Sabtu, 24 April 2021

FAIDAH MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN

 

*FAIDAH MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN*

Oleh : Misbahudin

 

Mana’ Al-Qathan dalam kitabnya “mabahis fi ‘ulumul qur’an” mengungkapkan beberapa faidah atau keuntungan dari kita mempelajari dan memahami ilmu  asbabunuzul Al-Qur’an, yaitu :

 

Pertama, menjelaskan hikmah  dari pensyariatan sebuah hukum dan mengetahui bagaimana Allah benar-benar begitu perhatian terhadap kebutuhan dan kemaslahatan umat secara umum dalam menghadapi segela problematika dan peristiwa yang terjadi di depan mata. Hal ini menjadi sebuah rahmat bagi umat manusia.

 

Kedua, bagi orang yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan dalam memahami Al-Qur’an itu adalah sebab turun (asbabunuzul ) yang khusus dan spesifik bukan lafadz yang umum dalam redaksi Al-Qur’an. Maka mengetahui asbabunuzul memberikan sebuah pemahaman akan pembatasan hukum secara khusus dengan sebab yang terjadi. Dan hal ini merupakan sebuah permasalahan ikhtilaf antara ‘ulama.

 

Sebagaimana halnya firman Allah ta’ala dalam surat Ali-Imran ayat 188. Membaca ayat ini Marwan merasa resah, gundah gulana, karena isi dari ayat ini begitu mengerikan jika ditafakuri dan direnungi.

 

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

 

“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih”.

 

Karena kegelisahan dan kegundahan inilah Marwan  menyuruh kepada securitinya, _“Pergilah wahari Rafi kepada Ibnu Abbas, dan tanyakanlah, Jikalau  setiap orang dari kita merasa bahagia dengan apa yang telah dia lakukan  dan dia merasa senang jika dipuji  dengan apa yang belum dikerjakan akan disiksa, maka sungguh kita semua akan disiksa?”_

 

Maka Ibnu Abbas pun menjawab, _”Mengapa pendapatmu seperti itu mengenai ayat ini?”_, sungguh ayat ini turun kepada ahli kitab.  kemudian dia mengucapkan firman Allah ta’ala (QS. Ali-Imran :187)

 

اِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُوْنَ

 

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan”.

 

 

Ibnu Abbas melanjutkan pemaparannya dengan mengetengahkan sebuah cerita dimana Rasulullah bertanya kepada mereka tentang suatu hal, maka mereka menyembunyikan masalah tersebut dari Nabi  dengan cara mereka  mengalihkan pembicaraan kepada persoalan lain,  dengan ini, mereka hendak menunjukan  dan memberika sebuah asumsi bahwa sesungguhnya mereka telah memberitahukan apa  ayang ditanyakan kepada mereka, dan mereka ingin sekali dipuji  oleh Nabi mengenai hal tersebut. Mereka begitu amat gembira dengan apa yang mereka telah kerjakan yaitu menyembunyikan  apa yang telah ditanyakan oleh Rasulullah.

 

Ketiga, jika redaksi ayat Al-Qur’an itu umum, tetapi ada dalil lain dari hadits atau pernyataan sahabat yang ahli dalam bidang tafsir yang mengkhususkan hal tersebut, maka kekhususan itu tidak dapat dipisahkan dari ayat Al-Qur’an tersebut.  Karena terikatnya dalil pengkususan atas ayat Al-Qur’an ini adalah merupakan sebuah kepastian (Qath’i), seperti dua sisi mata uang. maka pengkhususan tersebut tidak bisa dilepaskan dari ayat tersebut dengan sebuah asumsi ijtihad belaka yang bersifat dhanni (spekulasi). Dan ini lah yang menjadi pegangan jumhur ‘ulama.

 

Contohnya adalah dalam surat An-Nur 23-25.

 

اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ. يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ. يَوْمَىِٕذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ

 

 

“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan yang sebenarnya bagi mereka, dan mereka tahu bahwa Allah Maha-benar, Maha Menjelaskan”.

 

Ayat ini turun menganai ‘Aisyah secara khusus atau  Aisyah dan istri-istri Rasulullah yang lain. Sebagaimana komentar Ibnu Abbas berkaitan dengan ayat diatas. Allah tidak akan menerima taubat orang yang melakuan tuduhan keji tersebut bagi siapa yang melakukannya, dan Allah akan menerima taubat bagi para orang yang menuduh zina kepada wanita-wanita Muslimah yang lain.  Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat  qur’an surat An-Nur 4-5

 

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ. اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

 

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

 

Atas dasar ini lah, maka peneriman taubat bagi orang-orang yang menuduh zina (sebagaimana yang dinyatakan dalam surat nur 4-5), sekalipun adalah sebagai pengkhususan  dari keumuman redaksi  surat Nur ayat 23.  Hal ini tidak  mencakup pengkhusuan  atas orang yang menuduh zina kepada Aisyah atau kepada istri-istri nabi yang lain, karena baginya tidak ada tobat yang akan Allah terima, karena keterikatan sebab yang khusus  (orang yang menuduh zina Asiyah dan istri-istri Rasul yang lain) dengan   lafadz yang umum itu bersifat qathi.

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar