Oleh :
Misbahudin
An-nahala Institue adalah sebuah forum kajian
para asatadiz muda yang diasuh dan dibina oleh tuan guru kami, KH. DR. Jeje
Zaenuddin M, Ag (UJZ), sosok guru kehidupan yang setiap kajiannya memberikan
sebuah sengatan-sengatan pemikiran yang membuat hati, jiwa dan pikiran merenung
dalam sebuah “ektase” kenikmatan tafakur dan tadabur.
Setelah aktivitas dalam dunia pendidikan dan
dakwahnya mencurahkan ilmu, fikiran dan energi. Maka para dai muda dan para pendidik
perlu ada sebuah “recharger” atau pengisian jiwa dan hati dengan keilmuan baru,
spirit hati yang lebih terpatri dan energi jiwa yang yang lebih membara. Semua itu penting agar
kita bisa _fresh_ Kembali dalam aktivitas dakwah dan pendidikan kita. Tidak ubahnya seperti
teko yang terus mengeluarkan isinya untuk dituangkan isinya secara terus
menerus untuk dimanfaatkan dan dinikmati, maka perlu teko itu disi Kembali agar bisa mengeluarkan kembali sesuatu yang bermanfaat
dan menyegarkan.
Disela-sela kajian pekan kemarin, DR. Jeje
Zaenuddin (UJZ) memberikan sebuah undangan dadakan dengan tema : _*“ Membincang Proses dan
Hasil Munas MUI dan MUI ke Depan”*_.
Di detik-detik terakhir pemaparan beliau ada sebuah nasihat yang penuh
energi, nasihat menyengat yang membuat
tekad berkobar dan membara. Renungan dari Nasihat beliau menyeret jiwa dan
fikiran untuk mencapai puncak “orgasme” renungan. Maka tumbah dan menggeliatlah dari taman-taman jiwa itu
sebuah bisikan, _*“Bergerak dan Berkontribusilah dengan apa yang kamu
bisa lakukan untuk Islam, mumpung hayat masih dikandung badan”*_.
Diantara nasihat nasihat beliau
itu adalah _*(1) Konsep
Aqidah harus ditasformasikan ke dalam sebuah harakah, (2) Jadilah pribadi yang
bermanfaat, dan (3) Hiduplah dalam
bagian dari jamaah kaum muslimien (4) Keikhlasan yang menguatkan.*_
*Dari Aqidah Menuju Harakah*
_Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugiankecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran_. (QS. Al-Ashr : 1-3).
Kaum muslimin hari ini mereka tidak miskin
dengan konsep dan ajaran Islam. apalagi
para ustadz-ustdaz pasti lebih dalam keislaman mereka daripada orang awam,
tetapi kenapa Islam saat itu penuh
dengan perpecahan, kemisikinan dan keterbelakangan. Umat Islam hanya menjadi penonton
bahkan mejadi sebuah korban dari sebuah permainan dari kemajuan zaman.
Islam sangat kaya dengan konsep dan inspirasi
yang dapat menggugah umatnya untuk terus belajar, meneliti dan melakukan
percobaan-percobaan untuk kemajuan islam itu sendiri, wahyu pertama turun, menuntut manusia untuk membaca. membaca dalam arti yang sangat luas, membaca
diri, membaca buku, membaca lingkungan, membaca phenomena yang terjadi dan
membaca “sesuatu” yang tidak terlihat dari phenoma alam, sosial, politik dan
lain sebagainya.
Sengatan motivasi dan inspirasi itu sudah ada
didalam Islam, tetapi semua terkubur dalam kebiasaan yang tidak produktif umat
Islam itu sendiri, sibuk dengan hal-hal
yang tidak prioritas, umatnya sudah terwarnai oleh tradisi dan budaya modern
dalam hedonisme. sehingga umat Islam pun
semakin menjauh dari nilai-nilai ilahiyyah dalam kehidupannya yang berkemajuan.
Jikalau konsep aqidah dan nilai-nilai
kehidupan yang ada di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah diamalkan oleh umatnya,
maka sudah pasti terbayang akan dibawa kemana umat Islam ini?, tunduk patuh mengikuti dengan benar-benar perintah Allah dan menjauhi segala laranganya. Pasti mereka akan
mencapai puncak peradaban dunia.
Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang
kehidupan dan keilmuan di masa kejayaan Islam tidaklah terpisah dari dorongan
besar spirit al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas
pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm”
dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Dan membaca “iqra” dalam artian luas harus menjadi sebuah "life Style".
Maka energi Al-Qur’an yang sudah dipahami, harus ditrasformasikan dan diamalkan dalam kehidupan nyata, sehingga terciptanya sebuah kebiasaan diri, dan kebiasan
yang dilakukan oleh keluarga atau
sekelompok orang tertentu akan menciptakan sebuah budaya dan budaya yang
diterapkan dan dilakukan secara global
oleh umat Islam akan menjadi pemantik lahir, tumbuh dan tegaknya “peradaban langit”
yang membumi.
*Menjadi Pribadi Yang bermanfaat*
Untuk apa kita hidup di dunia ini jika kita
tidak memberikan sebuah kemanfaatan untuk sesama?, untuk apa sebuah kesuksesan
secara duniawi tetapi kita tidak memberikan sebuah kontribusi untuk Islam?.
Untuk Apa sebuah jabatan yang didapat jika jabatan itu tidak dipikul dengan
penuh amanah dan kejujuran?, tidak memberikan manfaat untuk yang dipimpin?.
Semua mungkin akan terasa begitu sia-sia,
semua terasa begitu tidak berharga, jika kita tidak memberikan manfaat untuk
hidup dan kehidupan, tidak perlu jadi
orang nebat untuk memberi manfaat, kemanfaatan bisa dimulai dari apa yang bisa
kita lakukan saat ini dari apa yang kita bisa dan mampu lakukan.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi orang lain.” (Hr. Ath-Thabrani)
“Manfaatkanlah lima
perkara sebelum lima perkara, (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu
sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa
sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Hakim)
* Hiduplah Dalam Bagian Dari
Jamaah Kaum Muslimien*
Dalam teori ilmu sosial di definiskan manusia
adalah mahluk sosial atau Zon Politikon. Yaitu mahluk yang tidak bisa hidup
sendiri, membutuhkan bantuan yang lain dalam
menjalani hidup dan kehidupnnya. Teori semacam ini sudah lama
ditancamkan di dalam jiwa, hati dan pikiran kaum muslimin oleh Rasulullah dalam
kehidupan dan bermasyarakat Bersama pada saat itu.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ
البُخَارِيُّ وَمُسْلِم
“Salah
seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Bahkan teori sosial modern tersebut yang
berakar dari pemikiran dan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk
menyebut makhluk sosial. Hal tersebut ruang lingkupnya hanya dalam
tatanan urusan kehidupan saja. Berbeda
dengan konsep sosial dalam Islam yang tidak hanya berhenti dalam urusan perut
atau dunia semata. Tetapi nilai sosial
tersebut menerobos ruang dan waktu, urusan dunia dan akhirat dalam dibingkai dalam ikatan agung, sebuah ikatan
ilahiah dalam ketaatan.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ
تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
“Perumpamaan kaum Mukminin dalam
cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika
salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut
merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam. (HR. Bukhari)
Dalam tatanan
kehidupan dunia saja, manusia membutuhkan yang lain, apalagi dalam
sebuah misi suci dakwah, pasti
membutuhkan sebuah kolaborasi tim agar goal dakwah dapat tercapai, karena dakwah bukan hanya retorika di mimbar dan kajian belaka. Tetapi dakwah adalah untuk
membangun peradaban manusia yang mengandung nilai-nilai langit. Dan semua itu pasti membutuhkan yang namanya
jama’ah.
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti
satu bangunan yang tersusun rapi, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.”
Dan beliau merekatkan jari-jemarinya”. (HR. Bukhari).
Jika gerak dakwah tidak saling bahu membahu,
tidak saling melengkapi dan berkolaborasi maka tidaklah heran, jika gerak kebatilan yang tertata dengan apik
dan terorganisir akan memenangan pertarungan.
الحق
بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
“Kebenaran yang tidak terorganisir (maka)
kebatilan yang terorganisir akan mengalahkannya”.
*Keikhlasan Yang Menguatkan*
Suatu kebaikan jika dilakukan karena menginginkan pujian, maka amal kebaikan
itu akan berat dilakukan jika tidak mendapat sambutan yang wah dari manusia. Jika
kebaikan yang dilakukan karena keinginan mendapat timbal balik dari kebaikan
itu, maka hati akan berkeluh kesah jika tidak ada timbalik baliknya. Begitulah gambaran dari sebuah amal kebaikan
jika disandarkan kepada sesuatu yang rapuh, maka semangat beramal dan
berkaryapun akan menjadi bak pelapah kurma yang rapuh, hanya butuh sedikit tiupan
angin untuk menjatuhkannya.
Sebaliknya, jika amal kebaikan itu dilakukan
karena menginginkan pahala kebaikan dari Allah, maka keikhlasan itu memberik
sebuah kekuatan, keteguhan dan keistiqomahan. Karena motivasi hatinya tidak
tergantung kepada sesuatu yang diluar dirinya, tetapi motivasi hatinya tertancap
kokoh dalam relung-relung jiwanya, sehingga apapun respon yang didapatkan dari luar
dirinya, maka tidak akan mengganggu gerak langkahnya. Disepelakan dia akan
tetap berjalan, dicaci maki, dia tetap akan mengayunkan Langkah kaki
untuk mendapatkan ridha ilahi.
Tidak ada mitivasi tertinggi selain keikhlasan. Karena ikhlas bak seperti medium yang
mengconeksitaskan hatinya dengan sang pemilik hati, membukakan mata hatinya
untuk hanya berorientasi kepada sang ilahi dan membutakan pandangan dari apapun
yang dilakukan manusia, baik itu pujian yang menerbangkan jiwa ataupun cacian
yang membuat hati terluka. Keikhlasan tidaklah semudah mengucapkannya. Tetapi Ketika
hati tidak berusaha untuk ikhlas maka
segala amal kebaikan kitapun akan sia-sia belaka, karena ikhlas merupakan
syarat utama diterimannya amalan oleh Allah.
Amal kebaikan yang luar biasa tanpa sebuah
keikhlasan maka akan menyeret pelakukanya kepada neraka, sebagaimana dalam
sebuah hadits diceritakan tiga kelompok
orang yang memberi sumbangsih dan kontribusi besar untuk Islam. mereka adalah sosok alim, mujahid dan
dermawan. Kisah pilu mereka di akhirat,
Allah jebloskan mereka kedalam neraka karena ternyata pengorbanan dan segala amal
kebaikannya ketika di dunia tidak ikhlas karena Allah, tetapi menginginkan
pujian, sanjungan dan citra yang positif di tengah-tengah manusia.
Salah seorang ahli juhud mengatakan, Al
Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ
وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk
riya’ dan beramal karena manusia termasuk syirik.” (Majmu’atul
Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 23: 174).
Kesadaran inilah yang membuat khalid bin walid tetap teguh berdiri,
berkontribusi untuk Islam, walapun Ia sudah tidak lagi menjabat sebagai
panglima besar Islam pada saat itu, karena sudah dilengserkan oleh Umar bin
khattab demi menghindarkan kultur berlebihan kepada Khalid. Ketika ditanya oleh
salah seorang sahabat, “kenapa engkau masih ikut berperang?, padahal kamu sudah dilengserkan dari jabatanmu?, maka
apa yang dikatakan oleh Khalid?, “aku berperang karena Allah, bukan karena Umar Bin khattab”.
Keihklasan adalah sebuah modal yang besar dan
berharga dalam misi dakwah, karena tidak bisa dipungkiri hilangnya keikhlasan
karena terkubur ambisi pribadi, kedengkian hati, orientasi duniawi dan lain
sebagainya, menjadikan hubungan antar muslim menjadi renggang atau bahkan bisa
saling menyerang demi sesuatu yang dianggap benar oleh subjektivitas pribadi
sehingga Islampun begitu rapuh karena mereka senantiasa rebut dan kisruh dengan
sesama mereka sendiri. Wallah ‘alam
bishowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar