Sabtu, 05 Desember 2020

DARI AQIDAH MENUJU HARAKAH

 

Oleh : Misbahudin

 

 *An-Nahala Institute, Oase Ditengah Kegersangan Jiwa*

 

An-nahala Institue adalah sebuah forum kajian para asatadiz muda yang diasuh dan dibina oleh tuan guru kami, KH. DR. Jeje Zaenuddin M, Ag (UJZ), sosok guru kehidupan yang setiap kajiannya memberikan sebuah sengatan-sengatan pemikiran yang membuat hati, jiwa dan pikiran merenung dalam sebuah “ektase” kenikmatan tafakur dan tadabur.

 

Setelah aktivitas dalam dunia pendidikan dan dakwahnya mencurahkan ilmu, fikiran dan energi. Maka para dai muda dan para pendidik perlu ada sebuah “recharger” atau pengisian jiwa dan hati dengan keilmuan baru, spirit hati yang lebih terpatri dan energi jiwa  yang yang lebih membara. Semua itu penting agar kita bisa _fresh_ Kembali dalam aktivitas dakwah  dan pendidikan kita. Tidak ubahnya seperti teko yang terus mengeluarkan isinya untuk dituangkan isinya secara terus menerus untuk dimanfaatkan dan dinikmati, maka perlu teko itu disi Kembali  agar bisa mengeluarkan kembali sesuatu yang bermanfaat dan menyegarkan.

 

Disela-sela kajian pekan kemarin, DR. Jeje Zaenuddin (UJZ) memberikan sebuah undangan dadakan  dengan tema : _*“ Membincang Proses dan Hasil Munas MUI dan MUI ke Depan”*_.  Di detik-detik terakhir pemaparan beliau ada sebuah nasihat yang penuh energi, nasihat menyengat  yang membuat tekad berkobar dan membara. Renungan dari Nasihat beliau menyeret jiwa dan fikiran untuk mencapai puncak “orgasme” renungan. Maka tumbah dan  menggeliatlah dari taman-taman jiwa itu sebuah bisikan, _*“Bergerak dan Berkontribusilah dengan apa yang kamu bisa lakukan untuk Islam, mumpung hayat masih dikandung badan”*_.

 

Diantara nasihat nasihat  beliau  itu adalah _*(1)  Konsep Aqidah harus ditasformasikan ke dalam sebuah harakah, (2) Jadilah pribadi yang bermanfaat, dan  (3) Hiduplah dalam  bagian dari jamaah kaum muslimien (4) Keikhlasan yang menguatkan.*_

 

*Dari Aqidah Menuju Harakah*

 

_Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugiankecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran_. (QS. Al-Ashr : 1-3).

 

Kaum muslimin hari ini mereka tidak miskin dengan konsep dan ajaran Islam.  apalagi para ustadz-ustdaz pasti lebih dalam keislaman mereka daripada orang awam, tetapi kenapa  Islam saat itu penuh dengan perpecahan, kemisikinan dan keterbelakangan. Umat Islam hanya menjadi  penonton  bahkan mejadi sebuah korban dari sebuah permainan dari kemajuan zaman.

 

Islam sangat kaya dengan konsep dan inspirasi yang dapat menggugah umatnya untuk terus belajar, meneliti dan melakukan percobaan-percobaan untuk kemajuan islam itu sendiri, wahyu pertama turun,  menuntut manusia untuk membaca.  membaca dalam arti yang sangat luas, membaca diri, membaca buku, membaca lingkungan, membaca phenomena yang terjadi dan membaca “sesuatu” yang tidak terlihat dari phenoma alam, sosial, politik dan lain sebagainya.

 

Sengatan motivasi dan inspirasi itu sudah ada didalam Islam, tetapi semua terkubur dalam kebiasaan yang tidak produktif umat Islam itu sendiri, sibuk  dengan hal-hal yang tidak prioritas, umatnya sudah terwarnai oleh tradisi dan budaya modern dalam hedonisme.  sehingga umat Islam pun semakin menjauh dari nilai-nilai ilahiyyah dalam kehidupannya yang berkemajuan.

 

Jikalau konsep aqidah dan nilai-nilai kehidupan yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah diamalkan oleh umatnya, maka sudah pasti terbayang akan dibawa kemana umat Islam ini?,  tunduk patuh mengikuti dengan  benar-benar perintah Allah  dan menjauhi segala laranganya. Pasti mereka akan mencapai puncak peradaban dunia.

 

Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan di masa kejayaan Islam tidaklah terpisah dari dorongan besar  spirit   al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Dan  membaca “iqra” dalam artian luas harus menjadi sebuah "life Style". 

 

Maka energi Al-Qur’an yang sudah dipahami,  harus ditrasformasikan dan diamalkan dalam kehidupan nyata, sehingga terciptanya sebuah kebiasaan diri, dan kebiasan  yang dilakukan oleh keluarga atau sekelompok orang tertentu akan menciptakan sebuah budaya dan budaya yang diterapkan dan dilakukan  secara global oleh umat Islam akan menjadi pemantik lahir, tumbuh dan tegaknya “peradaban langit” yang membumi.

 

*Menjadi Pribadi Yang bermanfaat*

 

Untuk apa kita hidup di dunia ini jika kita tidak memberikan sebuah kemanfaatan untuk sesama?, untuk apa sebuah kesuksesan secara duniawi tetapi kita tidak memberikan sebuah kontribusi untuk Islam?. Untuk Apa sebuah jabatan yang didapat jika jabatan itu tidak dipikul dengan penuh amanah dan kejujuran?, tidak memberikan manfaat untuk yang dipimpin?.

 

Semua mungkin akan terasa begitu sia-sia, semua terasa begitu tidak berharga, jika kita tidak memberikan manfaat untuk hidup dan kehidupan,  tidak perlu jadi orang nebat untuk memberi manfaat, kemanfaatan bisa dimulai dari apa yang bisa kita lakukan saat ini dari apa yang kita bisa dan mampu lakukan.  

 

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hr. Ath-Thabrani)

 

Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Hakim)

 


* Hiduplah Dalam  Bagian Dari Jamaah Kaum Muslimien*

 

Dalam teori ilmu sosial di definiskan manusia adalah mahluk sosial atau Zon Politikon. Yaitu mahluk yang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan bantuan yang lain dalam  menjalani hidup dan kehidupnnya. Teori semacam ini sudah lama ditancamkan di dalam jiwa, hati dan pikiran kaum muslimin oleh Rasulullah dalam kehidupan dan bermasyarakat Bersama pada saat itu.

 

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِم

 Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Bahkan teori sosial modern tersebut yang berakar dari pemikiran dan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial.  Hal tersebut ruang lingkupnya hanya dalam tatanan urusan kehidupan saja.  Berbeda dengan konsep sosial dalam Islam yang tidak hanya berhenti dalam urusan perut atau dunia semata. Tetapi  nilai sosial tersebut menerobos ruang dan waktu, urusan dunia dan akhirat dalam  dibingkai dalam ikatan agung, sebuah ikatan ilahiah dalam ketaatan.

 


مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

“Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam. (HR. Bukhari)

 

Dalam tatanan  kehidupan dunia saja, manusia membutuhkan yang lain, apalagi dalam sebuah misi suci dakwah,  pasti membutuhkan sebuah kolaborasi tim agar goal dakwah dapat tercapai,  karena dakwah bukan hanya retorika di mimbar  dan kajian belaka. Tetapi dakwah adalah untuk membangun peradaban manusia yang mengandung nilai-nilai langit.  Dan semua itu pasti membutuhkan yang namanya jama’ah.

 

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau merekatkan jari-jemarinya”. (HR. Bukhari).

 

Jika gerak dakwah tidak saling bahu membahu, tidak saling melengkapi dan berkolaborasi maka tidaklah heran,  jika gerak kebatilan yang tertata dengan apik dan terorganisir  akan memenangan  pertarungan.  

الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام

“Kebenaran yang tidak terorganisir (maka) kebatilan yang terorganisir akan mengalahkannya”.

 

*Keikhlasan Yang Menguatkan*


Suatu kebaikan jika dilakukan karena menginginkan pujian, maka amal kebaikan itu akan berat dilakukan jika tidak mendapat sambutan yang wah dari manusia. Jika kebaikan yang dilakukan karena keinginan mendapat timbal balik dari kebaikan itu, maka hati akan berkeluh kesah jika tidak ada timbalik baliknya.  Begitulah gambaran dari sebuah amal kebaikan jika disandarkan kepada sesuatu yang rapuh, maka semangat beramal dan berkaryapun akan menjadi bak pelapah kurma yang rapuh, hanya butuh sedikit tiupan angin untuk menjatuhkannya.

 

Sebaliknya, jika amal kebaikan itu dilakukan karena menginginkan pahala kebaikan dari Allah, maka keikhlasan itu memberik sebuah kekuatan, keteguhan dan keistiqomahan. Karena motivasi hatinya tidak tergantung kepada sesuatu yang diluar dirinya, tetapi motivasi hatinya tertancap kokoh dalam relung-relung jiwanya, sehingga apapun respon yang didapatkan dari luar dirinya, maka tidak akan mengganggu gerak langkahnya. Disepelakan dia akan tetap berjalan,  dicaci  maki, dia tetap akan mengayunkan Langkah kaki untuk mendapatkan ridha ilahi.

 

Tidak ada mitivasi tertinggi selain keikhlasan.  Karena ikhlas bak seperti medium yang mengconeksitaskan hatinya dengan sang pemilik hati, membukakan mata hatinya untuk hanya berorientasi kepada sang ilahi dan membutakan pandangan dari apapun yang dilakukan manusia, baik itu pujian yang menerbangkan jiwa ataupun cacian yang membuat hati terluka. Keikhlasan tidaklah semudah mengucapkannya. Tetapi Ketika hati tidak berusaha untuk  ikhlas maka segala amal kebaikan kitapun akan sia-sia belaka, karena ikhlas merupakan syarat utama diterimannya amalan oleh Allah.

 

Amal kebaikan yang luar biasa tanpa sebuah keikhlasan maka akan menyeret pelakukanya kepada neraka, sebagaimana dalam sebuah hadits diceritakan  tiga kelompok orang yang memberi sumbangsih dan kontribusi  besar untuk Islam.  mereka adalah sosok alim, mujahid dan dermawan.  Kisah pilu mereka di akhirat, Allah jebloskan mereka kedalam neraka karena ternyata pengorbanan dan segala amal kebaikannya ketika di dunia tidak ikhlas karena Allah, tetapi menginginkan pujian, sanjungan dan citra yang positif di tengah-tengah manusia.

 

Salah seorang ahli juhud mengatakan, Al Fudhail bin ‘Iyadh  berkata,

 

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ

“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.” (Majmu’atul Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 174).


Kesadaran inilah yang membuat khalid bin walid tetap teguh berdiri, berkontribusi untuk Islam, walapun Ia sudah tidak lagi menjabat sebagai panglima besar Islam pada saat itu, karena sudah dilengserkan oleh Umar bin khattab demi menghindarkan kultur berlebihan kepada Khalid. Ketika ditanya oleh salah seorang sahabat, “kenapa engkau masih ikut berperang?, padahal  kamu sudah dilengserkan dari jabatanmu?, maka apa yang dikatakan oleh  Khalid?,  “aku berperang karena Allah,  bukan karena Umar Bin khattab”.

 

Keihklasan adalah sebuah modal yang besar dan berharga dalam misi dakwah, karena tidak bisa dipungkiri hilangnya keikhlasan karena terkubur ambisi pribadi, kedengkian hati, orientasi duniawi dan lain sebagainya, menjadikan hubungan antar muslim menjadi renggang atau bahkan bisa saling menyerang demi sesuatu yang dianggap benar oleh subjektivitas pribadi sehingga Islampun begitu rapuh karena mereka senantiasa rebut dan kisruh dengan sesama mereka sendiri.  Wallah ‘alam bishowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar