Kamis, 29 April 2021

AL-QUR’AN DAN TANTANG ZAMAN

 

AL-QUR’AN DAN TANTANG ZAMAN

Oleh : Misbahudin

 

 

Konsep Islam Yang Syamil Dan Mutakamil

 

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk pedoman hidup manusia, sebagai tanda kasih sayangnya, tidak membiarkan manusia berjalan hidup begitu saja, hanya mengandalkan fitrah keimanan kepadanya saja. Tetapi Allah menurunkan Islam sebagai Agama yang sempurna, dan Allah memberikan penegasan barang siapa yang agama selain Islam, Maka amal-amalannya tidak akan diterima.

 

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19].

 

Agama Islam  berbeda dengan agama bumi (ardhi), yang mengandalkan penjelasahan akal dan perenungan bathin akan hakikat kehidupan, tetapi Islam mempunyai sebuah ajaran yang jelas bersumber dari wahyu ilahi yang menjadi sumber dan pondasi dalam Bergama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.

 

”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

Allah pun menjamin Akan mengjaga dan memelihara  Al-Qur’an dari perubahan dan kerusakan, karena jika sumber suatu agama sudah mengalami perubahan, apalgi dalam hal-hal pundamental, maka bisa dipastikan agama tersebut akan mengalami sebuah penyimpangan dan akan menjauh dari apa yang sebenarnya Allah perintahkan.

 

”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” [al-Hijr/15:9]

 

 

Oleh karena Islam adalah agama langit yang Allah wahyukan ajaran-ajaranya secara bertahadap kepada manusia pilihanya, yaitu nabi Muhammad, maka pasti memiliki sebuah konsep ajaran yang senantiasa uptodate dalam setiap jaman, karena tidak mungkin Islam sebagai agama ilahi mempunyai lingkup tempat dan waktu yang terbatas.

 

Maka Islam adalah sebuah ajaran yang syamil mutakamil (sempurna dan menyeluruh).  Kesempurnaan Islam akan senantiasa meliputi semua zaman, tempat, dan  eksistensi umat manusia di bumi ini. Ia mengatur mulai urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga urusan negara. Islam juga mengatur masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pendidikan, bahkan masalah lingkungan. Sehingga menjadikan Islam menjadi sebuah agama yang paripurna, tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi keluhuran dan ketinggian ajarannya.

 

”Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni)

 

Syumuliyatul Islam mencakup tiga hal. Pertama,  Syumuliyatul zaman (kesempurnaan waktu), syumuliyatul minhaj (kesempurnaan pedoman hidup), dan syumuliyatul makan(kesempurnaan tempat/ruang).

 

Pertama, syumuliyatul zaman.  Islam agama yang akan tetap relevan dengan berbagai situasi dan kondisi. Dari berbagai lapirasan kultur, budaya dan priode generas. Jika para nabi sebelum Islam hanya bersifat lokal dan waktu yang terbatas. Tetapi Islam akan berlaku sampai akhir zaman.

 

”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al-Anbiya:25).

 

 

”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama-lamanya berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

Kedua, syumuliyatul minhaj.  Islam sebagai pedoman hidup dalam dimensi aqidah sebagai asas kehidupan, alam semesta, manusia dan hal-hal yang bersifat metafisik, tidak terkecuali  hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan  setelah kematian datang, hal itu tidak akan bisa dicerna oleh akal yang terbatas, kecuali dengan bimbingan wahyu.

 

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16].

 

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

 

Ketiga, syumuliyatul makan. Islam menjadi sebuah “way Of life” untuk semua umat  meliputi ras suku, Bahasa dan bangsa manapun  tanpa batas-batas geografis tertentu.

 

”Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS. Al-Araf : 158).

 

 

 

Menghadapi tantangan, Menaklukan Zaman

 

Islam adalah agama dengan ajaran yang sempurna yang memberikan sebuah landasan-landasan pokok di dalam Al-Qur’an dan As-sunnah yang bisa menjadi petuntuk dan inspirasi untuk menundukan tantangan dan kemajuan zaman.  Beberapa contoh yang menggmabrkan kepada kita bahwa Rasulullah memberikan ruang gerak yang bebas dalam Batasan-batasan tertentu untuk berijtihad, mencurrahkan segala kemampuan akal untuk mencari sebuah solusi (problem solving) dari setiap permasalahan yang ada.  Diantara petuntuk itu adalah

 

Pertama, kisah Mu’adz bin Jabal yang akan memutuskan suatu hukum berdasarka ijtihadnya, jika tidak didapati secara spesifik masalah tersebut di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.

 

Dari orang-orang Himsh murid, dari Mu’adz bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “. ”Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?”,  Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau tidak menemukan dalam sunnah Rasul?”,  Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan pendapatku”,  Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah” (HR. Al-Baihaqi No. 3250)

 

Kedua, Sabda Rasulullah yang mengapresiasi dengan dua pahala kebaikan bagi siapa yang berijtihad dengan benar, dan satu pahala bagi yang berijtihad dengan salah.

 

Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu pahala.” (HR. Muslim)

 

Dari keterangan-keterangan diatas, maka dapat kita mengambil hikmah bahwa Al-Qur’an dan as-sunnah sudah menancapkan landasan-landasan pokok yang bisa digali dengan ketajaman analisas akal dan pemahana dalil-dalil Islam secara mendalam untuk mencari berbagai pemahaman, produk hukum yang baru yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. 

 

Reformulasi Tafsir Al-Qur’an Untuk Menaklukan Zaman

 

Jika kita membuka lembaran sejarah, maka kita akan dapati dalam setiap generasi jaman senantiasa lahir kitab-kitab tafsir dengan keunikan masing-masing. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang menarik, apakah  dengan senantiasa hadir produk-produk tafsir “kontemporer” menandakan kekuarangan-kekurangan produk-produk tafsir zaman klasik?. Karena jika toh sama tafsir untuk menafsirkan Al-Qur’an kenapa harus ada yang tafsir baru?.

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini cenderung  mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal lagi perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka ragam, mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun bermacam-macam, ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan masih banyak macam lainnya. Semuanya mengalami pembiasan sesuai dengan pemikiran dan keilmuan masing-masing mufassir yang hidup pada zaman itu.

 

Marilah kita memami “phenoma” tersebut dari perfektif fari dari dalam, tidak menilai hal itu dari penampakan dari luar saja, Islam adalah agama yang syamil dan mutakamil maka disana kita akan mendapat sebuah konsep  perkara-perkara –“tsawabit”_ dalam Islam  dan  perkara-perkara yang _ “mutaghoyyirot”_.

 

Tsawabit (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) adalah masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam, dan Mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin dan bisa dan berpotensi berubah-ubah) adalah masalah-masalah furu’ (non prinsip) dari ajaran Islam.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut (kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun qath’iyyud-dilalah (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil dzanni (tidak mutlak dan pasti, serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah (kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah ijma’ yang telah menjadi konsensus yang disepakati di antara para imam berbagai madzhab Ahlussunnah Waljama’ah, dan Mutaghayyirat adalah masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah yang merupakan wilayah ijtihad para ulama, dan yang telah diperselisihkan atau berpotensi untuk diperselisihkan di antara para imam mujtahidin dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah.

 

Tafsir adalah sesuatu yang karya intelektual bersifat uptodate,  karena tafsir lahir stimulasi permasalahan, tantangan dan kemajuan zaman.  Otomatis penafsiran-penafsiran ulama tafsir akan mengalami perubahan untuk hal-hal yang sifatnya tidak bersifat prinsip aqidah, karena aqidah adalah sebuah perkara yang “take for granted”. Tetapi reformulasi tafsir ini  berkaitan dengan kontektualisasi Al-Qur’an terhdapap kemajuan zaman.

 

Karena Sebuah penafsiran tidak lahir dari ruang yang kosong begitu saja, tapi selalu tridialektik antara teks, konteks dan pengarang, Sekaligus masuk dalam dimensi sejarah, secara sinkronik  (bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas)  atau diakronik (berkaitan kronologis atau urutan).

 

Masalah-masalah  komtemporer tentu baik fiqhul ayat maupun fiqhul hadis harus sesuai zamannya, situasi dan kondisi. Bahkan barbagai-bagai hukum bisa berubah disebabkan perubahan zaman atau situasi dan kondisi  yang berbeda.

 

Kita ambil beberapa contoh kasus Al-Qur’an yang melahirkan pemahaman tafsir yang berbeda,  contoh dalam surat  Ar-rum ayat 41.  “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

 

Dalam  Tafsir Klasik kerusakan di laut diinterpretasikan dengan  pembajak laut. Berbeda dengan tafsir kontemporer,  susunan Dr. Z. Najar Tafsir Ayat al-Kauniyah,  ia memasukan  kerusakan dibumi itu adalah limbah industri, pencemaran nuklir, sampah pabrik, dan lain sebagainya. Penafsiran Al-Qur’an akan senantiasa uptodate karena Al-Qur’an menggunkan sebuah Bahasa yang umum yang bisa menyesuaikan dengan kemajuan-kemajuan zaman.

 

 

Contoh lainya, dalam sebuah hadits  dari Abu Ali Tsumamah bin Syufayi bahwa dia mendengar 'Uqbah bin 'Amir berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah menyampaikan ketika beliau di atas mimbar: '(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi) ' (QS. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah."

 

 

Maka kata “kekuatan”  adalah “rimayah”, kata rimayah secara Bahasa adalah melempar, maka  “rimayah”  dalam kontek zaman itu adalah memanah, tetapi jika dikontekstualisasikan untuk zaman modern ini, dimana kemajuan teknologi sudah canggih, tidak terkecuali dalam masalah persenjataan, maka yang lebih relevan untuk saat in, kata “rimayah”  ditafsikan menjadi senjata-senjata canggih seperti layak pistol, drone yang bisa menembaki musuh tanpa resiko korban pasukan atau persenjataan lainnya yang muktakhir.  Intinya yang menjadi ilatnya (Ratio Logic) “rimayah” disini adalah sesuatu senjata yang dapat menggetarkan musuh dan senjata itu efektif dan efesien dalam kontek tantangan dan kemajuan zaman.

 

Gerak Tafsir yang lincah Asalkan tetap On the Track

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini cenderung memuai, dalam artian selalu mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal lagi perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka ragam, mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun bermacam-macam, ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan masih banyak macam lainnya.  Semuanya mengalami pembiasan sesuai dengan pemikiran dan keilmuan masingmasing mufassir yang hidup pada zaman itu. Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai tafsir dengan corak yang berbeda-beda di antara para mufassir. Mulai tafsir alfiqhy, tafsir al-shufiy, tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir alfalsafiy, tafsir madzhabi, dan tafsir  ilmy.

 

Menyadari bahwa isyarat ilmiah dalam al-Qur‘an masih bersifat umum dan universal.  Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Allah yang ilmunya mencakup segala sesuatu. Jika terjadi kesesuaian, maka nash merupakan pedoman dan kebenaran teori tersebut. Dan jika nash-nya tidak pasti, sedangkan hakikat alam pasti, maka nash tersebut harus ditakwilkan . Mufassir tafsir ‘ilmy tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya sebagai ajaran aqidah qur’aniyah (teologi) dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan.

 

Dalam memahami kata bahasa Arab hanya  mengenal  dua pendekatan. Yaitu mantuq dan  mafhum, mantuq diperoleh dari dzahir  ayat atau haditt,  sementara mafhum diperoleh dari tawil ayat atau hadits. Dalam kaidah pokok,  sebelum kita masuk ke tawil atau mafhum, maka ada mantuq atau dzahirnya kita dahulukan.

 

Ketika dzahir tidak diperoleh makna yg sesuai atau tak difahami, maka baru bergeser kepada opsi selanjutnya, yaitu  mafhum,  dengan jalan mena'wil ayat atau hadits yg ingin diketahui maksudnya. dan cara menakwil ayat itu tidak sembarangan, harus pake kaidah-kaidah  yg berlaku, misal memakai kaidah, bahasa, logika, sejarah, syariah, fiqh atau  ushul fiqh, kaidah fiqih dan lain sebagainya.

 

Khusus dalam masalah metafisik (ghoib), spesifiknya sesuatu yang berkaitan dengan  Allah, maka ulama Ahlu Sunnah  cenderung untuk menposisikan  hal tersebut apa adanya (tafwidh), menghindari takwil, karena dengan meyikini lapadz atau keterangan  yang berbau metafisik dan teologis   lebih aman dan lebih maslahat, karena ijtihad manusia untuk mencoba menerobos dimenasi ghaib tersebut terbatas dan hanya bersifat spekulasi akal yang tidak ada jaminan kebenarnnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar