". Maka Allah Ta'ala menurunkan ayat ("Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian dari syi'ar Allah"). Abu Bakar bin 'Abdurrahman berkata: "Maka aku mendengar bahwa ayat ini turun untuk dua golongan orang yaitu golongan orang-orang yang merasa berdosa karena pernah melaksanakan sa'i antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah saat mereka masih jahiliyyah (karena pernah melaksanakan untuk patung Manat), dan golongan orang-orang yang pernah melaksanakannya namun merasa berdosa bila melaksanakannya kembali setelah masuk Islam karena Allah pada mulanya hanya menyebutkan thawaf di Ka'bah Baitullah dan tidak menyebut Ash-Shafaa hingga kemudian Dia menyebutkannya setelah memerintahkan thawaf di Ka'bah Baitullah". (HR. Bukhari 1534).

 

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar